34. Deka: Simulasi Jadi Bapak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kecanggungan kian terasa di antara kami. Oh, jangan lupa ini akibat dari perkataan Kiara yang cukup berani. Sebenarnya gue agak tergelitik geli mendengar kata-katanya tadi. Apalagi saat demikian berani menantang Jane. Wajah Jane yang merah padam dan tampak tidak bisa berkata-kata membuat gue ingin ketawa. Namun, mau bagaimana lagi? Wajah Kiara yang memerah karena kepergok oleh gue, ternyata lebih menarik. Lucu.

Sesekali gue menoleh ke arah spion. Terlihat Kiara sibuk memandang jalanan. Gue iseng menarik gas motor agar lajunya lebih cepat. Kiara terkesiap dan refleks memeluk pinggang gue. Tatapan sewot pun terlihat dari pantulan kaca motor.

"Jangan macem-macem, Mas! Gue nggak mau kenapa-kenapa di jalan."

"Sori, nggak sengaja."

"Modus amat jadi orang!" Dia lekas menarik tangannya yang sempat melingkar di pinggang gue.

"Modus sama istri sendiri, nggak apa-apa kali, Ki. Bukannya lo tadi yang bilang kalau kita nggak masalah mau ngapa-ngapain, kita bukannya udah sah, ya? Suami-istri." Gue sengaja mengatakannya penuh penekanan.

Perkataan yang sukses membuat Kiara menepuk kencang pundak gue. Bukannya kesal, gue malah mengekeh pelan. Gemas melihat Kiara yang kesabarannya setipis tisu. Tanpa kami sadari, ternyata sudah dekat dari rumah.

Kali ini gue membawa motor menuju rumah Papa Malik. Sebab diundang makan malam oleh Mama ke sana. Itu pun gue tahu dari Kiara yang beberapa menit lalu memberikan kabar tersebut. Begitu tiba di halaman rumah Papa Malik yang sempit, terlihat Ayana keluar dari rumah dan berlari menyambut kami.

"Om Deka!" jeritnya melompat-lompat pelan saat menunggu gue mematikan mesin motor dan melepas helm. "Gendong!"

"Duh, udah berat gini minta digendong. Lain kali kamu sadar, dong! Sudah besar."

"Mas!" ketus Kiara.

Ayana malah terkekeh geli mendengar gue. Detik berikutnya, kecupan singkat anak itu mendarat sempurna di pipi gue. Nyatanya memang Ayana lebih senang kalau gue ke rumah ini. Daripada didatangi tantenya, alias Kiara yang memang suka marah-marah kalau Ayana rewel. Gadis kecil itu pun enggak memedulikan Kiara lagi dan sibuk mengalungkan lengannya di leher gue.

"Tante jangan cembulu gitu, dong. Hali ini Om Deka jadi suaminya Aya dulu."

"Heh, nggak boleh. Masih kecil."

"Tante juga bocil kata Om Deka. Iya kan, Om?"

Kedua mata Kiara langsung menatap gue. Tatapan tajamnya membuat gue menyengir kaku. Perempuan itu langsung memasuki rumah dan menghampiri Mbak Nadira dan Mama yang sedang sibuk di dapur. Oke, terpaksa gue harus meladeni si kecil Aya setelah ini. Bahkan kalau Mas Raja pulang pun, gue jamin dia enggak bakal mau sama papanya.

Ya, wong gue ini kerap dinistakan olehnya.

"Om, Aya mau main plinces. Om mau jadi Plinces Elsa, ya. Nanti Aya yang dandanin Om."

Tuh, kan! Belum juga bokong gue duduk dengan sempurna di sofa, Aya malah seenak jidat mengajak gue main putri-putrian. Ya, ampun! Sadar enggak kalau gue ini cowok! Ya, kalau dia menyuruh gue menjadi pangeran. Ini apa? Princess katanya.

Aya turun dari pangkuan gue. Berlari ke arah kamar papanya dan keluar menyeret kotak mainannya. Di dalam sana, harta-harta Aya tersimpan. Benda-benda yang bikin anak itu bahagia. Juga barang-barang yang bikin gue dinistakan. Aya menyerahkan tongkat berpita merah muda, berikut dengan mahkota plastik yang dibelikan orang tuanya.

"Aya, Princess Elsa nggak pakai tongkat sihir," komentar gue.

"Tapi, Aya pengin pakai tongkat, Om. Nanti musiknya boleh dari hape Om, kan?"

"Boleh. Bentar, Om carikan lagu Let It Go dulu."

Anak kecil itu menggeleng. Membuat gue mengernyit heran. "Coco Melon aja, Om."

Lah! Ngelawak ini bocah. Sejak kapan lagu itu jadi soundtrack Disney? Sadar kalau gue enggak boleh protes, gue pun menurut. Daripada protes dan bikin dia bad mood, ya sudah ... kali ini Deka yang ganteng ini akan menurut.

Mulailah Aya memakaikan mahkota buat gue. Bukan cuma itu, keabsurdan anak ini belum berhenti. Dia memakaikan sayap plastik buatan yang entah dibelikan oleh siapa. Ya, Tuhan! Mana gue mau-mau saja. Aya mulai bernyanyi mengikuti lirik berbahasa inggris. Meminta gue mengarahkan tongkat sihir padanya.

"Om kutuk kamu jadi kodok! Ayo, lompat!" titah gue. Ayana tergelak. Padahal gue enggak berniat melucu. Dia malah menurut melompat-lompat di depan gue.

"Lagi, lagi!" serunya.

"Hm, kali ini Om kutuk jadi Buaya. Sim salabim!"

"Om, Aya nggak mau jadi buaya. Serem. Jadi ular aja, ya?"

"Lebih serem juga, Aya."

"Nggak apa-apa, Om. Tapi, ular yang di pelmen Yupi itu lucu tau, Om."

Ampun, serah lo! Malah gue yang ngakak. Ayana masih sibuk bernyanyi sambil meliuk-liukkan tubuhnya. Mungkin maksudnya lagi cosplay jadi Nagin. Biarlah, terserah dia saja. Gue cuma bisa menggeleng melihat kelakuannya.

Kini Ayana malah sibuk sendiri. Bermain-main dengan ponsel gue untuk mengganti video yang terputar. Mama datang dari arah dapur, membawakan segelas kopi dan ikut bergabung dengan gue dan Ayana. Anak kecil itu tersenyum ke arah neneknya sebelum bermain ponsel lagi.

"Aya, main ponsel lama-lama nggak baik tau. Kasih Om Deka ponselnya," titah Mama.

"Bentar, Nenek."

Mama hanya menghela napas melihat cucunya. Beliau beralih melihat gue-tentu saja yang sudah bebas dari mahkota, sayap, dan tongkat sihir anak itu. Mama tersenyum kalem, tampak menyimpan seribu arti.

"Kamu cocok jadi bapak, Ka," komentarnya.

Eits, maksudnya apa, nih?

"Masa ya, kata Kiara kalian bakal childfree. Kamu nggak mau, kan? Mama ngeri, deh, dengernya."

"Emangnya Kiara ngomong gitu, ya?"

Mama mengangguk takzim. "Lihat Aya, nyaman banget sama kamu. Apalagi kalau anakmu sendiri. Mama sebenarnya nggak mau terkesan memaksa kamu dan Kiara. Nggak masalah, kok, kalau Mama punya cucu nanti setelah kalian lulus."

Gue nyaris menyemburkan kopi yang baru saja tertelan. Punya anak, katanya? Padahal gue sama Kiara saja tidak pernah berpikir sejauh itu. Bagaimana mau punya anak kalau kami enggak pernah menyinggungnya?

Belum sempat gue menjawab ucapan Mama, kedatangan seseorang dari pintu utama membuat kami menoleh kompak. Papa Malik datang dari sana dan mendekat. Ia mengusap puncak kepala Ayana sebelum duduk di sofa. Kedatangannya serta-merta membuat nyali gue menciut. Mendadak kalem kalau sudah ada pria ini.

"Jangan buru-buru mikirin anak, lah. Mama ini bagaimana, sih? Setelah lulus, tentu Deka harus bekerja. Merawat anak nggak semudah yang dipikirkan." Rupanya Papa Malik mendengar obrolan kami.

"Apa salahnya? Kelak mereka pasti akan punya anak. Iya kan, Ka?"

Gue cuma bisa tersenyum tipis menanggapi ucapan Mama. Wanita itu beranjak ke dapur demi membuatkan minuman untuk Papa Malik. Meninggalkan kami berdua di sana. Pun gue merasa sedikit canggung.

"Bagaimana tugas akhir kalian? Kiara nggak malas-malasan, kan?"

"Nggak, Pa. Kami sudah daftar ujian proposal dan sedang menunggu jadwal."

Papa Malik menghela napas sesaat. "Baguslah. Setelah lulus nanti, kalian istirahat dulu sebentar. Kamu bisa cari kerja atau mau kerja di tempat Papa juga nggak masalah. Untuk sementara pikirkan saja tugas akhir kalian. Kalau Kiara males dikit, kamu tegur aja."

Lagi, gue menyengir kaku. Padahal yang suka malas-malasan adalah gue.

-oOo-

"Mas, kayaknya gue perlu minta maaf, deh, ke Jane. Ya, biar gimanapun, gue udah nuduh dia perkara yang waktu itu," jelas Kiara saat kami baru saja selesai mengulas kembali proposal skripsi.

Gue yang sedang bermain gim di ponsel pun menoleh sesaat. Kiara enggak mempermasalahkan karena memang sesi belajar sudah berakhir. Jadi, gue bisa main gim setelah ini. Ya, ampun! Damainya.

"Lo yakin mau ketemu Jane?"

"Gue nggak tau, Mas. Nggak enak aja udah nuduh-nuduh dia."

"Ya udah, besok gue antar."

Kiara mengangguk setuju. Perempuan itu diam selama beberapa saat. Sibuk dengan ponselnya. Entah berapa detik yang terlewat sampai gue merasa bosan bermain gim. Tiba-tiba gue penasaran akan sesuatu. Aksi gue yang meletakkan ponsel di atas meja pun menarik perhatian Kiara.

Maka enggak heran kalau dia menatap dengan penuh selidik. Gue mendekati Kiara, duduk di depannya sambil mengamati lamat-lamat wajah kecil gadis berponi tipis. Si Nyai Bocil Jelmaan Dora masih memamerkan tatapan herannya, terbukti dari kedua alis yang menukik tajam.

"Apa rencana lo setelah kita lulus nanti?"

Kiara mengangkat bahu. "Mungkin kerja. Lo nggak akan melarang gue kerja, kan?"

"Nggaklah, selama lo bisa mengatur waktu. Selama lo enjoy dan nggak lupa tugas lo sebagai istri."

Gue enggak salah lihat, kan? Pipi Kiara tampak bersemu karena kalimat barusan. "Ya, gue juga nggak akan lupa tugas gue sebagai suami. Biar bagaimana pun, gue harus menafkahi lo."

"Udahlah, nggak usah bahas itu. Gue mau ke kamar dulu."

Tangan gue justru menahan lengannya. Kiara mengerjap heran. "Itu perlu dibahas, Kiara Purnama Larasati. Biar gimanapun, bukannya kita udah sepakat untuk hidup selayaknya suami-istri? Banyak hal yang harus kita bahas, kan? Termasuk ...."

"Apa?! Lo jangan macem-macem, ya. Gue tonjok, nih!" ketusnya saat gue tersenyum jahil ke arahnya.

"Kayaknya bener kata Mama, lebih baik kita childfree aja. Gue takut sama lo. Lebih serem dari film horor."

"Mas Deka!" teriaknya sambil menggebuk gue berkali-kali.


Hi, Oneders!

Sori bolos update lagi😅

Terima kasih sudah meninggalkan jejak berupa vote dan komen~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro