21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ramein bab ini kalo mo dobel apdet. Yuuuuk cepet.

Di KK dan KBM udah bab 54 yes. Pada sorak-sorai bergembira semua netizennya. Padahal awal2 mereka pada misuh2 ama Yayang Hans🤣 auk dah.

Hei, bencik mah bencik ajaaaa. Jangan malah ngadu domba mama ola. Bukannya kalian juga bencik ama mama si ola? Duh, netizen eke selalu galau. Dari Bhumi sampe Hans, mereka kaga ada pendirian. Mudah letoy n mleyot.

Foto Hans mana ya? Eke baru sadar, sejak di Madu in Training, eke kaga pake cast lagi.

***

21 Pelangi di Langit Gladiola

Hujan belum juga berhenti ketika Hans lagi-lagi menyuruh Gladiola untuk menyantap bakso di hadapannya. Gladiola sendiri merasa tidak berani makan karena terngiang nasihat Tata. Walau rasa sukanya terhadap bakso amatlah besar, ketakutan akan penyakitnya yang bisa makin parah membuatnya berpikir dua kali. Tetapi, sadar bahwa yang mentraktir dan menyuruh makan adalah Hans, dia jadi galau.

“Lo sok kaya pakai traktir-traktir gue segala.” Gladiola mengalihkan perhatian Hans ketika pria itu terus mengoceh kalau tubuh lawan bicaranya bakal makin dingin kalau dia menolak makan. Di lain pihak, Gladiola berusaha bersikap santai. Setelah tahu Hans hanya menduganya marah karena dia putus dengan Ranti, Gladiola merasa amat percuma marah tidak jelas di depan pria yang tidak pernah menyadari perasaannya. 

“Jelas. Gue banyak duit.” Hans nyengir seolah pamer harta adalah hal hebat buat Gladiola. Untung dia sudah berhenti naksir Hans. Jika tidak, pastilah Gladiola bakal dicap mata duitan juga.  

“Jangan salah paham, “ Hans melanjutkan, “Gue punya usaha sampingan sekarang. Papa bikinin usaha steam motor, lo tahu, kan? Cuci motor. Kalau kuliah atau kursus, anak buah gue yang jaga.”

Cih. memangnya Gladiola bakal histeris? Pemuda yang berniat membantu orang tua bukan cuma dia saja. Gladiola juga salah satunya. Bahkan, dia tidak ingat kapan terakhir kali dinafkahi. Ah, apakah membayar uang SPP yang menunggak selama enam bulan termasuk dinafkahi? Mama selalu melakukan hal tersebut setiap tahun. Bila ulangan akhir semester tiba, dia akan selalu dipanggil karena tidak melakukan pembayaran. Kalau begitu, hingga mendapat ijazah kemarin, Gladiola masih berada di dalam tanggungan orang tuanya. 

“Oh. “ Gladiola membalas pendek. Hans tampak senang melihat responnya. Tetapi, dia masih jengkel karena lawan bicaranya masih menolak makan.

“Makan, La. gue sengaja beli porsi dobel karena lo makannya banyak. Kalau lo diem kayak gitu, kan, gue jadi sedih.”

Gladiola yang tadinya memandangi sekitar warung bakso, lantas menoleh ke arah Hans yang wajahnya tampak memelas. Beginikah rayuan maut yang selalu dia lancarkan kepada Ranti sehingga adiknya menurut? Apakah dia mesti bilang kepada pemuda itu kalau dia punya dua benjolan di dada? Kalau begitu, nanti Kania bisa tahu dan dunia persilatan bisa kacau. Kania paling histeris di antara mereka dan kadang mulut Hans amat bocor kepada adiknya sendiri. 

“Iya, gue makan.” sahut Gladiola pasrah. Besok dia akan kembali mengatur gaya makannya. Hari ini dia sudah dipelototi oleh Hans dan ngomong-ngomong, mubazir membiarkan makanan yang telah dibelikan apalagi, oleh mantan gebetan. Huh, membayangkan mantan gebetan membuat dia ingin menangis. Tapi, Ranti saja telah membuang Hans seperti sampah dan bila dia memungut sampah itu, maka Gladiola merasa dirinya adalah pemulung.

Bukan pemulung, La. lo adalah tukang daur ulang, memanfaatkan yang sudah ada biar dunia tetap lestari. Kalo kata Mr. Joe, sustainable energy. Eh, tapi, kan, gue udah move on? Ngapain tetap mau barang daur ulang segala? Duh, Ola. jangan jadi cewek plin-plan, deh.

Gladiola mengunyah bakso dengan wajah frustrasi. Dia bahkan tidak peduli kalau saat ini Hans malah berhenti makan dan memilih memperhatikannya. Tidak ada bagian dari bakso yang luput dari kunyahannya, termasuk kuah bakso yang warnanya hitam pekat perpaduan kecap, saos tomat, serta sambal yang jumlahnya hampir empat sendok. Dia makan seolah-olah itu adalah makanan terakhirnya, begitu lahap dan nikmat. Bahkan, di detik terakhir, Gladiola masih sempat bersendawa sehingga Hans menjadi amat takjub dibuatnya. Gladiola sendiri pada akhirnya berpikir sudah tertutup kesempatan untuk dipilih menjadi penghuni hati pria yang saat ini memandanginya. Sehingga dia tidak lagi peduli dengan kondisinya.

Bukankah di mata Hans dia hanyalah gadis penjual galon berambut keriting yang banyak tingkah? Sekarang, nasib Gladiola sudah mulai berubah sehingga dia tidak lagi merana. Ada hal lain yang menguasai pikirannya, termasuk memikirkan bagaimana cara mengenyahkan kedua benjolan di dadanya supaya dia bisa terus bertahan hidup.

“Kenyang? Lo masih mau nambah? Es teh? Tapi sekarang lagi hujan, ya? Teh panas, mau?” Hans menawari Gladiola. Gadis itu menolak teh panas tetapi dia tidak keberatan minum es di hari hujan seperti ini. Ujung lidahnya terbakar kuah bakso campur sambal dan sekarang sepertinya cacing dan cairan di lambungnya mulai beraksi.  

“Perut gue jadi kacau.” Gladiola menyentuh perut. Apakah ini akibat dia nekat makan bakso? Tapi, dia tadi memasukkan sambal dengan jumlah tidak kira-kira. 

“Yang benar? Mules? Apa mau ke dokter.” 

Gladiola melirik sinis ke arah Hans. Kenapa pemuda itu jadi sok perhatian? Kemarin-kemarin saja dia masa bodoh pada Gladiola. Tapi, Gladiola memilih diam dan menunggu pelayan mengantarkan es teh pesanannya. 

“Nia bilang lo susah dihubungi. Emangnya kerja di supermarket sibuk banget, ya? Gue dengar kabar lo mau ganti hari kursus.” Hans memulai setelah Gladiola akhirnya menerima air es dari pelayan. Pandangan sang SPG kosmetik itu terarah ke batu es di dalam cangkir. Dia agaknya kurang peduli dengan tatapan Hans yang saat ini tampak khawatir kepadanya.

“Dan lo agak kurusan akhir-akhir ini.”

Kalimat terakhir diucapkan Hans dengan nada amat lembut sehingga Gladiola sendiri tidak mempercayai telinganya. Kenapa Hans jadi memperhatikannya? Itu bukan rasa khawatir terhadap mantan kekasih adiknya kepada batal calon kakak ipar.

Ih, lagian ngapain merhatiin gue sampai segitunya, keluh Gladiola di dalam hati. Mau kurus, kek, gemuk, kek, Hans tidak sepatutnya peduli. 

“Kenapa lo nggak balik aja ke rumah? Dulu badan lo berisi.”

“Lah, ngapain lo ngatur-ngatur gue?” Gladiola gemas. Kembali ke rumah yang seperti neraka, tidak ada satu orang pun peduli kepadanya dan menganggap dia tukang menghabiskan makanan, uang. Tidak sekali pun keluarganya peduli pengorbanan yang dia lakukan walau dia tidak merasa malu sama sekali lahir dari rahim seorang tukang sayur dan berayah tukang ojek. Yang dia tidak sanggup adalah dirinya yang tidak dianggap ada meskipun raganya ada di rumah itu. Bahkan, setelah dia bekerja mencari uang sendiri lalu menyisihkan gajinya untuk keluarganya, dia hanya dianggap benalu.

Lo ngabisin duit gue aja. Anak bawa sial, pake sakit pula. Habis duit gue selama ini.

Benarkah dia anak pembawa sial? Lalu anak pembawa keberuntungan itu seperti apa? Ranti? Nyatanya, setelah Gladiola pergi dari rumah, kehidupan keluarganya masih seperti itu-itu saja. Bahkan, terkesan kekurangan uang sehingga ketika Gladiola mengangsurkan amplop gajinya, mereka memandangi pemberian si sulung dengan mata rakus.

Malah, setelah menjauh dari rumah, Gladiola merasa hidupnya lebih berharga. Orang-orang yang baru dikenalnya bahkan bersikap amat baik dan bersahabat melebihi saudara. Ketika demam, mereka membuatkan Gladiola teh hangat, mengajaknya berobat. Bahkan, ada yang membantu memijat dan mengerok tubuh gadis itu hingga memerah. Tidak ada satu pun dari mereka yang menghina rambutnya. Semua orang saling bahu membahu melengkapi kekurangan mereka satu sama lain. 

Mengenai kurang gizi, Gladiola malah senang bisa membeli makanan sehat di supermarket walau sisa jualan, tetapi, dia bisa mendapatkan makanan dengan porsi gizi lengkap dan mengenyangkan. Tidak jarang dia makan menu yang selama hidup tidak pernah dia nikmati sama sekali seperti spageti, salmon, kepiting, bahkan nasi ayam Hainan. Bekerja di supermarket telah membuat matanya terbuka lebar, wawasannya bertambah, dan yang paling penting, dia disayangi oleh teman-teman yang senasib dan sepenanggungan dengan dirinya.

"Gimana pun, keluarga tempat terbaik buat pulang. Lo punya mama papa, juga Ranti."

Cih. Gladiola kembali mempertanyakan sikap Hans saat dia putus dengan Ranti. Kalau masih perhatian, sebaiknya mereka balikan saja.

"Bukan gue yang mutusin. Ranti bilang dia nggak mau terkekang."

Halah. Apalah alasan itu. Gladiola tidak mau mendengar. Dia sudah tidak naksir Hans lagi, begitu bisiknya berulang-ulang, walau sesekali, dia mencuri pandang ke arah lawan bicaranya, Gladiola bersyukur dia masih bisa menghirup udara yang sama.

"Minta balikan sana." suruh Gladiola. Dia tidak mengangkat kepala dan memilih mengaduk-aduk es batu di dalam gelas. 

Biasanya dia tidak mau merespon Hans. Dulu saat masih tinggal di rumah, sesekali saja dia mengomentari pertanyaan pemuda itu. Dia tidak terlalu pandai bicara sopan. Ujung-ujungnya, percakapan seperti apa pun bakal berujung pertengkaran. Sekarang pun, dia sudah mewaspadai hal tersebut. Dia memang bukan Ranti yang amat pandai lip service. Tak heran banyak orang terjatuh pada pesonanya. Papa, mama, Hans, dan keluarganya yang lain adalah contoh. Tidak seperti dirinya. Sudah buruk rupa, buruk pula perkataan. Mungkin karena itulah dia kemudian dijauhi keluarganya.

Tapi, Mbak Tata bilang gue nyenengin. Rajin lagi. 

Membayangkan kembali bagaimana teman-teman barunya menganggap Gladiola amat istimewa membuatnya nyaris menangis. Padahal, sudah jelas, Hans dan keluarganya adalah hal yang seperti mimpinya menjadikan Ko Edward nyata.

"Nggak bisa, La. Ranti nggak mau." Hans bicara lagi. Dia sudah selesai makan dan Gladiola berpikir untuk memesan ojek. Tawaran Hans untuk mengajaknya pulang bareng amat menggiurkan. Tapi, risiko pria muda itu bakal tahu tempat tinggalnya adalah hal bahaya. Walau sebenarnya, tempat tinggal Gladiola tidak jauh dari supermarket. Dia merasa tidak nyaman bila nanti Kania nekat mampir apalagi kalau sahabatnya tahu Gladiola tidak sehat. 

"Ya udah. Cewek nggak cuma dia aja."

Rasanya amat konyol. Bukankah obrolan mereka saat ini memiliki topik move on dari mantan? Bodohnya, Gladiola seolah jadi cewek sok pintar yang mengajarkan Hans untuk bangkit. Padahal jelas sekali dirinya sendiri adalah korban gagal berjuang sebelum menyatakan perasaan. 

Tahu apa lo soal cinta, La? Dah, balik. Mandi, cuci baju. Besok mesti bangun pagi. 

"Hujan udah berhenti." Gladiola bangkit. Dia menjulurkan tangan ke luar tenda bakso. Tinggal tetesan kecil seperti debu yang seharusnya tidak terasa lagi. Bila naik ojek, jarak ke mess hanya sekitar sepuluh menit. Jalan yang tadinya sepi sudah mulai ramai dengan orang yang sebelumnya berteduh. Gilirannya untuk pulang.

"Bener. Yuk, bareng gue aja." Hans bangkit setelah dia mengeluarkan selembar lima puluh ribuan. Dia hendak berjalan menuju tukang bakso untuk melakukan pembayaran sewaktu Gladiola menggeleng.

"Nggak, ah. Makasih. Gue nggak tega lihat lo naik motor ngangkang-ngangkang gitu. Beneran biji lo aman?" 

Gladiola merasa prihatin sekaligus bersalah karena dari gaya berjalan Hans jelas sekali kalau pemuda tampan itu kesusahan berjalan setelah insiden tadi. Mau bagaimana lagi, salahkan Hans yang sok pahlawan sedang mereka tidak bakal pernah bisa akrab.

"Belom gue periksa. Ntar kalau ada apa-apa, lo mesti tanggung jawab. Ini aset punya bini gue di masa depan." Hans nyengir sambil menahan nyeri tepat setelah dia selesai membayar. Sayangnya, Gladiola keburu membayangkan Hans bersanding dengan  Ranti karena obrolan mereka tadi dan hal tersebut sudah mampu membuat dia hilang semangat.

Lo bilang mau move on. Dasar payah!

"Iya. Gue mo nabung biar nanti bisa bayarin lo ke dokter Boyke. Dahlah, gue balik. Makasih traktirannya." Gladiola menepuk bahu kanan Hans dan keluar dari tenda walau saat itu, Hans memanggilnya.

"Oh, iya. Makasih jaketnya. Malam ini langsung gue cuci."

Tangan Hans masih terulur, akan tetapi, punggung Gladiola sudah menjauh dan dia berjalan meninggalkan mantan gebetannya tersebut tanpa menoleh lagi. 

"Lo belum jawab pertanyaan gue tentang badan lo yang tiba-tiba kurus itu. Apa ini ada hubungannya dengan lo minggat dari rumah atau lo memang sakit. Dasar Ola Kriting."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro