41. Kiara: Kok, Nyaman?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Secercah sinar mentari yang menelusup lewat celah kusen membuatku sedikit terganggu. Aku menggeliat samar, tetapi tubuhku terasa tidak bebas. Aroma yang familiar menyergap lubang hidung. Aku membuat pergerakan lagi, tetapi tubuhku seakan-akan terkunci. Dalam pejam, aku berusaha berpikir jernih. Apa yang terjadi denganku?

Sebuah tangan kekar melingkar di pinggang. Demikian juga tangan kiriku yang memeluk seseorang dengan erat. Aku menggeliat lagi, tidak ada perubahan. Aku belum bisa bebas dari kekangan itu. Samar-samar aku membuka mata dan sedikit menahan napas tatkala melihat siapa yang kini tepat berada di depanku. Wajah tenang Mas Deka yang masih terlelap. Aku ingin sekali menjerit, tetapi tampaknya Mas Deka memelukku terlalu erat.

Astaga! Apa-apaan ini? Setengah frustrasi, aku berusaha untuk membebaskan diri. Sayangnya, berada dalam rengkuhan itu sedikit nyaman. Aku kembali menjatuhkan kepala dan memandang lamat-lamat wajah Mas Deka. Jakunnya yang menonjol membuatku meneguk saliva. Iseng, aku menyentuhnya dengan jari telunjuk. Lelaki itu tidak terusik, masih tampak demikian lelap.

Atensiku beralih memandangi wajahnya lamat-lamat. Sampai aku merasa tidak ingin bangkit dari sana. Ya, Tuhan! Mengapa aku tiba-tiba ingin bertahan di posisi itu lebih lama?

Sepasang mataku fokus mengamati bibirnya. Mengulas kembali kejadian semalam dan sontak, pipiku terasa panas. Rasanya aku sangat ingin memiliki kekuatan teleportasi, agar bisa pergi dari hadapannya. Aku meneguk saliva dalam-dalam, ketika menyadari semalam ... ah! Hampir gila rasanya, ketika aku membayangkan kejadian itu.

Aku terusik lagi dan pikiranku mengulas kejadian semalam.

"M-Mas ...." Aku mendesah samar tatkala kecupan-kecupan lembut dari bibirnya berhenti di ceruk leherku.

Namun, Mas Deka tampak tidak peduli. Sementara aku merasakan tubuhku sedikit bergetar. Sesuatu seperti akan meledak hebat karena degup jantungku yang bertalu. Aku mencengkeram lengan Mas Deka berkali-kali. Akan tetapi, usahaku percuma. Toh, saat dia kembali mencium lembut bibirku, aku membalasnya.

Gelap. Meski aku membuka mata, tidak ada ada yang menyapa selain kegelapan. Keringat dingin membasahi punggungku. Oke, ini mungkin berlebihan, tetapi ... please, ini ciuman pertamaku. Berkali-kali mataku terpejam saat membalas lumatan pelan yang dia perbuat. Suara kecapan pecah di dalam ruangan yang gelap.

Sekian detik berikutnya, aku tidak tahu bagaimana ... yang pasti ciuman kami mendadak makin menuntut. Demikian aku yang enggan untuk menghentikan kegiatan itu. Aku mengalungkan kedua tangan di lehernya dan dia dengan bebas mengecup setiap jengkal permukaan leherku.

Sampai ketika ....

"Mas!" Aku menjerit dan mendorong bahunya.

Kamar kami mendadak terang. Tanganku masih melingkar di lehernya. Deru napas kami memburu. Berbenturan di udara seiring sepasang mata yang saling menatap lamat-lamat. Pipiku terasa menghangat seketika. Tak mau kalah dengan degup jantung dan seluruh rongga dadaku yang mendadak panas. Seluruh tubuhku terasa akan terbakar. Dari mana datangnya hawa panas ini?

"Ki, g-gue ...," ucap Mas Deka terbata.

Aku segera bangkit dan Mas Deka mundur dari tempatnya. Bukan, aku tidak ingin menyalahkannya karena ... toh, aku tidak menolak. Lagipula, ini bukan sesuatu yang salah. Kami sepasang suami-istri. Hanya saja ... aku masih syok karena ini kali pertama bagiku.

"Maaf," ucapnya perlahan. Sementara aku cuma bisa menghindar dari tatapannya. "Gue mau ke kamar mandi dulu. Lampunya udah nyala, lo nggak usah takut lagi. Lo bisa tidur sekarang."

Lelaki itu beranjak dari ranjang dan melepas kemeja flanelnya. Sampai tersisa kaus putih longgar yang dikenakan sejak keluar rumah beberapa jam lalu. Mas Deka berjalan ke arah kamar mandi sambil mengibaskan kaus berkali-kali. Aku rasa, bukan cuma aku yang merasa gerah di sini.

"Ya ampun, Kiara!" Aku hampir saja menjerit dan segera berbaring. Menarik selimut untuk menutupi wajah.

Hah! Perasaanku masih saja menghangat. Saat membayangkan kejadian tadi, pipiku otomatis terasa panas. Ya, Tuhan! Bagaimana aku akan menghadapi Mas Deka besok?

Terdengar suara pintu kamar mandi dibuka. Aku segera berpura-pura tidur. Sungguh! Belum siap lagi untuk menghadapi Mas Deka.

—oOo—

Hari ini aku memutuskan berangkat sendiri sebelum Mas Deka bangun. Aku terpaksa membebaskan diri setelah berpikir cukup lama di atas ranjang dan tentu dalam dekapannya. Tanpa meminta izin pada Mas Deka karena berniat ingin menghindar sebentar. Walaupun kami akan bertemu lagi di rumah. Ah, haruskah aku menginap saja di rumah Papa?

Rasanya aneh kalau kami akan bersikap canggung nanti. Kejadian semalam tidak pernah berhenti membayangi benakku. Pun ujung-ujungnya, pipiku akan menghangat dengan sendirinya. Bersamaan dengan degup jantung yang berpacu lebih cepat. Adrenalinku terpacu setiap kali mengingatnya.

Kini aku duduk di salah satu kursi kosong depan perpustakaan. Memijat kening yang terasa sedikit pening. Bagaimana bisa aku sangat berlebihan begini setelah kami berciuman? Jangankan ciuman ... aku bahkan tidak pernah bisa membayangkan hal sejauh itu.

"Kiara?"

Suara itu membuatku menoleh. Mbak Erin terlihat mendekat dan baru saja keluar dari pintu perpustakaan. Oh ya, kami jarang sekali bertemu sejak fokus dengan skripsi masing-masing. Aku sedikit kaget karena kami bertemu hari ini.

"Tumben lo di kampus, Mbak," tegurku. Berusaha terlihat tidak kacau sama sekali.

"Iya. Gue lagi bosen aja di kos. Hari ini nggak ada jadwal bimbingan, sih. Jadi, pengin aja main ke sini. Kangen waktu bimbingan berdua lo. Eh, bertiga sama Bang Deka, deh."

Mendengar nama Mas Deka disebut, entah mengapa rongga dadaku kembali menghangat. Membayangkan wajah Mas Deka saja aku tidak sanggup.

"Eh, omong-omong, mana Bang Deka? Lo nggak bareng dia? Tumben," lanjut Mbak Erin.

"Hm, nggak tau. G-gue emang sengaja berangkat lebih pagi. Mau ke perpus aja."

Kening Mbak Erin justru memperlihatkan kerutan samar. Sementara aku berusaha menghindar dari tatapannya. Wanita itu malah meraba keningku.

"Lo nggak sakit, kan? Muka lo pucat, Ki."

Hah! Masa gue selebay ini, sih? Aku menggeleng dan nyengir lebar. Berusaha menyingkirkan punggung tangan Mbak Erin. Apa penampilanku kacau banget, ya? Sumpah, deh! Kiara Purnama Larasati, ini bukan lo banget.

Belum sempat Mbak Erin berucap lagi. Sorot matanya beralih ke arah tempat parkir gedung perpustakaan. Dia melambai begitu melihat seseorang baru saja tiba dan memarkirkan motor di sana. Sedangkan aku buru-buru berdiri membuat Mbak Erin terkejut.

"M-Mbak, gue duluan, ya. Ada janji sama Hilda." Ini sebenarnya sebuah kebohongan demi menghindar dari Mas Deka yang baru saja tiba. Bahkan kini mendekati kami.

"Loh, itu suami lo baru aja dateng," katanya setengah menggoda.

"Maaf, tapi ... gue harus pergi."

Tanpa mendengar Mbak Erin protes lagi, aku segera pergi dari hadapannya. Sepasang mataku melotot tatkala tidak sengaja bersirobok dengan kedua netra Mas Deka. Bibir lelaki itu setengah terbuka ingin menyapa, tetapi aku menunduk dan bersicepat kabur dari sana.

Aku tahu ini bukan hal patut dilakukan. Namun, aku benar-benar masih tidak siap untuk menghadapi Mas Deka. Entah bagaimana nanti caraku untuk menghindar darinya di rumah. Syukurlah, Mas Deka akan pergi ke kafe Radi malam ini. Aku bisa tidur lebih cepat untuk menghindarinya.

"Kalau jalan jangan buru-buru begitu. Nanti jatuh," kata seseorang memperingatkan.

Aku berhenti tepat di depan sepasang sepatu Converse hitam. Ketika mendongak, kulihat Mas Arga berdiri di sana sambil tersenyum ramah. Mau apa dia?

"Maaf, Mas. Gue buru-buru."

"Buru-buru, tapi bikin lo celaka di jalan juga nggak bagus, Ki. Mau gue antar ke tujuan lo? Kebetulan gue lagi senggang."

Alisku bertaut dan menatapnya dengan heran. Sampai kapan dia akan bersikap peduli seperti ini, ya? Padahal dia sendiri tahu kalau aku ini sudah bersuami.

"Mas, lo tau kalau gue ini ...."

"Punya suami? Ya, gue tau. Tapi, emangnya gue nggak boleh jadi teman lo?"

"Ya, nggak boleh, lah. Apalagi sama istri orang."

Bahana itu tidak hanya membuatku terkejut, tetapi Mas Arga pun demikian. Aku memutar tumit dan melihat kehadiran Mas Deka di sana. Ya, ampun! Aku menahan napas sesaat dan boleh nggak sih, gue pingsan aja di sini?

"Maaf, nih, Mas-Mas ... gue duluan, ya. Masih ada urusan. Permisi ...." Belum sempat melangkah, puncak ranselku sudah ditarik paksa oleh Mas Deka. Siapa lagi kalau bukan dia?

Secepat mungkin tubuhku mundur. Membuat jarak kami makin mengikis. Lagi-lagi degup jantungku berulah. Kali ini terasa persis seperti semalam. Sepasang mata Mas Deka masih fokus menatap Mas Arga. Tidak seperti biasnya, kali ini tanpa ekspresi.

"Gue harus bicara berapa kali biar lo paham, sih, Ga? Okelah, gue kasih paham sekali lagi, oh bukan ... tapi ini peringatan, berhenti cari kesempatan buat mendekati istri gue. Cewek lain banyak, jadi kenapa harus yang udah bersuami, sih?"

Hi, Oneders!

Sori banget, kelamaan update-nya hha. Setelah Deka dan Kiara kisseu di bab sebelumnya, aku jadi mikir lama buat lanjutannya meski suda ada outline😆

Oh ya, aku baru nyadar banyak banget typo di cerita ini. Jangan ragu berikan komentar, ya! Kritik dan saran juga, kalau misal ada plot hole-nya ini cerita, bisa dijadikan bahan buat revisi nanti 😅

Terima kasih sudah selalu menunggu dan meninggalkan jejak berupa komentar dan vote~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro