sebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di Karyakarsa sama KBM app, Ola ama Hans udah bab 26. Semalem eke apdet 2 bab. Udah baca?

Mampir juga ke work baru. Ntar selang-seling ama Ola. Yang jadi bintang utama namanya Akak Alaia Primrose. Entah kenapa, setiap nulis primrose eke selalu keingetan sirup frambozen. Padahal tulisannya laen.

Betewe banyak yang pegel baca Ola, insecure mulu. Lah, emang anak2 eke pada insecure semua dari zaman Jasmine. Ada-ada aja malah baru sadar sekarang.🤣 kan, cerita eke sudah sesuai sama generasi sekarang, setroberi, selalu butuh healing sendiri. Coba, eke tanya, siapa yang di sini pas naksir orang selalu kaga berhasil? Siapa di sini selalu dibandingkan sama saudara? Siapa di sini yang ga minder setiap yang dibahas rambut? Siapa di sini yang ga minder punya ortu pilih kasih?

Emang ada, Mak, ortu modelan mak bapak Ola?

Yang merasa senasib ama Ola, bolehlah komen di sini. Siapa tahu banyak temen.

Hans? Ini tipe nyebelin kayak Malik. Di bab 20an pembaca pada kesel ngapai dia ga naksir2 Ola. Jiah, pembaca ada-ada aja. Baru dalam hitungan hari, minggu, bulan, jadian ama Ranti, dipaksa naksir Ola. Ooooo netizeeen. Eke ngelus bokong ajalah, biar kaga esmosi.

***

11 Pelangi di Langit Gladiola

Gladiola tidak mengerti mengapa di saat dia berusaha tidak melihat dan mengingat Hans, batang hidung pemuda itu selalu muncul di depan wajahnya. Dia padahal baru saja duduk di teras rumah keluarga Adam, hendak melepas sepatu ketika suara motor terdengar dan pintu pagar terbuka dengan sebuah dorongan kecil dari ban depan. Wajah Hans yang pertama kali muncul dan Gladiola amat berharap saat itu Kania tidak izin ke WC supaya dia bisa pamit pulang. 

Sayangnya, Hans keburu melihat puncak kepala Gladiola yang khas dan yang bisa gadis itu lakukan hanyalah pura-pura membuka lembar pekerjaan di buku sketsa miliknya dan menyentuh wajah Ko Edward dengan ujung telunjuk kanannya. Dia amat berharap Hans segera masuk rumah dan meninggalkannya sendiri. Kenyataannya, pemuda itu malah duduk di sebelah Gladiola dan sejurus kemudian dia berbaring terlentang di lantai marmer dengan dominasi warna cokelat muda.

Sial. Ngapain, sih, pakai tidur-tiduran di sini? Rutuk Gladiola di dalam hati. Dia bohong kalau tidak berdebar. Walau sudah jadi pacar adiknya, Hans tetap saja mampu membuat jantung Gladiola jedag-jedug. Tapi dia bukan seorang kakak yang jahat. Biarlah Hans dan Ranti berbahagia dan dia lebih memilih menjauh. 

Gimana bisa move on, coba? Dasar gendeng! Gladiola memaki Hans kembali di dalam hati. Dia sudah kehilangan kata-kata sejak melihat moncong hidung si tampan itu dan lebih memilih memandangi Ko Edward yang hampir selesai sketsanya.

Mungkin besok dia sudah bisa mewarnai. Gladiola punya cat air dan mungkin bakal mengisi sisa akhir pekannya dengan fokus menggambar. Tapi, kalau dipikir-pikir, bila mama kembali menyuruhnya menjadi tukang antar galon, maka kesempatan untuk itu sangat sedikit. Selama beberapa hari terakhir dia minta izin untuk tidak menjaga warung dan depot isi ulang air minum. Dadanya entah kenapa terus berdenyut nyeri dan dia hanya bisa mengelus-ngelus bagian yang sakit dan berdoa penderitaannya lekas berakhir. Agak aneh juga karena lebam-lebam bekas jatuh mulai menguning dari yang mulanya biru keunguan. 

"Eh, siapa, nih? Bukan adek lo, Hans."

Sebuah suara lain, amat ramah dan menyenangkan dibanding suara Hans, terdengar di telinga Gladiola. Dia akhirnya sadar kalau dari tadi sebenarnya Hans tidak sendirian.

"Kakaknya Ranti." balas Hans pendek. Matanya terpejam lagi seolah dia kelelahan. Mungkin dia baru saja praktik menanam pohon durian, Gladiola tidak tahu. Hans adalah mahasiswa fakultas pertanian dan awalnya, gadis muda itu mengira Hans salah pilih jurusan. Di masa sekarang ini agak mustahil menemukan anak kota memilih pertanian. Mereka biasanya memilih jurusan yang lebih potensial mendatangkan uang. Ekonomi atau akuntansi misalnya, atau kebanyakan lelaki memilih jurusan teknik. 

Tapi, Hans yang ajaib itulah yang membuat Gladiola suka.

"Oh, iya? Fakultas pertanian? Lo mau nerusin usaha kebun Papa Hans, ya? Kebun sawit dan karet yang di Sumatera?" 

Obrolan beberapa tahun lalu membuat Gladiola teringat lagi. Dia biasa memanggil kedua orang tua Hans dengan Papa dan Mama Hans, bukan Papa dan Mama Kania. Alasannya, karena dengan begitu, dia bisa menyebut nama pria yang disukainya hingga berkali-kali, walau kini, Gladiola lebih suka menghindari gebetannya daripada dia terus-terusan menangis.

"Lo nggak kasih tahu kalau kakaknya lebih cakep dari Ranti." sela suara itu lagi. Gladiola yang mulanya tidak tertarik, bimbang untung mengangkat kepala dan memandangi sosok yang memujinya barusan. Mata orang itu kalau tidak katarak, pastilah rabun, tebaknya. Lagipula, kenapa mengatakan Gladiola cantik kalau sampai sekarang saja dia tidak laku. 

Memangnya, ada pria yang naksir kepada Bibik Warung merangkap Tukang Galon? Bukan apa-apa, belum-belum Gladiola merasa malu kepada dirinya sendiri. Bukan tidak mungkin, saat dia dikunjungi oleh kekasihnya nanti, kepala mama bakal muncul entah dari warung, depot, atau rumah, lalu menyuruhnya mengisi galon atau melayani pembeli. Tapi, bila itu saja, maka bukanlah sebuah masalah. Namun, bila nanti ocehan pedas keluar dari bibir wanita yang melahirkannya itu, tentang Gladiola yang jorok, yang pemalas, yang cuma bisa menghabiskan dagangan warung, entah bakal ditaruh di mana mukanya. 

Dia tidak malu jadi putri seorang tukang sayur dan tukang ojek. Tetapi, perasaannya bakal dua kali lebih hancur saat dijelek-jelekkan di depan pria yang menganggapnya sempurna. Cukup di depan Hans saja mama puas mempermalukannya. Jangan di depan pria lain.

"Jorok gini, kalau libur bangun siang, gimana lo jadi bini orang. Yang ada bakal berantem terus sama mertua, malu-maluin gue, lo, anak sialan."

Iya, dia salah. Dia selalu bangun lewat pukul tujuh bila hari libur tiba. Tapi, Gladiola terjaga hingga pukul sebelas lewat. Dia sendiri harus menunggui dan melayani para pembeli lalu menutup kedua tempat usaha orang tuanya itu. Papa biasanya menghilang main gaplek di rumah tetangga bila tidak ada carteran ojek, mama menonton sinetron kesukaannya, dan Ranti, seminggu terakhir dia pulang malam. Mungkin berkencan dengan Hans, dia tidak tahu. 

"Cakep dari Hongkong." suara Hans membalas dan Gladiola berusaha menyeringai walau dia merasa pria di sebelahnya ini agak kurang ajar. 

"Hongkong mata lo katarak. Gue laki-laki normal." 

Gladiola tidak tahan lagi. Dia akhirnya mengangkat kepala dan sedikit terkejut karena melihat kalau pria di hadapannya saat ini punya wajah yang sedikit mirip dengan sosok yang sedang berbaring di sisinya. Bedanya, pria di depannya itu memakai kacamata dan berambut sedikit ikal walau tidak seperti dirinya. Ikal milik pria itu masih lebih mirip rambut bergelombang dan entah kenapa, dia merasa seolah menemukan orang yang senasib dengan dirinya saat ini. 

Pakai jam tangan hitam juga. Dia lumayan keren.

"Selera lo aneh."  ujar Hans dan anehnya, Gladiola sudah kebal. Tidak di rumahnya, di rumah nenek, dan Hans di rumah Kania, orang-orang selalu mengatakan dia jelek dan Gladiola sendiri setuju setelah dia memandangi pantulan wajahnya di kaca kamar Bi Della selama berjam-jam. 

"Iya. Mata lo buta kali." 

Gladiola tidak ragu menimpali. Tetapi, lawan bicaranya yang baru itu malah mengulurkan tangan, "Kenalin, Jo." 

Gladiola hanya memandangi ujung jari kanan milik Jo yang berada tepat di depan hidungnya. Dia bimbang hendak menyambut uluran tersebut karena hatinya menyuruh jangan. Di sebelahnya Hans masih tampak cuek dan lebih memilih memejamkan mata sehingga pada akhirnya tidak ada yang bisa dia lakukan selain membalas Jo dengan menyebut namanya, “Ola.”

“Cakep namanya, kaya orangnya.” puji Jo. Raut wajahnya terlihat tulus saat mengatakan barusan. Tetapi, tidak bagi Hans. dia sempat membuka kelopak mata sebelah kirinya dan merasa geli dengan pernyataan barusan. Bahkan, Hans menyempatkan duduk sebelum akhirnya menunjuk ke arah rambut Gladiola.

“Ola? Kebagusan emang. Aslinya dipanggil Si Kriwil, eh, Kriting juga boleh. Gue ada lagunya, Ting Ting Nyak, Keriting Kurang Minyak, rambutnya keriting … “ 

Ucapan Hans terhenti karena Gladiola bangkit dan menerjang dadanya dengan kaki kanannya yang saat itu masih memakai sepatu sehingga Hans terpental ke belakang. Di saat yang sama, Kania keluar dari rumah, membawa dua mangkuk bakso dalam nampan. Dia sempat diam ketika melihat Gladiola menunjuk ke arah Hans dengan mata berkilat merah.   

“Dikuliahin emak bapak lo ternyata buat menghina gue doang? Nggak ada guna keringat sama air mata mereka selama ini. Mending gue, jual galon, ngupas kelapa sampai tangan hancur, tapi dari situ gue belajar, jangan kayak gitu selamanya biar makhluk-makhluk macam lo nggak ngerusak mental dan jiwa gue.”

Gladiola sempat menendang tulang kering Hans sekali lagi sebelum akhirnya dia pergi, mengabaikan panggilan Kania yang menyebut-nyebut kudapan mereka sore itu.

“Gue balik, Ni. sampai gue jadi orang, nggak bakal sudi gue nginjak tempat ini lagi.”

Gladiola berjalan keluar pagar, tidak menoleh lagi ke arah belakangnya dan berjalan cepat meninggalkan tiga orang tersebut yang masih terlalu terkejut. Bahkan, saat Hans bangkit dan mencoba mengejar, Gladiola sempat berhenti dan mengacungkan bogemnya.

“Suatu hari nanti, lo bakal ngerasa, gimana sakitnya dihina karena keadaan harus bikin lo beda dari orang lain. Jangan harap gue maafin … "

Gladiola memejamkan mata. Dia merasa menyesal telah banyak bicara saat hatinya sedang berada dalam luapan emosi seperti saat ini. Bagaimanapun juga, Hans adalah abang Kania dan melihat wajah sahabatnya yang kini sudah berderai air mata dan mengejarnya, membuat Gladiola amat bersalah. 

Jangan bodoh, La. Lo paham kalau selama ini Hans selalu bully dan ngatain lo. Jangan lemah karena Nia nangis. Sudahlah, nggak usah lagi suka sama cowok begok itu. Lagian, lo juga bakal kerja dan pergi dari rumah. Stop cengeng kayak perempuan kurang belaian. Ingat mimpi kita, harus jadi orang kaya supaya bisa ngasih pelajaran semua yang sudah jahat sama lo selama ini.

Tinggal beberapa bulan lagi. Dia tahu dia hanya perlu bertahan. Dua, tiga, atau empat bulan akan segera berlalu. Segera setelah mendapat ijazah, dia bakal pergi dan membuktikan kepada semua orang kalau bentuk rambut, warna kulit, ukuran tubuh, bukan menjadi alasan untuk menjadi orang sukses.

Meski, setelah lelah berlari dan sadar dia telah berjarak sekitar lima ratus meter dari rumah sahabatnya, Gladiola mesti berjongkok dan membenamkan wajah di antara kedua lutut lalu menangis sepuas hatinya. 

Gue nggak akan lupa hari ini. Semua orang yang benci gue, merendahkan gue, suatu hari, bakal diam karena malu telah mempermalukan gue hari ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro