24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

   24 Pelangi di Langit Gladiola

Sehari sebelum hari Natal, Kania yang sudah pasrah tidak bakal bertemu lagi dengan sahabatnya merasa dia hampir melayang saking bahagianya. Hari itu adalah Sabtu sore. Suasana supermarket pada saat itu cukup ramai dengan orang berbelanja. Kebanyakan menyiapkan keperluan natal sementara yang lain mungkin mempersiapkan kebutuhan selama libur akhir pekan. 

Kania sendiri sebetulnya tidak ada rencana mampir ke supermarket The Lawson tempat Gladiola bekerja. Tetapi, entah kenapa Hans tahu-tahu menjemputnya hingga ke kampus dan mengajaknya jalan-jalan. Dia juga tidak menyangka kalau tujuan mereka malah ke supermarket dan begitu melihat Gladiola sedang berdiri dikerubungi gadis-gadis yang sepertinya sedang bertanya tentang produk yang dijualnya, Kania tidak bisa lebih senang dari itu.

“Tahu gini, gue ajak lo aja ke Lawson. Tiap hari gue muter-muter, tahunya pas bareng lo malah ketemu.” 

Wajah kania yang tampak senang kentara sekali tidak dibuat-buat. Dia juga terlihat berterima kasih kepada abangnya yang kini tampak cuek mendorong keranjang belanja yang masih kosong. Dia tidak terlalu sering berbelanja dan isi rumah sudah dilengkapi oleh sang mama sehingga rencana belanja yang tadi dia dengungkan tadi kepada saudarinya tersebut terdengar seperti bualan saja. 

Kania sendiri, setelah para pembeli menjauhi Gladiola dan pada akhirnya menyongsong sahabatnya tersebut dengan senyum amat lebar. Dia yang lebih tinggi daripada Gladiola dengan mudah menarik leher sahabatnya itu seolah tidak ada jarak sama sekali di antara mereka.

“Ya Allah, Bra. Kangen banget gue.” seru Kania girang terlonjak-lonjak sementara Gladiola meringis, mencoba menarik tangan Kania dari lehernya.

“Nia. Nia. Mati gue.” Gladiola memejamkan mata. Dia tidak sadar kalau tidak jauh dari tempatnya berdiri ada Hans di sana. 

“Gue kangen banget sama lo, Bra. Mau nangis rasanya.” Kania menyusut ingus. Peduli amat dengan omongan orang yang melihat mereka berpelukan bagai penyuka sesama jenis. Kania masih cewek tulen dan dia yakin, Gladiola masih naksir dengan Hans.

“Gue juga. Tapi kalau tangan lo nggak lepas, gue bakal cepet ke akhirat.” 

Untunglah Kania sadar dan melepaskan dekapan mereka sedetik kemudian sementara Gladiola merapikan blazernya yang acak-acakan. Untung saja rambutnya masih tersanggul ketat dan riasannya tidak berubah sehingga dia hanya tinggal berdiri dan tersenyum ketika ada beberapa konsumen lewat dan memandang ke arah mereka berdua.

“Bedaknya, Kakak. Buat natalan.”

Bukan Gladiola yang bicara melainkan Kania dan jelas-jelas bukan begitu SOP SPG kosmetik sehingga Gladiola hanya menahan senyum saja melihat kelakuan temannya tersebut. Meski begitu, dia pada akhirnya pura-pura menawarkan bedak kepada Kania supaya tidak dicurigai supervisornya sedang mengobrol.

“Ke mana aja, sih, Bra? Gue susah banget nyari lo. HP kenapa dijual?” Kania mencerca Gladiola dengan pertanyaan. Tapi, respon Gladiola hanyalah sebuah senyum tipis yang membuat Kania merajuk. Hanya saja, kemarahannya lantas teralihkan ketika dia sadar, Gladiola tampak jauh lebih kurus dibanding terakhir kali mereka bertemu. 

“Lo kurus banget, Bra. Kenapa jadi gini? Nggak ketemu gue lo nggak makan?”

Ketika kata kurus disebutkan, Hans yang berada di rak belakang segera menjulurkan kepala. Jelas sekali yang baru bicara adalah adiknya sehingga dia yang penasaran memastikan dengan penglihatannya sendiri.

Gladiola sedang tersenyum kepada Kania. Rambut keritingnya hari itu tersanggul rapi. Tidak ada anak-anak rambut yang keluar. Riasan wajahnya juga sudah semakin halus dan mahir. Tidak seperti kebanyakan wanita yang alisnya diukir kelewat tebal, alis Gladiola sebenarnya sudah tebal dan rapi. Dia hanya menyisir dan mengisi bagian yang tidak rata dengan pensil alis secara tipis. Bibirnya juga berpulas lipstik warna netral, cocol dengan usianya yang di akhir 18 tahun. Bedak dan perona pipi juga tidak medok dan kelewatan. Tapi, dari situ juga, Kania merasa ada perubahan yang berarti. Terutama karena sebulan lebih dia tidak bertemu dengan sahabatnya itu.

“Gue diet. Soalnya ngerasa agak kegemukan. Perut gue gelambir.” Gladiola membela diri. Tapi, mana mungkin Kania percaya. Gladiola masih gadis dan belum pernah hamil atau melahirkan. Mustahil perutnya bergelambir. Lagipula, selama ini isi perut sahabatnya tersebut kebanyakan Indomie, bakso, gorengan, atau bahkan ciki-ciki yang dijual sang mama, bukannya sejenis makanan penuh lemak yang bakal menaikkan berat badan gadis itu.

“Ah, masak diet. Lo, kan, nggak tahan laper. Bisa mati lemas kalau nggak makan sama minum.” Kania menginterogasi. Sesekali dia mengintip Hans yang kini sudah berada di lorong yang sama dengan mereka. Tetapi, Gladiola rupanya tidak sadar kalau sahabatnya datang ke supermarket tersebut dengan sang abang.

“Bisalah, Nia. sejak kerja, gue sadar cari duit nggak mudah. Gue nggak bisa sembarangan beli ini itu yang peruntukannya nggak jelas.” Gladiola bicara dengan suara pelan. Amat berbeda dibanding dengan dirinya saat masih SMA dulu. Beberapa bulan lalu dia biasa bicara dengan nada berapi-api dan mau menang sendiri di antara teman-temannya. Kini, setelah bekerja dan merasa tekanan hidup seperti penyakit dan penolakan orang tuanya telah membuat Kania merasa dia melihat orang yang berbeda. 

“Sampai jual HP, kan?” 

Kali ini Kania jelas sudah tahu dan Gladiola tidak heran. Tata sudah menceritakannya dan saat menjual ponselnya kemarin, dia sudah menduga hal seperti ini bakal terjadi. Tapi, Gladiola tidak mau memberi alasan atau membela diri. Dia ingin menenangkan diri. Orang tuanya seolah tidak peduli dengan masalah yang dialaminya. Mereka hanya tahu kalau sekarang putri tertua mereka adalah ladang uang yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. 

Adek lo butuh duit buat bayar sekolah.

Listrik di rumah belom dibayar.

Kakus jebol. Upah tukang lima ratus ribu. Beli WC sama keramik sejuta. Belum semen.

Alangkah tega orang tuanya. Saat dia mengadu tentang penyakitnya, yang dia dapat hanyalah kata-kata buruk bukan memberi solusi minimal menenangkan hati Gladiola yang saat itu hancur lebur. Kini, setelah merasakan nikmat mendapat kiriman uang dari putrinya, mereka menagih gadis itu untuk memenuhi tuntutan hidup. 

Kenapa biaya listrik, kamar mandi jebol, bahkan uang sekolah Ranti menjadi kewajibannya? Bukankah, setelah dia keluar dari rumah itu, tidak ada lagi pengeluaran atas nama Gladiola. Dia tidak lagi menjadi beban keluarganya. Bahkan, tidak menyusahkan orang tuanya untuk penyakit yang dia derita. 

Belum lagi, Kania yang bakal mencari-cari saat suasana hatinya masih hancur. Sehingga hal yang bisa dia lakukan adalah menjual ponselnya. Walau, Tata sempat menyesali tindakannya. Tidak perlu menjual ponsel bila hendak menenangkan diri. Cukup matikan ponsel dan bila kangen, nyalakan lagi. 

Tapi, Gladiola tidak mau repot-repot. Terutama karena kalau dia meninggalkan ponsel di dalam kamar dan suatu saat ada orang yang berniat jahat malah mengambil benda tersebut. Lagipula, dia sudah terlalu sibuk bekerja hingga larut malam dan tidak berpikir akan ada yang merindukannya.

“Gue rindu.” Kania membalas dengan suara agak sedikit kuat. Matanya berkaca-kaca seolah telah ditinggalkan oleh Gladiola selama berbulan-bulan. Hal tersebut memang benar dan dia merasa amat kecewa kepada Gladiola untuk pertama kali dalam hubungan persahabatan mereka. 

“Gue pikir, lo sudah sibuk sama kuliah dan temen-temen lo.” Gladiola membalas lagi. Senyum tipisnya terkembang. Namun, belum sempat Kania bicara, sebuah suara membuat mereka menoleh. Asalnya dari bibir seorang pria jangkung berambut agak sedikit ikal namun dipotong rapi. Kania pernah melihatnya di hari ulang tahunnya beberapa bulan lalu. Kala tidak salah, pria itu yang mengantar Gladiola ke rumah Kania. 

“Mas Ridho?”

“Sibuk, nggak, La?”

Kania mengamati interaksi dua orang anak manusia di hadapannya. Matanya melirik ke arah Hans yang mencuri pandang ke arah Gladiola selama beberapa detik lalu dia melanjutkan membolak-balik botol lotion seolah ingin membeli barang tersebut.

“Oh, nggak. Ini lagi bantuin customer pilih shade foundation sama lipstik.” 

Suara Gladiola agak sedikit gugup sewaktu bicara, tetapi, dia bisa menguasai diri. Untung saat itu tangannya masih memegang sebuah lipstik dan tangan kiri Kania masih menyentuh lengan Gladiola. Kania sendiri langsung pintar pura-pura menunjukkan bagian lengannya yang masih polos. Pria yang bernama Ridho tersebut segera menoleh lagi kepada Gladiola dan bicara, “Oh, iya. Nanti jam 2 kita ke kantor pusat, ya.”

Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu. Ridho hanya mengurai senyum setelah akhirnya dia pamit, sementara Gladiola menganggukkan kepala. Kania yang tidak mengerti kemudian tanpa ragu bertanya lagi lepas kepergian Ridho. Kali ini, supaya tidak mencolok kalau mereka mengobrol di jam kerja, Kania mengambil satu buah lipstik dari rak dan sok sibuk mengamatinya.

“Pacar lo? Udah bisa move on dari Hans?”

“Ngomong apaan, sih?” Gladiola menaikkan alis,” Jangan macem-macem. Dia supervisor gue. Kebetulan orangnya baik.” 

Sampai di situ, Gladiola tidak bicara lagi dan anehnya, ketika dia mengharap ada beberapa pembeli yang lewat, suasananya masih sepi dan mau tidak mau saat Kania bertanya lagi, Gladiola mesti menjawab.

“Yang ini aja gue nggak tahu. Dulu, lo selalu kasih tahu segalanya sama gue. Ya, soal sekolah, soal emak lo, soal Ranti, bahkan abang gue. Sekarang, setelah kita nggak sama-sama lagi lo pelit banget. Apa, hidup kayak gini sudah bikin lo nggak mau temenan lagi sama gue? Lo malu temenan sama mahasiswa kere sedang lo bisa cari duit, sekarang makin cakep, sementara gue masih buluk kayak gini-gini aja.”

Gladiola yang masih memegang lengan Kania menggeleng. Wajahnya tampak terluka sewaktu mendengar ucapan kemarahan sahabatnya tersebut.

“Ni, kalau bisa, gue nggak mau masa muda gue yang seharusnya buat belajar habis buat bekerja kayak gini. Lo tahu betul kalau betapa gue kepingin banget kuliah tapi gue mesti ngalah demi bisa isi perut. Dan satu lagi, gue terlalu tahu diri. Gue sayang banget sama lo. Hanya, keadaan maksa gue mesti dewasa. Gue nggak punya waktu lagi cekakak-cekikik atau curhat tentang cowok sementara gue mesti puter otak gimana besok mesti makan.”

Gladiola berusaha sekuat mungkin tidak menyebut tentang penyakitnya. Bagaimana pun juga, seperti sikap orang tuanya, Gladiola tidak mau kalau Kania juga menjauhi. Dia tahu sahabatnya tidak akan bersikap seperti itu. Tetapi, Gladiola tidak mau terluka lagi. 

“Emangnya gaji lo berapa kayak harus banget pake kata-kata banting tulang? Gaji SPG, kan, gede.” suara Kania mulai melemah. Di dalam hati, dia takut kata-katanya bakal membuat Gladiola marah walau sebelum ini, bicara dengan gaya dan nada apa saja tidak pernah membuat Gladiola berpaling darinya.

“Gaji gue bukan cuma buat makan dan senang-senang.” balas Gladiola lagi. Dia telah mengatur semua gaji dan keperluannya termasuk untuk berobat. Tata tidak merekomendasikan pengobatan aneh-aneh seperti kemarin dan dia akan membantu mengurus pengobatan Gladiola ke puskesmas dekat supermarket. Hanya saja, mental gadis itu belum cukup kuat. Dia tidak sanggup membayangkan dadanya diobok-obok walau yang melakukannya adalah tenaga kesehatan sekali pun. Selama ini, tidak ada orang yang pernah melihat tubuhnya sama sekali dan Gladiola bangga dengan hal itu.

Tapi, mentalnya agak takut juga membayangkan suatu hari nanti bentuk dadanya bakal rusak tidak karuan dimakan penyakit. Itu juga salah satu alasan Gladiola menjual ponselnya. Dia tidak tahan melihat foto-foto pengidap kanker dan tumor di mesin pencari. Tetapi, tangannya selalu gatal ingin mencari tahu. Sejak HP dia jual, tidak ada lagi kegiatan berselancar mencari tahu seperti apa luka-luka yang dialami oleh para penderita kanker payudara tersebut. 

“Ya udah. Kalau nggak mau telepon gue lagi nggak apa-apa.” ujar Kania pada akhirnya. Walau merasa masih ingin mengobrol, gaya bicara Gladiola dan sikap tubuhnya sudah menunjukkan kalau dia sedang tidak ingin berbagi cerita untuk saat ini. Lagipula, dia tidak yakin Hans bakal …

Kania berhenti berpikir tentang abangnya ketika suara Gladiola menyadarkan kalau di saat ini, mata-mata sok ganteng itu sedang mengamati mereka dari belakang dan Gladiola yang tahu kalau sejak tadi mantan gebetannya ada di sana hanya bisa menghela napas. 

“Lo beruntung, punya saudara yang sayang banget dan mau nganter ke mana-mana, biar pun kalian sering berantem.” 

Kania tidak bisa melakukan apa pun kecuali tersenyum. Tadinya Hans sudah bilang akan menunggu di rak sebelah. Entah mengapa, pada akhirnya dia malah berdiri di lorong yang sama dengan mereka berdua. Ketika Kania berpikir kalau Gladiola bakal marah, SPG manis itu malah melambaikan tangan kepada Hans dan menunjuk jejeran kosmetik di sampingnya.

“Sini, dong. Mau beliin pacar lo, nggak? Atau beliin Nia.” 

Kania sampai lupa menutup mulut saking dia kaget dengan sikap Gladiola. Tapi, sahabatnya yang tersenyum sambil menawarkan barang kepada Hans yang seperti kerbau dicocok hidungnya, malah mendekat, terlihat amat manis dan menawan. Biasanya, dia amat menghindari berada dalam satu ruang yang sama dengan pemuda tampan tersebut. 

“Tanggal tua, ini.” Hans pura-pura berdecak sementara Gladiola yang masih tersenyum hanya menggelengkan kepala, “Bukannya sawit lagi mahal? Dapet transferan gede.”

“Sok tahu, loh.” Hans meletakkan tangan di kedua saku baju sementara Gladiola sudah bergerak ke arah rak dan mengambil beberapa lipstik untuk dia tunjukkan kepada dua saudara di depannya sementara Kania dengan seksama mengamati interaksi mereka berdua.

Apakah dia kelewatan sesuatu? Tidak biasanya Gladiola pamer senyum dan daripada mengobrol, seharusnya pasangan di hadapannya ini saling adu mulut atau bisa jadi saling jambak. Tapi, Kania khawatir, sanggul rambut Gladiola tersebut bakal rusak bila dia beradu fisik dengan Hans. 

“Nih, nih. Borong aja lipstik gue. Murah, kok. Seratus ribu dapat dua. Lagi diskon akhir tahun.”

Kania bersyukur Hans tidak jadi sinting dan mencoba tester lipstik yang disodorkan Gladiola ketika dia menunjukkan macam-macam warna yang tersedia di sana. Tetapi, anehnya lagi, Hans yang biasanya sok jijik, malah balas tersenyum. Dia, kan, jadi sangat penasaran dibuatnya.

Apakah, menghilangnya Gladiola selama berhari-hari dan sikap aneh di depannya saat ini punya hubungan? Makin dipikir, dia makin penasaran, tapi, sayangnya, Kania Adam sama sekali tidak punya bakat buat jadi detektif.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro