55

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ramein, Gaes.

Eniwe badewe baswe, bukannya kalian semua bencik sama Hans? Kenapa ini malah nyuruh Ola balik lagi sama Hans? Apakah kalian gagal mup on?

***

55 Pelangi di Langit Gladiola

Tidak ada yang lebih mengejutkan daripada mendengar orang tuanya sendiri menyebutkan sebuah angka yang terhitung tidak sedikit untuk membuat Ridho bisa meresmikan dirinya menjadi seorang istri yang sah di mata negara dan agama. Gladiola bahkan merasakan kalau tangannya saat ini menjadi amat gemetar usai semua hal tersebut lewat di telinganya.

Seratus juta? Emas dua puluh gram? Emas apakah yang dimaksud oleh papa? Apakah logam mulia? Jika benar, maka Ridho harus mendapatkan sekitar dua puluh juta lebih dan kurang untuk emas senilai itu. Lalu uang asap, dia bahkan belum sampai ke bagian sana. Total untuk emas kawin dan dan uang mahar saja mencapai seratus dua puluh juta.

Wajah tamu mereka tampak tegang, tapi, Gladiola melihat kalau Ridho berusaha tersenyum saat menatapnya. Bukankah, mama dan papa baru saja menyebutkan soal angka? Mereka mungkin bisa menawar.

“Mohon maaf, Bapak dan Ibu. Kami sebagai pihak laki-laki tentu ingin memberikan yang terbaik. Namun, soal uang mahar dan mas kawin, apakah bisa dikurangi? Karena seperti yang Bapak katakan tadi, masih ada uang asap atau biaya-biaya lain yang juga mesti kami sanggupi.” Rizwan memulai lagi setelah mendengar permintaan dari papa Gladiola. Seperti yang lain di dalam keluarganya, jelas dia juga merasa amat terkejut dengan permintaan tersebut. Tapi, sebelum papa Gladiola memutuskan untuk menjawab, mama Gladiola yang mengambil alih.

“Ini, mama aja yang ngomong, yah.” wanita akhir empat puluh tahun itu bicara. Gladiola yang tegang hanya mampu memandangi ibunya yang bicara bagai tukang obat dan hal itulah yang ditakuti oleh Gladiola.

“Ola ini anak pertama kami. Awalnya, kami berharap banget sama dia karena seperti yang Mas Rizwan lihat, kondisi keluarga kami nggak bisa dikatakan mampu. Mama sendiri cuma jualan sayur, terus papanya tukang ojek. Anak kami ini bisa kami katakan amat membantu orang tuanya, kehidupan kami dan perekonomian, kalau nggak ada Ola, ya, cuma seadanya. Pendapatan papanya Ola dari ngojek juga nggak seberapa.”

Gladiola merasa, dia kehilangan kemampuan untuk bicara sehingga yang dilakukannya adalah menundukkan kepala sepanjang mama melanjutkan ucapannya. Sungguh, kata-kata orang tuanya barusan tidaklah salah. Tetapi, tidak seharusnya mama dan papa menggunakan kesempatan ini untuk mencari keuntungan.

“Terus, Nak Ridho, kan, minta Ola berhenti kerja. Apakah bisa memenuhi kebutuhan anak kami? Biar begini-begini, Ola ini S1 dan dia sudah bisa …”

Gladiola memejamkan mata. Rasanya seperti dihantam air bah di dalam sebuah mimpi buruk. Dia tidak menyangka orang tuanya bersikap seperti itu.

“Karena saya sering sekali menemukan, ini cerita pelanggan saya, ya, mereka karena nggak bekerja, bergantung dari suami, dijatah sepuluh ribu sehari. Maaf, Ibu Ridho,” mama Gladiola menoleh kepada calon besannya, “Saya nggak bermaksud ngomong nggak sopan, tapi banyak banget kejadian. Seenggaknya, anak saya masih dihargai apalagi kalau dia nggak kerja lagi. Ini contoh, loh, ya. Apalagi mama tahu, kamu masih punya ibu.”

Kalimat tersebut jelas-jelas ditujukan kepada ibu Ridho, bukannya Ridho dan sewaktu mendengarnya, membuat Gladiola sempat agak terharu juga dengan kata-kata mamanya. Tetapi, penghargaan seorang istri dan menantu bukan hanya dari situ saja. Yang pasti, setelah basa-basi yang kemudian hanya diucapkan oleh Rizwan serta papa Gladiola beberapa menit kemudian dan keluarga itu pamit tidak lama setelahnya. 

Beberapa saat kemudian, Gladiola mendapatkan sebuah pesan gambar di aplikasi Whatsapp dan dia menemukan Ridho mengirimkan sebuah tangkapan layar dan dari nama yang tertera di sana, pengirimnya adalah Riana.

100 juta, emas 20 gram, belum duit asap. Apa-apaan itu ibunya Ola? Dia mau nikahin atau jual anaknya pakai alasan nanti kalau udah nikah, cuma dijatah 10 ribu.

Gladiola sampai harus menahan napas membaca pesan tersebut. Tanpa perlu mendengar, jelas sekali Riana tersinggung dengan kata-kata dan permintaan orang tua Gladiola. Dia juga sempat membaca betapa tidak apiknya cara berbusana mama yang sempat ditulis oleh Riana. Hatinya mau tidak mau sedih.

Maaf, Mas. Aku nggak tahu apa-apa soal itu. Mama dan papa bicara tanpa ada aku. Kamu sendiri tahu kalau aku tinggal di kontrakan.

Gladiola memeriksa pesan yang akan dia kirim selama beberapa kali sebelum akhirnya menekan tombol kirim. Ada rasa sedih tersirat di dalam hatinya karena mama, seperti kata Riana, terlihat amat antusias dan terkesan seperti hendak menjual Gladiola. Ajang lamaran dan pernikahan adalah ajang meminta mahar tertinggi dengan alasan putri mereka sudah S1 dan juga bakal menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.

Air mata Gladiola jatuh sewaktu Ridho mengirimnya pesan lain. Dia tidak menyalahkan pria itu. Posisinya sulit. Niat baiknya untuk menghalalkan Gladiola, menjadikan dia ratu dalam istana yang sedang dia siapkan, terjegal permintaan ibu Gladiola. 

Iya. Nggak apa-apa. Sekarang aku lagi meyakinkan Ibu dan Mbak, Yang. Mereka masih agak emosi. Terutama soal Mama yang menyebut aku bakal memberi kamu sepuluh ribu sehari. Kata Ibu, beliau nggak serendah itu.

Harusnya, acara pertama pertemuan kedua keluarga berjalan lancar. Mereka kan hanya ingin saling mengenal dan bersilaturahmi. Tapi, Gladiola tidak menyangka bakal jadi kacau seperti ini. Bahkan, belum-belum, orang tuanya sudah membahas uang. Tidak heran, saat dia sedang mencuci piring bekas para tamu mereka di dapur, Gladiola menyeka air matanya yang luruh begitu saja.

Ternyata, mau nikah aja susah. Untuk bisa lepas dari Papa dan Mama, Mas Ridho mesti berjuang dan membayar dengan mahal. Padahal, selama ini gue kira, ketemuan, lamaran, habis itu nikah. Ini aja, belum-belum udah dikasih syarat mahal.

“Ngapain lo nangis-nangis kayak ditinggal gue mati aja.” 

Gladiola tersentak saat dia mendengar suara ibunya yang tahu-tahu saja muncul di dapur. Dia tidak menoleh, tetapi tahu kalau saat ini mama sedang menarik kursi makan dan duduk di sana. 

“Nggak usah sok sedih-sedihlah. Emangnya gue nggak tersinggung sama mereka? Enak aja nyuruh lo berhenti kerja. Sanggup dia ngasih segitu? Lagaknya kayak orang kaya, tapi, ngelihat kue kayak orang nggak makan sebulan.”

Gladiola menyusut ingus sebelum dia memutuskan untuk berbalik. Hanya ada mereka berdua di dapur. Papa masih berada di luar. Ranti belum kembali. 

“Tapi, Ma. mereka tujuannya ke sini mau kenalan dulu. Kesannya kayak Ola mau dijual.”

“Lo, tu, lagi gue ajarin supaya hidup lo bermartabat. Jangan gara-gara baru dia aja yang naksir sama lo, berasa dunia sudah milik berdua. Lihat hidup gue, sampai umur segini mau beli yang gue mau aja nggak bisa. Badan gue habis nyari duit yang bahkan belum sempat mampir ke tenggorokan, sudah habis buat ngegedein lo bedua. Wajar gue minta segitu. Lah, abangnya orang bank. Kakak perempuannya lo bilang mantan TKW. Emas yang mereka pakai jejeran begitu.”

Mama bicara dengan suara tinggi sehingga membuat Gladiola sempat menahan diri untuk tidak bicara. Tetapi, semakin ditahan, dia tidak kuat. Rasanya seperti bisul yang bila tidak dipecahkan, rasanya amat menyiksa. 

“Ola nggak perlu Mama ajarin. Perlakuan mereka ke Ola amat baik, kalau Mama mau tahu. Mas Ridho juga nggak bakal ngasih nafkah sepuluh ribu seperti kata-kata Mama tadi. Mbak Riana juga ngajarin adiknya buat menghormati wanita.”

“Hormat ta*k.” mama Gladiola membalas, tidak tersentuh melihat putri sulungnya terisak-isak sambil menusap air mata, “Kalau baru kenal laki-laki, tuh, jangan langsung kegenitan minta kawin. Lihat dulu latar belakangnya. Sanggup nggak dia menuhi kewajibannya jadi suami. Kalau miskin, buat apa dijadiin laki. Lo nggak lihat emak lo sampai umur segini banting tulang?”

Mama mengambil segelas air lalu minum mengabaikan papa yang tahu-tahu muncul ke dapur dan melihat keributan malam itu, “Kenapa, sih, masih ribut-ribut?”

Gladiola tahu, meski dia dibuat menangis oleh kata-kata sang ibu, papa tidak bakal membelanya. Sejak dulu selalu begitu. Gladiola juga yakin, ide uang nikah sebanyak itu bukan datang dari papa melainkan dari mama. 

“Tahu, tuh. Anak lo. Urusin aja sana. Sok setia banget sama keluarga si Ridho itu. Belum tentu juga nanti setelah kawin dia bakal disayang-sayang, palingan nanti, dijadiin babu maknya.”

Gladiola menggigit bibir. Dia tidak tahu bakal sampai mana kesabaran yang diberikan Tuhan kepadanya. Namun, yang pasti, dia berharap Ridho benar-benar memperjuangkannya. Jika tidak, dia sendiri yang akan memberi 100 juta itu kepada calon suaminya lalu minta pria itu membawanya pergi sejauh mungkin dari orang tuanya sendiri.

***

Olaa, lo kaga salah, kan? Kata-kata emak, tuh, biasanya bener. Tul, kan, buibu?








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro