51. Kiara: Bagaimana Kalau?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cil, buruan! Katanya mau ke kampus."

Suara Mas Deka terdengar lagi karena aku belum juga keluar dari kamar. Bukan karena aku tidak sanggup bertemu dan melihat wajahnya lagi karena kejadian semalam. Namun, karena sejak tadi aku sibuk membongkar seprei. Noda merah di sana benar-benar menggangguku. Bagaimana tidak? Setiap mengingatnya, pipiku terasa sangat panas.

Ya, ampun! Aku mendadak ingin menjerit saja. Kalau bisa malah ingin teleportasi saja sehari. Ke mana saja asal tidak melihat Mas Deka dulu. Bisa-bisa seharian ini aku tidak fokus karena kejadian semalam.

"Cil, lo ngapain? Lama banget."

Mas Deka mematung di ambang pintu begitu melihat aku yang memeluk seprei. Mataku mengejap beberapa kali, merasakan kecanggungan yang amat kentara. Lelaki bermata sipit itu membagi tatapan antara aku dan ranjang kami yang tidak dilapisi seprei.

"A-anu ... ini ... itu," ucapku terputus-putus. "Kotor. Jadi, gue ganti aja dulu. Lo kalau mau berangkat sendiri, berangkat aja duluan. Nanti gue naik angkot."

Lelaki ini malah berdecak dan mendekat. Merampas seprei di tanganku, lalu meletakkannya di atas kasur. "Udah, nanti aja. Ayo, berangkat!" ajaknya seraya menarik pergelangan tanganku.

Tentu dengan berat hati aku meninggalkan seprei yang teronggok di atas kasur. Oh ya, itu bukan seprei bunga motif mawar milikku, ya. Sudah lama Mas Deka mengeluh ingin menggantinya.

Setelah keluar dari rumah, fokusku terjatuh pada tangan Mas Deka yang masih melingkar di pergelangan tanganku. Kedua sudut bibirku dengan tidak sopannya malah terangkat membentuk senyum tipis. Aku terkesiap ketika Mas Deka melepaskan tanganku. Entah mengapa aku sedikit tidak suka.

"Pakai!" titahnya menyerahkan helm. "Gue antar ke kampus aja, ya. Kan, mau ketemu Erin. Gue mau ke tempat Radi dulu sebentar, nanti kalau udah mau balik telpon aja. Gue anterin balik."

"Nggak usah, lo udah mulai kerja lagi, kan? Jadi, gue balik sendiri aja."

Tangannya yang hendak menarik gas motor pun tertahan. Ia menatapku selama beberapa saat. Kedua alisnya bertaut dan aku malah memalingkan tatapan. Sungguh, belum siap menatap Mas Deka lagi setelah apa yang kami lakukan semalam.

"Ya udah, deh. Tapi, lo nggak marah, kan?"

"Kenapa, sih? Selalu aja mikir gue lagi marah."

Mas Deka malah nyengir lebar-lebar. "Ya, abisnya lo emang suka marah-marah. Baguslah kalau udah dikurangin marahnya. Kalem dikit, kan, lebih cantik." Jari telunjuknya dengan enteng mencolek hidungku.

"Ih, Mas!" protesku.

"Lo kenapa, sih? Gue colek dikit aja marah. Giliran semalam ...."

"Stop!" Aku menjulurkan tangan di depan wajahnya. "Nggak usah dibahas. Ayo, berangkat," ajakku seraya baik ke boncengan motornya.

Lelaki ini malah terkekeh pelan dan berkata, "Oke, Bocil Sayang."

—oOo—

"Ki, menurut lo bagus yang ini atau yang ini?" tanya Mbak Erin sambil memperlihatkan dua setelan baju bayi yang berbeda warna.

"Bedanya apa, ya? Perasaan itu model dan motifnya sama, Mbak."

Mbak Erin malah berdecak dan kembali menunjuk kedua gambar di ponselnya. "Warnanya beda, Kiara. Astaga! Masa yang begini aja nggak bisa lo bedain, sih? Sekarang menurut lo yang bagus yang mana?"

Aku menatap gambar itu sesaat, lalu membuatkan pilihan. Mbak Erin terlihat mengangguk senang. Kami datang ke kampus hari itu memang sengaja ingin bertemu saja. Niatnya mau mengecek kabar tentang yudisium, tetapi aku tahu nanti bakal dikabarkan lagi. Kendati demikian, aku tetap tidak menolak saat Mbak Erin menyeret lenganku ke arah kantin fakultas.

Di sinilah kami duduk sekarang, di kursi yang terletak paling pojok. Mengingat UAS sudah kelar dan hari libur telah tiba, tidak banyak mahasiswa yang datang ke kampus. Hanya beberapa yang masih memiliki keperluan saja. Bahkan saat aku mengunjungi prodi tadi, hanya diisi oleh beberapa mahasiswa akhir.

"Itu buat siapa, ya, Mbak?" tanyaku setelah sekian detik menatap Mbak Erin yang tampak excited.

"Buat sepupu gue. Bentar lagi mau lahiran, nih." Sepasang mata wanita itu kini beralih dari layar ponsel. Dia menatapku lama dan kedua tangannya terlipat di atas meja. "Ki, nanti kalau lo punya bayi, gue juga bakal belikan hadiah buat anak lo. Jadi, kabarin gue kalau lo udah berisi."

Aku nyaris menyemburkan es teh yang baru saja masuk ke lorong esofagus. Melihat ekspresiku, Mbak Erin malah terkekeh. Perkataannya justru membuat pipiku menghangat. Terlebih saat memproyeksi kejadian semalam. Ya, ampun! Bisa nggak, aku lupa dulu selama beberapa jam? Kenapa malah ada saja yang mengingatkannya.

Dengan wajah tanpa dosanya, Mbak Erin lagi-lagi menatapku. "Tapi, serius. Masa lo nggak suka sama Bang Deka, sih? Menurut gue dia lumayan, kok. Apalagi dia punya rumah sendiri, udah gitu bisa kerja juga, yang pasti gue yakin kalau dia lelaki bertanggung jawab."

"Mbak, gue kasih tau, ya ... sebenarnya ...," ungkapku seraya menelan saliva sesaat. Sebelumnya aku tidak pernah menceritakan tentang perasaanku kepada siapa pun. Namun, sepertinya kepada Mbak Erin tidak akan menjadi masalah. "Mas Deka pernah bilang kalau dia suka sama gue, Mbak."

"Serius lo?" Kedua mata Mbak Erin membulat kaget. Dia menggeser kursinya agar bisa lebih dekat denganku. Tatapannya berubah penuh tanda tanya. "Terus ... sekarang kalian udah jadian ... eh, nggak, udah beneran suami-istri, dong? Eh, tapi kalian suami-istri beneran. Gimana, ya nyebutnya?"

Aku terkekeh pelan melihat ekspresi bingung di wajahnya. "Nggak usah dipikirin, Mbak. Gue cuma mau cerita itu aja, kok. Ya ... hubungan kami lebih baik dari sebelumnya."

Mbak Erin menunjuk wajahku, tidak lupa memamerkan sorot menggoda. "Ehm ... berarti lo juga suka sama Bang Deka, ya?"

Pertanyaannya membuatku terdiam sesaat. Sedetik berikutnya aku mengangkat bahu dan berkata, "Mungkin."

"Kok, mungkin? Kiara, kalau lo udah mulai menerima hubungan atau status kalian ini. Lo pasti udah jatuh cinta sama dia."

"Gue udah menerima status kami dari dulu, kok."

"Berarti lo suka sama Bang Deka dari lama, dong?"

Aku berdecak pelan dan menyingkirkan jemarinya di hadapan wajahku. "Nggak gitu, Mbak. Gue ... yang jelas gue merasa nyaman di dekat Mas Deka akhir-akhir ini."

"Aaa!" Mbak Erin malah berseru dan memelukku. Tingkahnya malah mengundang perhatian beberapa mahasiswa yang sedang berada di kantin. "Senang, deh, dengarnya. Apa pun itu, gue berharap lo sama Bang Deka baik-baik aja, Ki. Kalau bisa, sih, gue mau lihat lo jadi Mama dulu."

"Mbak, ih! Gue aja nggak pernah mikir sejauh itu, kok," ucapku sambil menggigit sedotan.
Pikiranku kembali berkelana pada kejadian itu. Melakukannya sekali bukan berarti aku bakal hamil, kan? Aku terusik dengan pertanyaan itu dan tanpa sadar mengusap perutku sendiri yang tertutup hoodie.

"Ya, pokoknya ... gue doain yang terbaik buat kalian, Ki."

Suara Mbak Erin menyadarkan aku dari lamunan. Aku membalas ucapannya dengan senyuman tipis. Atensiku beralih dari Mbak Erin karena ponsel di atas meja bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor Mama. Demi menuntaskan rasa penasaranku, aku pun segera membacanya.

Mama: Ki, lagi di mana? Bisa ke rumah nggak, kita bicara sebentar. Mama khawatir sama Papamu, dari dua hari lalu nggak pernah betah di rumah. Maaf, ya, Mama belum bisa ngasih kabar baik ke kamu dan Deka tentang keputusan Papamu. 

Aku menghela napas sesaat. Hampir lupa kalau Papa belum merespons keinginan Mas Deka setelah mereka berbicara. Kalau sudah begini, Papa pasti bakal sangat kepikiran. Buktinya beliau sering pergi dari rumah dan aku sangat mengenal Papa kalau sedang banyak pikiran.

"Mbak, menurut lo ... kalau gue hamil, Papa bakal tetap ngasih izin nggak, ya?" gumamku.

"Ah, kenapa, Ki?"

Aku terkesiap mendapati Mbak Erin yang menatap dengan heran. "O-oh ... nggak apa-apa, Mbak. Gue balik duluan, ya? Mama minta gue ke rumahnya."

"Ah, gitu ... oke, lo hati-hati dan trims udah mau diajak ketemu."

Ucapan Mbak Erin aku balas dengan senyuman  lebar. Secepat mungkin aku bergegas keluar dari kantin. Menyusuri lorong kecil di samping bangunan itu dan keluar menuju gerbang fakultas. Sebelum melangkah lagi, aku menghela napas. Semoga saja Papa tidak berbuat hal-hal yang terkesan sangat nekat.

Hi, Oneders!

Enggak terasa, ternyata aku udah ngetik sejauh ini😅 terima kasih buat yang udah baca juga sampai part ini, ya^^ semoga bisa bertahan sampai akhir hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro