67

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini 2 bab panjang, alias bab 73 sama 74. Sedih banget, loooo, ampe bikin mewek dlwer-dlewer idung kalian, misek-misek sedukan (sedih+segukan)

Awaaaaaas ga komen. Tak pites2.

Bentar lagi PO.

Totalnya 101 + 9 bab Pelangi di Langit Bali + 1 Kotak Boks yang mesti dibuka oleh Makemak. Draftnya aja 911 halaman dan bikin eke mikir, kudu dijadiin berapa hal biar murah?

Eke rencana mo cari ekspedisi murah, ga tau mo shopee apa kagak
Soalnya ada biaya admin, ngerik2 dah harganya. Covernya syantieq dah

Btw kalian dah follow IG eke?

***

73 Pelangi di Langit Gladiola

Entah dari mana awalnya, Gladiola kemudian merasa usai Hans berangkat ke Pekanbaru, pria itu jadi lebih sering mengirim pesan-pesan WA kepada dirinya. Kadang, Hans beralasan “sebelum sinyal hilang” atau, “lo bakal menyesal kalau nggak lihat ini” lalu kemudian pesan-pesan rutin mulai berdatangan, entah itu setelah dia bangun di pagi hari, saat makan siang, sepulang bekerja, atau saat Gladiola hendak tidur. 

Gladiola sendiri, seperti biasa hanya melihat saja setiap pesan-pesan tersebut sampai ke ponselnya. Namun, lama-kelamaan, Hans jadi sering mengirim gambar atau video lucu yang kadang membuat dia tidak sengaja tertawa bahkan di saat rapat sehingga membuat pandangan semua orang tertuju kepadanya.

“So … sori, Mas Eko. silahkan lanjutkan.” ucap Gladiola sambil menahan rona merah di pipi. Ingatkan dia untuk memarahi Hans saat pria itu menelepon malam nanti.

Soal telepon, Gladiola sudah sering mengingatkan Hans kalau dia harus bangun pagi. Entah kenapa kemudian dia malah meladeni pria itu hingga hampir satu jam. Dan Gladiola juga merasa aneh, kenapa dia tidak lagi marah-marah saat Hans mengajaknya bercanda. Padahal, sebelum ini dia bahkan tidak ingin mendengar Hans bicara satu patah kata pun. Setiap mereka bertemu, sebisa mungkin Gladiola berusaha menghindar. Kalau pun harus bertemu ketika menginap di rumah Kania, dia akan menganggap kalau pria itu seperti cicak yang menempel di dinding saja.

Di awal bulan ke dua keberangkatan Hans ke Pekanbaru, Gladiola kemudian kembali mendapatkan tugas untuk melakukan monev dan juga pelatihan untuk wilayah Sumatera. Untuk ke sekian kali juga, dia merasa semesta seolah sedang mempermainkannya. Di saat yang sama, dia merasa senang karena ada teman yang bakal sok rajin mengingatkannya tentang kegiatan hari itu. Di sisi lain, Gladiola berpikir, apakah mungkin ada andil Hans di belakang otak para senior Gladiola sehingga selalu menempatkan dia di lokasi yang sama dengan pria itu.   

Nggak mungkin! Gladiola bicara dengan dirinya sendiri. 

Ketika dia memberitahu Hans, bukannya Kania yang seharusnya tahu lebih dulu dibandingkan abangnya, respon Hans adalah tawa bangga dan juga rasa percaya diri amat besar karena membayangkan dia bakal bisa menghabiskan waktu bersama Gladiola bersama-sama.

“Gue nggak bisa keluar, Hans. Jadwalnya padat.” Gladiola memberitahu saat Hans mulai menyebutkan beberapa tempat yang mereka bisa kunjungi saat malam dan Gladiola tentu saja menolak mentah-mentah usul itu. Jalan bersama Hans? Hih, apa kata dunia? Dulu, dia menuruti permintaan pria itu semata-mata karena Kania. Kini, tidak ada alasan lain. Kania sedang bekerja dan tidak kabur ke Pekanbaru.

“Bisalah. Lo bakal menyesal nggak jalan-jalan atau beli oleh-oleh.” Hans berkata dengan semangat penuh ketika mereka berteleponan di malam hari. Hans bahkan berinisiatif untuk menjemput Gladiola begitu wanita tersebut tiba di bandara.

“Nggak. Lo nggak perlu repot-repot. Duduk tenang aja di kantor lo. Gue nggak mau ganggu. Segala urusan yang menyangkut gue, semuanya sudah diatur sama pihak kantor, mulai dari pergi sampai gue balik lagi.” tegas Gladiola menyatakan pendapatnya. Lagipula, kenapa Hans mesti sok baik menjemput? Dia bukan pacar Gladiola. Kok, bisa, hanya bermodalkan abang sahabat, Hans mau repot-repot menjemput?

“Nggak apa-apa. Masak gue biarin lo sendirian? Nanti kalau ada apa-apa, gimana?”

Hans sepertinya menulikan telinga sewaktu Gladiola terus mengatakan kalau pihak kantor telah mempersiapkan akomodasi untuknya dan amat tidak sopan bila dia menolak fasilitas tersebut. Yang pasti, begitu Gladiola menjejakkan kaki di tanah Pekanbaru, wajah tengil Hans yang siang itu memakai kemeja luar berwarna putih, T-shirt berwarna kuning mustard dan jin berwarna biru tua, adalah pemandangan yang paling pertama dia lihat setelah keluar dari pintu keluar bandara.

“Kenapa, sih, masih ngeyel?’ Gladiola menggelengkan kepala melihat Hans yang kini tanpa disuruh segera mengambil koper dari tangan Gladiola, sementara dia sendiri celingak-celinguk mencari staf kantor yang ditugaskan untuk menjemputnya.

“Takut lo nyasar.” Hans membalas. Dia sendiri mengulum senyum melihat penampilan Gladiola yang tampak kasual. Hari itu, Gladiola memakai jin biru pupus, sepatu kets berwarna putih, serta kaos polo putih polos yang pas di badannya. Secara tidak langsung, Hans mencoba mencocok-cocokkan penampilan mereka siang itu.

“Kita matching hari ini.” Hans tersenyum lebar, sementara Gladiola menaikkan alis setelah mendengar kalimat barusan.

“Lo maksa-maksain diri.” balas Gladiola seadanya. Tangannya kini sudah menekan nomor panggil kontak salah satu staf yang direkomendasikan oleh kantor kepadanya. Dia bersyukur beberapa saat kemudian panggilannya tersambung.

“Iya, ini sama Mas Edi? Saya Gladiola dari kantor pusat.”

Hans menghentikan langkah karena Gladiola melakukan hal yang sama sebelumnya. Dengan gaya, dia memegang gagang koper, sementara tangannya yang satu lagi digunakan Hans untuk merapikan rambutnya yang mulai tumbuh kembali setelah dia membiarkannya cepak selama beberapa waktu. Kania mengatakan kalau gara-gara itu Hans jadi mirip anggota kepolisian sehingga kemudian dia memutuskan untuk tidak lagi memangkasnya pendek. Selain itu, Hans merasa kalau Gladiola ogah-ogahan melihatnya saat rambutnya nyaris plontos. Padahal, Hans lebih percaya diri dengan gayanya kemarin. 

“Iya, Mbak Ola. Saya Edi. pesawatnya sudah sampai, ya?”

Gladiola melirik Hans yang kini memandang ke arah parkiran. Entah mengapa, jawaban Edi barusan membuatnya tidak enak hati. Apakah ada hal yang sedang terjadi sehingga pria itu belum juga tiba di bandara?

“Maaf sebelumnya, Mbak Ola. mobil yang saya pakai jemput sekarang lagi di bengkel. Radiatornya tadi kepanasan, jadi dibantu derek. Saya baru mau telepon yang lain buat menjemput …”

“Mobilnya di bengkel?”

Entah kenapa Hans cepat sekali mendengar berita tersebut. Gladiola yang menemukan Hans menoleh ke arahnya, mendapati kalau pria itu tidak bisa menyembunyikan senyum.

“Bagus.” sahut Hans senang. Tetapi, Gladiola kembali bicara kepada Pak Edi, “Yang jemput udah berangkat, Pak?”

“Belum, Mbak. Baru mau ditelepon. Saya baru sampai di bengkel.”

Hans tentu bisa mendengar percakapan tersebut dan Gladiola yang berniat membuat pria itu kena batunya, nyaris membuka mulut untuk berkata bahwa dia bakal menunggu saja. Namun, sesaat kemudian, Hans membawa koper Gladiola melewati orang-orang yang sedang melintas sehingga wanita yang saat itu mengepang dua rambutnya tersebut terkejut, "Eeh, Hans. Mau ke mana lo bawa tas gue?"

"Halo, Mbak?" suara Pak Edi di seberang tampak khawatir sementara Gladiola sendiri berjalan menyusul Hans yang entah kenapa punya kaki sepanjang jerapah.

"Iya, Pak? Oh, iya, eh, nggak usah dijemput. Nanti, suruh ketemuan saja di hotel. Soalnya ada saudara saya yang menjemput." 

Sampai di situ, Gladiola yang sempat memejamkan mata selama beberapa detik, tidak tahu kalau Hans masih mendengar percakapannya. Pria itu langsung berhenti dan hal tersebut tidak disadari oleh Gladiola sama sekali, hingga hidungnya menabrak punggung Hans dan dia hampir jatuh dengan bokong lebih dulu menghantam lantai bandara. Untung, Hans yang sigap menangkap tangan kirinya dan Gladiola selamat dari kecelakaan yang bakal membuatnya malu.

"Oh? Begitu, ya, Mbak? Maaf banget. Iya, saya telepon anak buah saya. Nanti mereka juga bakal saya kasih nomor teleponnya, ya, Mbak. Nama hotelnya … "

Gladiola tahu, Pak Edi merasa tidak enak karena tidak berhasil menjemputnya dan Gladiola sendiri tidak bisa menyalahkan pria itu. Musibah bisa terjadi kepada siapa dan kapan saja. Dia juga sebenarnya tidak berkeberatan menunggu staf penjemput yang lain. Namun, saat ini, wajah Hans yang cemberut adalah pemandangan baru yang membuatnya mempertanyakan keanehan yang pria itu buat. Dia, kan, tidak berbuat salah? Yang salah adalah Hans yang tahu-tahu datang.

"Saudara?" Hans bertanya dengan wajah masam setelah Gladiola mengembalikan ponsel ke tasnya. Wanita itu lantas mengangguk.

"Lah, emang. Lo abang Nia. Buat gue, Nia adalah saudara gue. Jadi lo, otomatis saudara gue juga." santai, Gladiola menjawab. Dia bahkan tidak sadar kalau jemarinya masih bertaut dengan jemari Hans.

"Ih, amit-amit." Hans menggelengkan kepala dan kata-katanya barusan membuat Gladiola tersinggung. 

"Maksud lo apa ngomong amit-amit? Jijik sama gue? Terus kenapa lo masih ke sini jemput gue?" 

Gladiola hendak berkacak pinggang. Matanya sudah hampir melotot dan pipinya merona merah karena emosi. Tapi, dia kemudian sadar kalau saat ini Hans menggenggam tangannya dan dengan suara mendesis, dia memerintahkan Hans untuk menjauhkan tangannya.

"Lepasin tangan gue." marah, Gladiola mengibaskan tangannya supaya lepas. Sayang, Hans tidak bersedia melakukannya. Sudah jauh-jauh dari Jakarta, mengapa dia menyia-nyiakan kesempatan bagus itu?

"Ngapain gue lepas tangan lo? Siapa juga yang bilang jijik?" Hans membalas. Wajahnya tampak kesal karena saat ini, yang terlihat jijik malah Gladiola, bukannya dia.

"Tadi lo bilang amit-amit." Gladiola mengangkat wajah. Agak pegal memandangi wajah Hans yang jauh lebih tinggi dibandingkan dirinya. Tapi, pria itu sudah menyakiti perasaannya tadi.

"Itu gara-gara lo bilang gue saudara." 

Suara Hans agak sedikit lebih tinggi. Tapi, masa bodoh dengan orang-orang yang mulai melirik ke arah mereka. Wanita yang sedang cemberut di depannya saat ini mesti diberi pelajaran. Entah pelajaran apa, yang pasti, Hans amat tidak suka ketika Gladiola menyebut mereka adalah saudara.

"Lah, emang benar, kan? Lo abang Nia. Gue mesti bilang gimana lagi?" Gladiola membalas. Dia sudah menahan diri untuk tidak meledak dan menendang tulang kering Hans yang kekeuh menolak melepaskan genggaman tangan mereka. 

"Gue nggak mau jadi abang lo." Hans ngotot.

"Nggak mau jadi abang, tapi lo jempat jemput gue, teleponan pagi siang sore malam. Memangnya mau jadi siapa kalo bukan sodara? Hah? Cuma sodara kayak Nia yang lo cari dan kejar sampai Palembang, sekarang, lo juga. Terus, ngapain lo emosi? Benci gue ama lo. Sekarang lepasin."

Sekarang, hampir semua orang menoleh ke arah mereka sehingga membuat pipi Gladiola makin bersemu merah. Yang benar saja, soal saudara ini sudah membuatnya malu. Hans memang tidak tahu diri. 

"Nggak mau." 

"Diliatin orang, Hans. Lepasin!" Gladiola memerintah. Jika Hans masih nekat, dia bersumpah akan menendang tulang kering pria itu. Masa bodoh Kania bakal memakinya.

"Biarin." Hans menggumam. Kali ini dia berbalik, tanpa melepas pegangan tangannya dan dengan tangan yang satu lagi, masih memegang koper, dia membawa Gladiola menjauh dari pintu keluar menuju ke arah parkiran. 

"Ini namanya sabotase, tahu? Lo datang sendiri, sok baik jemput-jemput gue, tapi kemudian, bilang amit-amit nggak mau jadi saudara. Di luar sana, orang berebut mau gue jadi saudara mereka, Nia malah mau nukar lo biar gue yang jadi adik perempuannya. Ngeliat lo kayak gini, gue keingat ama Ranti, tahu, nggak? Cuma kalian berdua yang …" 

Gladiola berhenti bicara karena Hans menarik tangannya lagi agar wanita itu mempercepat langkah. Gladiola tidak tahu kendaraan apa yang Hans bawa karena mobil pria itu sudah pasti tertinggal di Jakarta dan mereka berjalan selama dua menit, dengan Gladiola yang menahan diri untuk tidak terpancing emosinya di saat begini. 

Harusnya gue tunggu aja orang kantor jemput, bukannya malah dengerin si sinting ini … 

Mereka berdua tiba di daerah parkiran yang lumayan sepi. Hanya ada dua mobil di sana. Yang satu adalah sedan berwarna hitam dan yang satu lagi, sebuah SUV seperti milik Hans. Bedanya, kendaraan tersebut berwarna merah marun. Hans sempat melepaskan pegangan tangannya dari koper untuk mengaktifkan alarm buka kunci mobil dan suara pelan terdengar dari sana.

Pintu bagasi mobil terbuka dan Hans meletakkan koper dengan satu tangan sementara tangan lain masih terkait dengan Gladiola yang masih berusaha melepaskan tangannya sendiri. 

"Lepasin, Hans. Gue gigit, nih, tangan lo." ancam Gladiola tidak gentar. Dia masih melotot dan siap menyemburkan amarah ketika Hans kemudian membuka pintu penumpang bagian dan memintanya masuk.

"Ogah. Gue bisa pergi sendiri. Orang kantor bisa jemput gue."

"Masuk, Ola. Lo nggak mau kita dilihat orang, kan?" Hans membalas. Dia kemudian memandangi genggaman tangan mereka dan walau berat, akhirnya dilepaskan juga. Gladiola sendiri masih sempat melotot, namun, dia menyerah karena pada akhirnya, Hans memintanya masuk mobil dengan suara jauh lebih lembut dibandingkan sebelumnya. 

Dia juga dengan perlahan menutup pintu penumpang dan berjalan menuju pintu pengemudi sementara Gladiola, walau masih kesal, akhirnya tidak bisa menahan diri untuk memperhatikan seisi mobil.

Mobil kantor? Atau mobil sewaan? Atau mobil dia sendiri? 

Pintu mobil bagian sopir terbuka dan Hans masuk dengan terburu-buru. Begitu pintu tertutup, dia menghela napas dan sempat memejamkan mata selama beberapa detik sebelum akhirnya menoleh kepada Gladiola. 

Apakah ini saatnya bertengkar dan menyuarakan kekesalannya kepada Hans? Dia tidak menolak, karena sesungguhnya ini bukan salahnya. Memangnya aneh mengaku saudara kepada orang lain? Kenapa Hans merasa gengsi? Kalau sudah begitu, dugaannya benar. Hans punya motif buruk sok baik kepadanya. 

"Dengar." Hans mulai bicara. Gladiola sendiri sudah kembali ke gayanya yang biasa bila dia berhadapan dengan pria itu, bersedekap, sehingga membuat Hans mesti menghela napas lagi.  Kenapa, sih, Gladiola mesti bersikap defensif kepadanya?

"Mau dengar apa lagi? Tadi jelas-jelas lo bilang amit-amit. Memangnya gue budek sampai nggak bisa dengar?" Gladiola menyembur. 

"Gue mau bicara dulu, Ola. Lo dengar." Hans mencoba mengambil alih pembicaraan. Sepertinya ada yang perlu mendapat penegasan karena Hans tahu, selama ini Gladiola sudah salah sangka kepadanya. 

"Ngapain lo ngomong-ngomong lagi? Udah jelas semuanya. Lo nggak berubah, Hans. Dari dulu, dari kita masih SMA, kerjaan lo nggak jauh-jauh dari sok peduli. Kenyataannya? Mana? Omong kosong. Ngapain lo protes waktu gue bilang lo saudara gue sama Pak Edi?"

"Nggak. Bukan begitu." Hans meremas rambutnya, frustrasi karena entah kenapa Gladiola jadi nampak sebodoh itu. Kenapa juga Hans mau menjadi saudaranya? Walau diiming-imingi surga pun, dia ogah.

"Mau ngomong apa lagi? Tadi udah jelas buktinya, kok. Lo bilang amit-amit. Dulu ngatain gue keriting, sekarang, ya ampun. Udahlah, gue mestinya nggak ikut lo. Gue mesti telepon." Gladiola menarik tas selempangnya. Namun, karena dia sudah memakai sabuk pengaman, tasnya terjepit di sela-sela tali. 

"Gue nggak mau jadi saudara lo. Sampai kiamat pun nggak mau. Seharusnya lo ngerti kenapa gue begitu." Hans membalas. Dia yang melihat Gladiola kesusahan dengan tas selempangnya, sama sekali tidak berniat membantu. 

"Bodo amat." Gladiola menolak melihat Hans. Mendengar kembali ucapan pria itu saja sudah menyakiti hatinya. Dia berharap matanya saat ini tidak panas. Setelah Ridho, Hans adalah orang terakhir yang dia harap menyakiti hatinya. Nyatanya, dia juga telah menyusul jejak mantan kekasihnya, kembali melukai perasaan Gladiola. 

"Ola." Hans menarik tangan kanan Gladiola, mencoba mencegahnya untuk mengambil ponsel.

"Lepasin. Gue sebel." Gladiola menepis tangan Hans. Perasaan dongkol sudah menumpuk di dadanya.

"Dengerin gue dulu, belum selesai." Hans mencoba mendapatkan perhatian Gladiola yang kini sudah menemukan solusi yaitu melepaskan sabuk pengamannya. Dan hal tersebut membuat Hans makin gelisah. 

"Nggak mau. Dahlah. Lo balik sendiri sana. Jangan urus-urus gue lagi. Jangan sok baik, jangan …" 

Hans menarik bahu Gladiola dengan kedua tangannya sehingga mereka berdua berhadapan dan dia juga akhirnya melihat kedua mata Gladiola memerah. Sebentar lagi, tangis wanita muda itu pasti pecah jika Hans masih ngotot dan membawa percakapan ini berputar-putar tak tentu arah. 

"Lo dengar yang baik. Gue nggak mau kita jadi saudara, karena memang niat gue bukan itu." 

Hans bersumpah, jantungnya hendak meledak ketika mengatakan hal itu. Dia sudah berniat mempersiapkan sebuah tempat yang bagus, dengan ucapan yang layak. Bukan seperti ini, di dalam mobil, di parkiran bandara pula. 

"Sudahlah, lo stop. Gue nggak mau .." 

Gladiola mengerjap sekali dan bulir bening jatuh di pipinya. Dia tidak pernah merasa tersinggung seperti ini kepada seseorang. Hans selalu membuatnya kesal. Sejak dulu hingga sekarang dan tidak pernah berubah.

"Ola." Hans menarik napas. Si keras kepala di depannya saat ini tidak pernah bakal mengerti jika dia tidak memulai. Hans sudah terlalu lama menunggu dan dia tidak sabar lagi. 

"Lepasin. Gue mau turun." 

Hans menggeleng. Tidak bakal dia biarkan Gladiola menjauh. Kalau perlu, dia yang akan mengantar jemput Gladiola ke mana saja. 

"Nggak. Lo dengar. Gue nggak akan ngomong dua kali, karena, gue nggak bisa ngulang. Sampai kapan pun, gue nggak bakal mau kita jadi saudara. Lo dengar … " Hans memperingatkan ketika Gladiola sudah siap membuka pintu mobil. Tangan pria itu masih berada di bahu lawan bicaranya. 

"Gue mau jadiin lo kekasih, jadiin istri. Kalau kita jadi saudara … "

Hans merasa suaranya hilang, tepat di saat yang sama, Gladiola yang masih dengan air mata meleleh, mengangkat kepala dan memandanginya dengan wajah syok. 

"Lo gi … "

Masa bodoh kalau Gladiola mengatainya gila. Dia memang sudah gila. Gila sejak lama. Sejak dia tahu kalau dia bukan naksir Ranti melainkan Gladiola. Sejak dia tahu kalau Ridho tidak pernah membuat Gladiola bicara kasar sama sekali. Sejak Ridho membuat Gladiola menangis seperti kehilangan orang tua. Dia sudah gila sejak dahulu. 

Tapi, tidak ada hal segila yang dia lakukan saat ini, menarik wajah wanita itu lalu mendekatkannya ke bibirnya sendiri dan melampiaskan semua perasaan frustrasinya selama bertahun-tahun, kebodohan yang dia buat sehingga membuat dia jatuh bangun, minggat ke luar Jakarta, namun, dengan bodohnya, kembali lagi hanya untuk memandangi wanita yang dia kira tidak bisa lagi dia dapatkan.

Kepalanya panas dan pening seketika. Dia hampir lupa bernapas dengan benar. Tapi, tidak ada yang lebih indah daripada berhasil mengakui perasaannya dan menguasai bibir Pelangi Langit Gladiola untuk dirinya sendiri setelah sekian lama. 

Walau, dua menit kemudian, pipinya yang merah bekas tamparan nona galak berambut keriting di sebelahnya membuatnya nyengir dan mengaku dosa.

"Lo sinting, ya? Otak lo sudah pindah ke neraka?" 

Dia tidak keberatan ditampar lagi. Yang penting, salah satu misinya sudah berhasil tercapai.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro