Tanpa judul bagian 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Secepat bapernya, secepat hilangnya.'

****

Selama hidupnya, Lea tak banyak mengenal pria. Dibesarkan dibawah doktrin Ayahnya yang tak mengizinkan Lea keluar rumah tanpa didampingi dirinya atau kakak semata wayangnya, membuat Lea hanya mengetahui dua karakter pria. Pertama adalah Ayahnya, seorang pemaksa yang begitu mendominasi. Dan Abangnya, adalah pria yang dengan sukarela menjadi tameng penyelamat Lea di bawah perintah keras Ayahnya.

Sejak otak Lea mampu merekam kejadian sekelilingnya, mampu mengikatnya dalam memori kenangannya, sepanjang itu Lea hanya hidup dalam kungkungan posesif Ayahnya. Oh, tentu saja Ayah Lea melakukan itu bukan tanpa alasan, ia hanya ingin Lea tak bernasib sama seperti ibunya, mati sia-sia hanya demi memerjuangkan cinta kekasih gelapnya.

Hingga sekarang, dalam benak Lea, doktrin Ayahnya yang memaksakan Lea agar terus mengingatnya, bahwa perempuan harus diisolasi dari dunia luar. Toh, memang kewajiban laki-laki yang menyejahterakan wanitanya.

Tapi entah terkena angin apa, kemarin siang Ayah Lea mengajak putri satu-satunya itu ke sebuah sekolah swasta. Setelah sembilan tahun Lea belajar di rumah, melahap buku yang hanya dibelikan oleh Abangnya akhirnya Lea merasa ia mampu bernapas lega. Ayahnya, tanpa instruksi apapun pagi itu mengajak Lea keluar dan berakhir di sekolah yang saat ini statusnya sebagai salah satu sekolah favorit di kotanya.

"Jangan senang dulu, Lea. Ayah mendaftarkanmu disini agar kau belajar dengan benar. Ayah rasa belajar di rumah terlalu mempersempit ruang gerakmu," saat tangan Ayah Lea selesai dengan pengaman yang ia pasangkan di tubuhnya, ia melirik Lea dari ekor matanya, kemudian melanjutkan, "Bukan berarti Ayah mengijinkanmu keluyuran seenaknya. Kau akan diantar jemput oleh Abangmu. Dan perlu ka ketahui, semua tenaga pengajar di sekolah ini mengenal Ayah. Jangan ocba-coba melakukan sesuatu yang membuat Ayah murka."

Lea menegang di kursi penumpangnya. Tak berani menatap langsung bola mata Ayahnya, kepalanya ia tundukkan tanda Lea tak membantah doktrin Ayahnya. Ayahnya ini, walau amat pemaksa, Lea tau laki-laki di sampingnya begitu menyayangi dirinya. Hanya saja, bentuk penyampaiannya yang agak sedikit aneh, dan tentunya berbeda.

****

Lea memutuskan mendaftarkan dirinya menjadi sukarelawan PMR di sekolahnya, hari ini tepat pendaftarannya akan ditutup. Ia langkahkan kakinya tenang menuju ruang sekretariat PMR , jika nanti ia terpilih, akan ada alasan kuat dirinya terlambat pulang karena harus berlatih simulasi yang sudah ditentukan oleh pengurus PMR di sekolahnya. Dengan begitu, Lea memiliki waktu sebentar di rumahnya yang sudah seperti neraka bagi Lea.

"Jadi, Lea. Lo ikut juga?"

Persis seperti dugaan Lea, saat ia masuk ke ruangan ini dan duduk di sebuah kursi single yang berhadapan dengan sebuah meja sebagai sekatnya, ia disambut oleh Hanif. Teman seangkatannya yang bersikap terlalu ramah pada Lea.

Hanif inilah yang menjadi alasan utama kenapa ia memutuskan menantang doktrin Ayahnya yang tak mengijinkan Lea mengikuti organisasi apapun di sekolahnya. Toh, sekarangpun ia tak ikut berorganisasi, hanya menjadi bagiannya saja, itupun sebentar. Sudah setahun Lea berada di sini, baru kali ini Lea berani melawan perintah Ayahnya hanya demi Hanif, orang yang sebenarnya sudah Lea ketahui memiliki kekasih hati.

"Iya, Nif. Gue kesian sama lo, dari kemarin gue pantengin, ga ada yang daftar kayaknya. Yaudah dengan berat hati gue ke sini, daripada lo ga dapet cast satupun."

"Ah, lo, Le. Sok tau, banyak kok yang daftar. Lonya aja yang ga liat, nih!" Hanif menunjukkan buku besar bersampul keras yang halamannya terbuka di tengah itu pada Lea, memberikan jeda sebentar agar retina Lea mampu menerjemah tulisan di buku itu.

"Lumayan sih. Omong-omong, Arinda ga ikut, Nif?" bukan hal baru lagi, Lea tau betul kalau Hanif sedang menjalin kasih dengan Arinda, teman sekelas Lea.

"Ga, Le. Ada bimbel yang ga bisa ditinggal katanya," ada nada muram yang begitu kentara dalam suara Hanif barusan. Tentu saja Lea mampu mengartikannya, Hanif sedang dalam mood yang tak baik sekarang. Ia menjadi panitia pendaftaran hanya seorang diri sekarang, harusnya Hanif berdua dengan Arinda. Di jadwal yang tertempel di mading sekolah begitu isinya.

Lea memang menyukai Hanif, amat sangat menyukainya. Hingga setiap malam sebelum tidur, ia selalu berdoa setidaknya Tuhan mengijinkannya bermimpi tentang Hanif dan dirinya. Kalau di dunia nyata Hanif milik orang lain, maka dalam alam bawah sadar Lea, Hanif adalah miliknya. Ironis memang, tapi itulah kenyataannya.

Lalu, apa yang mampu dilakukan Lea, seorang gadis polos yang hidup terkurung di rumah selama hidupnya. Meski Lea tak begitu mengenal Arinda, ia tahu perempuan itu juga memuja Hanif, layaknya dirinya.

****

Jika dua minggu yang lalu Arinda hanya teman sambil lalu dalam hidup Lea, sekarang begitu berbeda. Arinda gadis yang baik, amat lembut, dan cantik tentunya. Tak salah jika Hanif begitu mendamba pada Arinda, bukan pada Lea.

"Lo sayang, kan Rin sama Hanif?" entah kenapa Lea menyuarakan kalimat krusial yang tentunya ia sudah tahu jawabannya. Sejak dua minggu lalu, Lea yang seorang intovert kelas atas itu mencoba menembus pertahanan Arinda yang pendiam dengan cara terus berada di dekat gadis itu. Bukan tanpa maksud ia mendekati Arinda, Lea ingin mengorek informasi lagi tentang Hanif pada Arinda.

"Kenapa bertanya seperti itu, Le?" Arinda jelas saja sanksi terhadap Lea. Seperti dirinya terpergok selingkuh saja.

Lea tak menjawab, malah menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Pertanyaan Arinda dibiarkan menggantung yang menciptakan suasana ironi yang tak kentara.

"Sebenarnya ada sesuatu yang mesti lo tau Rin."

Tiba-tiba Lea menangis tanpa suara. Arinda yang menyaksikan itu ternganga.

"Hanif, dia dijodohin sama gue. Mamahnya sakit Rin, gue ga tega nolak. Tapi, tolong lo jangan bilang Hanif soal ini, gue ga mau dia tambah benci sama gue."

Setelah penuturannya itu, Lea menangis keras, meski Arinda ingin membrondong Lea dengan pertanyaannya yang teramat banyak, Arinda tak sampai hati membuat Lea yang sedang menangis itu tambah bersedih. Jadilah pernyataan Lea barusan dibiarkan Arinda mengiang di benaknya, dibiarkannya pikirannya menduga-duga.

Lea

Dijodohkan

Dengan

Hanif

Lea sendiri tak menyangka, mulutnya mampu mengeluarkan kebohongan besar itu, sampai hati ia membuat Arinda begitu kecewa, kentara dari pelupuk mata gadis itu yang mendadak kelabu, tak Lea temukan sinar kebahagiaan dalam iris cokelat transparan milik Arinda itu, saat Lea mengangkat kepalanya dari kungkungan lengan Arinda.

****

Malamnya, Arinda memutuskan hubungannya dengan Hanif. Gadis itu membuat keputusan yang tentunya menyakiti hatinya sampai ke bagian terdalam. Lea siang itu menjelaskan detail perjodohannya dengan Hanif.

Awalnya Arinda menolak untuk percaya, selama ia kenal dengan Hanif, tak sekalipun pria itu terlihat menyimpan sesuatu darinya. Sifatnya yang amat humoris bisa saja menutupi sebuah rahasia dari Arinda.

Ibu Hanif baru-baru ini kembali masuk rumah sakit, kelainan jantung kata Lea. Sering sudah ibu Hanif bolak-balik rumah sakit, dan hal itu juga luput dari pengetahuan Arinda. Setiap Hanif ditanya tentang keluarganya, pria itu akan mundur teratur dan memilih membiarkan pertanyaan Arinda menggantung, atau lebih parahnya Hanif mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.

Arinda teramat kecewa pada Hanif. Dirinya dibiarkan mengetahui informasi krusial itu dari mulut orang lain, bukan Hanif, kekasihnya.

Seharian ini Arinda hanya menangis, sehabis pulang sekolah tadi, ia melihat Hanif menungguya di parkiran, seperti kebiasaan pria itu yang akan mengantar Arinda pulang. Tapi Arinda memutar balik, ia memilih pulang naik angkutan umum daripada berdua dengan pria pembohong seperti Hanif.

****

"Mentari, senja jatuh hati padamu

Meski berkubang luka kala menunggu di sore hari

Senja tak lelah untuk kembali, oleh siang yang melepasnya pergi, pada malam yang menanti

Mentari, jangan menolak, jangan kau koyak

Senja tak kuasa mengatur rasa

Pada siapa ia akan menjatuhkan diri"


Puisi tanpa nama itu, kembali Hanif temukan saat kakinya melangkah melewati pintu hendak keluar, hari ini tepat hari ke-3 dia mendapati kertas putih itu tergeletak di terasnya. Entah siapa pengirimnya, Hanif mengabaikan. Meski ada resah yang menggelitik, takut-takut jika pengirimnya berniat meneror dirinya.


Pagi ini, lesu menggelayut benak Hanif. Semalam ia menelan kepahitan tanpa aba-aba, pasalnya Arin, -begitu Hanif selalu memanggilnya- memutuskan tali kasih mereka. Gadisnya itu entah kenapa begitu berbeda, ada sekat yang dibangunnya saat Hanif mendekati Arin akhir-akhir ini.

Tangannya perlahan menjumput kertas itu, kemudian melipatnya rapi, dimasukkannya dalam tas yang baru bertengger di jarinya sebelum seperti biasa akan ia sampirkan di punggungnya.

****

Lea mengintip di kejauhan, sinar matanya nyalang menatap Hanif di seberang jalan. Gadis itu menunggu Hanif keluar dari rumahnya sepagian ini, menanti reaksi Hanif saat mendapati surat tak bernama itu ada di depan pintunya.

Pagi ini Lea berhasil berkelit dari Abangnya yang seperti biasa siap mengantarnya ke sekolah, ia mengatakan hendak berangkat bersama temannya saja, karena itu, Abangnya menurunkan Lea di pertigaan depan komplek perumahan Lea, dan memutuskan tak menunggu Lea karena ia juga harus berangkat ke kampusnya.

Hanif adalah cahaya untuk Lea. Tak peduli saat ini cahaya itu bukan dalam genggamannya, atau selamanya tak akan pernah ia genggam. Yang Lea tahu, Hanif adalah cintanya, meski cinta pria itu bukan untuknya.

Hanif adalah seberkas sinar yang datang tanpa diminta dalam hidup Lea, Hanif adalah mentari Lea. Cahaya mentari yang jingga, membawa kelembutan dalam setiap sisi diri Hanif, menularkan berbagai macam rasa pada hidup Lea yang kelam.

Lea menyadari, mencintai Hanif adalah sebuah kesalahan. Mencinta pada yang sudah punya itu suatu hal yang tabu menurut Lea, tapi Lea tak mampu mengelak, pada hatinya yang meneriakkan Hanif.

****

"Le," Hanif berhenti saat badannya memasuki ruang kelas Lea, teriakannya seketika membuat Lea yang -berpura-pura tak acuh- memalingkan muka dengan mimiknya yang sebal.

"Apa?"

Jika dilain waktu Hanif akan mendebat Lea jika mendengar jawaban Lea yang bernada tak bershabat itu, kali ini ia mengabaikan. Tak peduli dengan air muka Lea yang juga tak bersahabat, ia memilih fokus pada urusannya.

"Arin, Le, dia mutusin gue. Gue salah apa?" sekarang tubuh Lea ditarik Hanif, kedua lengan Hanif merangkul, oh bukan mencengkram pundak Lea sedikit keras, refleks Lea meringis. Namun Hanif, seakan tak mendengar, tangannya dibiarkan mencengkram pundak Lea lama.

"Terus kenapa harus gue yang lo giniin? Emang gue yang nyuruh dia mutusin lo?" entah kenapa, pertanyaan Lea kali ini disampaikan dengan nada yang menyiratkan sesuatu tak terbaca.

"Ya, lo apain dia kek, atau.., ya, apalah ... argh!" nada putus asa begitu kentara dalam isi suara Hanif barusan. Tangannya beralih mengacak rambutnya agak kasar. Membuat helaiannya bertaburan acak-acakan, menambah keelokan rupa Hanif yang rupawan itu.

Oh, jangan sekarang Hanif, kau terlalu menggoda. Batin liar Lea mengambil alih, gadis itu menatap pasrah seraya menengadahkan kepalanya, pasalnya tingginya hanya sebahu Hanif.

"Temuin Arindalah, masa ke gue," setelah hening lama barusan, akhirnya Lea berhasil menguasai dirinya, ia tak siap menanggung malu jika nanti terang-terangan dirinya memuji Hanif.

"Udah gue cari, Le. Dianya gak ada, marah banget kali sama gue."

Belum sempat Lea menanggapi ucapan Hanif, handphone di saku lelaki itu bergetar. Secepat kilat Hanif menyambarnya, tak biasasanya jam segini hp-nya berbunyi. Hanif menjauh dari teritori Lea, mengisyaratkan pembicaraannya dengan entah siapa yang kini meneleponnya tak boleh di dengar gadis itu.


Lea hanya menatap nanar punggung Hanif saat lelaki itu berbalik menjauhi Lea. Ada sendu yang melingkupi celah mata Lea kala menatap lekat punggung Hanif yang perlahan menghilang di pintu. Ia sebenarnya tak sampai hati menguji cinta Arinda pada Hanif dengan kebohongan yang terasa nyata. Meski tak sepenuhnya membual, Lea berhasil menghilangkan orientasi Arinda pada Hanif, hingga hasilnya perempuan itu memilih jalan dengan meakhiri hubungannya bersama Hanif.

Masih dengan tatapannya yang teramat sendu, pundak Lea ditepuk pelan. Mengerjapkan mata beberapa kali saat refleksnya terjaga. Hanif. Orang yang menyentuh pundaknya barusan, lelaki ini terlihat berbeda. Kentara sekali perubahan air mukanya. Jika sebelumnya wajah rupawan itu diliputi putus asa yang teramat, maka sekarang dalam penglihatan Lea yang mendetail, Hanif menampilkan wajahnya yang sendu. Entah apa obrolannya di telepon barusan, yang pasti Hanif berhasil dibuat bersedih hati. Lea mencoba mengamati lebih detail wajah Hanif, gadis itu mendapati ada air mata yang menggenang di sepanjang yang ia tahu adalah pelupuk mata.

"Tadi orang rumah yang telepon, ibu gue makin parah kondisinya. Kalau memungkinkan, ibu gue dipindah ke luar negeri," ada jeda yang begitu menyiksa, Lea ternganga. Jadi, ada kemungkinan Hanif juga akan ikut, bukan? Spekulasi Lea yang ini, entah mengapa menghujam ke bagian terdalam hatinya. Meski kala ia pertama mengetahui kalau ibu Hanif memang dirawat di rumah sakit, Lea sudah menyiapakan hati jika nanti Hanif akan berpaling dari sisinya.

"Ya, kalau itu terjadi, gue juga pindah."

Telinga Lea berdenging menyeramkan seusai mendengar penuturan Hanif itu. Tanpa sadar, tangannya terangkat menyentuh daun telinganya agak kasar, menekannya kuat sampai-sampai telinganya penuh, tapi suara dengingan itu tak mau menjauh.

"Lea? Lo kenapa? Sakit?" Hanif mencoba mengambil lengan Lea dari telingaya, berusaha menurunkannya dari posisi yang menyakiti Lea sendiri.

"A ... gue OK," meski terdengar tak meyakinkan, setidaknya Lea sudah mengusahakan mengumpulkan pita suaranya hingga hanya terdengar mencicit ke permukaan.

"Gue pamit, Le. Sekalian, gue nitip ini buat Arin. Harusnya hari ini, kita genap 9 bulan. Makanya gue nyiapin ini," Hanif mengambil setangkai mawar merah semerah darah kesukaan Arinda. Baginya, sederhana saja, asal Arin mau menerima hadiahnya, apapun itu asal Arin bahagia.

****

Kata Arinda, semingguan ini gadis itu pergi ke rumah neneknya untuk menenangkan diri. Sehabis kejadian yang begitu mendramatisir bersama Hanif kala itu, Arinda sekalipun tak berani menemui Hanif.

Lea mendengarkan penuturan gadis itu dengan saksama. Hatinya pilu menyaksikan Arinda yang begitu memuja Hanif. Bukan karena cemburu, tapi kentaranya ia merasa bersalah. Kenyataan bahwa Arinda memutuskan Hanif karena sebuah kebohongan yang keluar dari bibir mungil Lea, menohok hatinya.

"Arinda, maaf."

Air mata Lea bercucuran deras, tak lagi mampu membendungnya. Hatinya diliputi sesal. Amat sangat menyesal.

"Untuk?" Arinda paham, ada sesuatu yang ingin Lea sampaikan padanya.

"Semua yang gue lakuin sama lo dan Hanif. Gue melakukan sebuah kebohongan yang tak berdusta."

Alis Arinda nyaris menyatu saat mendengar Lea berucap demikian, apa lagi yang dimaksudkan gadis itu, begitu banyak arti tersirat dalam kalimatnya.

Lea menangis, lagi. Menceritakan perihal kebohongannya yang tak sepenuhnya adalah dusta. Pada Arinda, sang malam yang bersanding dengan senja. Menyerahkan setangkai mawar layu titipan Hanif untuk Arinda.

"Sudah seminggu dalam dekapan gue, Rin," pada akhirnya Lea mengikhlaskan. Tak mau melanjutkan kisah ibunya yang berjuang mati-matian demi sebuah cinta tabu yang menjanjikan kebahagiaan semu. Lea tak ingin begitu, meski serenda sendu itu kini tertanam di hati Lea. Melekat erat sampai kapanpun itu, Lea tak mampu menyanksikan. Selama masih ada Hanif dalam ingatan Lea, maka sendu itu mengiringinya.

****

Meski Arinda menyadari, hadirnya sudah begitu terlambat. Setidaknya Arinda sempat berusaha, mengejar Hanif saat kepindahan pria itu ke London. Setidaknya ia berhasil mengalahkan egonya, memilih memaafkan Lea walaupun sakit itu terkadang mendesir di relung jiwanya, menciptakan kosong yang hanya Arinda ketahui.

****

Secepat bapernya, secepat hilangnya. Lea kini berakhir di rumahnya lagi. Hidup kembali dengan doktrin Ayahnya yang begitu menyiksa, tak sanggup kembali ke sekolah dan bertemu Arinda.

****

Hanif diam-diam memimpikan dirinya dalam waktu terdahulu, membayangkan ia berdiri bersisian dengan Arinda, sang malam yang ia genggam saat jingga senja menyapa. Dalam sekatnya ia menjaga ibunya.

****

Lea, Hainif, dan Arinda pada ujungya memiliki takdir mereka sendiri. Memilih pada kebahagiaan yang menciptakan mekar di bibir mereka selalu. Adalah cinta sejati, mereka temukan saat luka itu belum mengering sepenuhnya, dan membiarkan cinta menutupnya dengan bumbu manis sebagai selimutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro