Filantropi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

By: Zeonadine
-not edited-
⁘⁘⁘

Aku termenung menatap gadis kurus yang terbaring lemah di depanku. Aku tahu dia pasti sangat lelah. Lima belas menit yang lalu seorang dokter baru saja menyuntikkan obat kepadanya melalui infus.

Dia kakakku, Zoe. Aku biasa memanggilnya Kak Zoya. Aku sangat menyayanginya. Dulunya, dia gadis yang ceria. Dia tergolong anggun, manis, dan pandai. Dia adalah definisi gadis yang sempurna. Itu dulu sebelum semuanya terjadi.

⁘⁘⁘

Enam bulan yang lalu, Mei 2019.

Sejak nenek meninggal, Kak Zoya sering sakit-sakitan. Badannya mengurus, sering demam dan muncul ruam-ruam kecil di kulitnya. Dia sering mengeluh jika dia sering merasakan nyeri sendi dan sakit kepala. 

Itu terus terjadi selama 3 bulan berturut-turut. Aku mengusulkan agar dia periksa ke dokter. Aku khawatir gejala tersebut akan semakin parah dan menimbulkan penyakit serius.

Dugaanku benar. Apa yang selama ini aku khawatirkan benar terjadi. Pergi menemui dokter bukan menjadi kunci penyelesian masalah ini. Malah justru aku dan Kak Zoya mendapatkan berita yang lebih mengejutkan.

Selama ini Kak Zoya menderita penyakit lupus. Penyakit itu menyerang kulit dan sistem kekebalan tubuh Kak Zoya. Gejalanya memang mirip dengan penyakit umum sehingga sukar untuk didiagnosis. Penyebabnya pun belum diketahui. Ini membuat penyakit lupus belum bisa disembuhkan. Pengobatannya hanya dapat mengurangi dan mencegah keparahan gejala. 

Entah apa yang akan terjadi ke depannya. Aku menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Semoga saja ada keajaiban yang membuat Kak Zoya kembali seperti dulu.

⁘⁘⁘

Aku menghela napas berat. Kutatap tubuh lemah Kak Zoya. Sudah lima hari Kak Zoya menginap di rumah sakit ini. Demamnya kambuh. Tadi saja dia baru mengalami kejang. Aku masih ingat jelas kejadiannya.

⁘⁘⁘

Dua puluh menit yang lalu, pukul 9.40 pagi.

Aku baru kembali dari kamar mandi. Aku terkejut ketika melihat ke arah Kakak. Badannya kaku, pandangannya kosong, tangan dan kakinya menyentak kemana-mana.

Aku sudah biasa menghadapi Kak Zoya yang tiba-tiba kejang. Tetapi, aku belum pernah melihat Kak Zoya mengeluarkan busa di mulutnya. Aku panik. Buru-buru aku berlari menekan tombol darurat.

PRRAANGG!

Aku terkejut dan menjadi lebih panik. Tubuh Kak Zoya semakin tidak terkendali. Tangannya tidak sengaja menyenggol gelas kaca berisi susu. Susunya tumpah mengenai celanaku dan gelasnya pecah berkeping-keping. Pecahan gelas itu menggores betisku. Sakit, tapi Kak Zoya lebih penting. 

Kenapa dokter terasa lama sekali? Padahal menurut jam, belum ada lima menit Kak Zoya kejang. Aku hendak keluar memanggil para dokter secara langsung. Namun, lagi-lagi Kak Zoya dalam masalah.

Entah bagaimana, Kak Zoya tiba-tiba saja terjatuh dari kasur. Aku jadi mengurungkan niatku memanggil dokter. Aku langsung menolong Kak Zoya. Untunglah, tepat saat itu tim dokter perawat Kak Zoya datang.

⁘⁘⁘

Aku kasihan pada Kak Zoya. Dari luar memang dia terlihat tidak apa-apa. Masih bisa beraktivitas seperti remaja lain. Masih bisa tertawa, masih bisa tersenyum. Akan tetapi, di dalam dirinya, dia sedang berusaha melawan rasa sakit yang amat menyiksa tubuhnya. Dia memendam rasa sakit itu. Sungguh gadis yang tegar.

Drrrt...drrtt...drrrrttttt...

Ponselku bergetar panjang di dalam saku celanaku. Sepertinya ada panggilan masuk. Entah siapa yang meneleponku di saat seperti ini.

Kak Ethan.

Itulah nama yang tertera di layar ponselku sekarang. Dia salah satu sahabat terdekat Kak Zoya yang pernah menempuh pendidikan di Australia. Terbayang di benakku sosok Kak Ethan yang menginspirasiku. Sosok Kak Ethan yang selama ini membantuku.

Aku segera mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Kak.” Aku berusaha menyapanya dengan nada tenang dan ceria. 

“Hai, Ara. Gimana kabarmu sama Zoya?” tanyanya dari seberang telepon. Kak Ethan memang belum tahu jika Kak Zoya sakit. 

“Baik.” Aku terbata-bata. “Aku, dan, Kak Zoya baik. Kami baik.”

“Hm, kamu tahu? Aku menelepon Zoya kemarin-kemarin, tapi gak diangkat. Kupikir dia kenapa-napa.” Aku hanya membalasnya dengan tawa hambar. Bohong besar jika kami baik-baik saja. Terutama Kak Zoya. Jelas dia kenapa-napa.

“Ra, aku ada info penting buat kamu, nih.”

Info penting? Belum sempat aku bertanya info apakah itu, Kak Ethan sudah lanjut berbicara. “Kalo ngomong lewat telepon ribet. Mending kita ketemuan aja. Di cafe depan Bank Kota jam sebelas siang, ya.” Lalu Kak Ethan langsung menutup sambungan teleponnya. Kebiasaan. Aku menghela napas pasrah. 

Aku melirik jam di atas layar ponselku, pukul sepuluh pagi. Namun, langit tak secerah pagi biasanya. Awan kelabu mendominasi cakrawala. Memang sejak minggu lalu kota ini mulai memasuki musim penghujan. 

“Ara.”

Aku segera menoleh ke sumber suara. Aku tersenyum hangat. Kak Zoya sudah siuman. Aku menghampirinya. “Gimana keadaan kakak sekarang?” tanyaku sambil duduk di kursi sebelah kasur Kak Zoya.

“Kayak biasa,” respon Kak Zoya dengan ceria. Aku bisa menyimpulkan sendiri maksud dari ‘kayak biasa’. Itu artinya masih sakit, tapi bisa kutahan, seperti biasa. 

“Ethan barusan telepon ya? Dua hari lalu dia telepon aku, tapi aku baru nyalain HP kemarin malam.” Dia terlihat mencari-cari ponselnya. Aku segera memberikan ponselnya yang tadi kuletakkan di atas meja. 

“Pasti dia udah balik dari Australia.” Kak Zoya menghela napas. “Temanku itu, dia udah kayak warga negara Australia aja. Dia lebih milih tinggal di Australia daripada di sini. Dia belum tahu kalau aku sakit.” 

“Lebih baik Ethan gak tahu. Kalau dia tahu aku sakit dan terbaring lemah di sini, dia pasti akan khawatir. Atau mungkin buruknya, dia akan menertawaiku,” guraunya.

Aku hanya diam menatapnya mengoceh ceria. Lihatlah, dia seperti tidak menderita penyakit serius yang mengancam nyawanya. Dia seperti gadis biasa lainnya. Dia sama sekali tidak terlihat baru mengalami kejang yang hebat. 

“Kak, aku ada janjian sama teman jam sebelas nanti.” Aku menggigit bibir pelan. Rasanya sedikit sangsi untuk meneruskan ucapan ini. “Kakak gak apa kutinggal?”

“Pergilah, aku aman sendirian disini. Toh, ada suster,” gubrisnya tanpa beban. Aku menatapnya nanar. Aku tidak tega meninggalkan Kak Zoya yang baru saja kejang sendirian. 

Sebuah tangan kurus nan hangat menyentuh tanganku. Aku menoleh ke arah Kak Zoya. “Gak papa, Ra. Kali aja temenmu itu lagi butuh kamu, pergi sana. Aku bisa jaga diri, kok.” Kak Zoya tersenyum seakan tahu apa yang kupikirkan.

Aku menghela napas untuk ke sekian kalinya. Kak Zoya memang kepala batu sejak kecil. Jika dia sudah memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa menentangnya.

“Ya udah, lah, akan kupanggil suster buat jaga Kakak. Aku cuma pergi sebentar,” pamitku seraya memasukkan ponselku di saku dan keluar kamar Kak Zoya.

⁘⁘⁘

Jarak rumah sakit dan cafe tempat aku dan Kak Ethan akan bertemu tidak terlalu jauh. Waktu tempuh normal kurang lebih 15 menit. Hanya saja aku berangkat lebih awal, mengantisipasi kemacetan yang sudah menjadi makanan sehari-hari di jalanan kota ini.

Langit semakin gelap, suasana semakin suram. Di atas sana, awan hitam yang sudah tidak mampu membendung butiran-butiran air, tampak gelap menutupi langit ibu kota. Matahari sampai enggan menampakkan diri. Tak ada lagi sinarnya yang hangat. Yang tersisa hanyalah rintik hujan yang menderas, udara yang semakin dingin, dan suara guruh yang samar.

“Kita langsung aja. Ini tentang seleksimu,” ucap Kak Ethan membuatku mengalihkan pandangan dari jendela. 

Ya, aku memang ingin seperti Kak Ethan, kuliah di luar negeri. Kak Zoya dan Kak Ethan tahu tentang hal tersebut. Ketika aku lulus SMA, 6 bulan lalu, aku mengajukan beberapa lamaran di berbagai situs untuk beasiswa ke luar negeri. Terutama Australia.

Aku lolos lamaran, seleksi pertama, hingga seleksi ketiga. Bulan lalu, aku melaksanakan seleksi keempat. Belum muncul hasilnya. Mungkin Kak Ethan membawa hasilnya, karena selama ini dia yang membantuku.

Tenyata terkabul. “Kamu lolos seleksi keempat, Ra,” kekeh Kak Ethan, “tapi, sekali lagi Ra, jangan kasih tahu Zoya dulu, ya. Biar surprise, hehe.”

Aku terdiam. Bagaimana aku akan memberitahu Kak Zoya? Jika aku beritahu, dia pasti akan antusias hingga lupa jika dia sedang sakit. Lalu, dia akan dengan ringan hati menyuruhku segera bersiap-siap pindah ke Australia. Sementara aku tidak bisa membantahnya.

Jujur, sebenarnya aku sudah memendam berita ini selama 5 bulan. Aku memendam kabar tentang beasiswa dari Kakak. Aku tidak memberitahu Kakak jika Kak Ethan sudah lama di Indonesia. Dan tentu saja, sesuai janjiku keaku belum membahas keadaan Kak Zoya dengan Kak Ethan.

Sungguh betapa kejamnya aku. Aku membiarkan mereka tidak tahu-menahu kabar satu sama lain. Tapi, bagaimana lagi?

“Kenapa, Ra?” tanya Kak Ethan yang menyadari perubahan air mukaku. Aku menatap Kak Ethan kosong. Memang aneh ekspresiku sekarang. Aku hanya memasang muka datar alih-alih antusias.

Seharusnya aku gembira. Seharusnya aku senang. Harusnya aku tertarik dengan kabar ini. Harusnya aku bertanya lebih lanjut tentang seleksi berikutnya.

    Jika semua masih sama seperti dulu, aku pasti sudah melakukan hal tersebut. Jika semua masih normal seperti sediakala, aku pasti sudah melakukan hal tersebut. Jika Kak Zoya masih sehat, segar, dan bugar seperti 6 bulan yang lalu, aku pasti sudah melakukan hal tersebut.

“Apa yang kamu pikirkan, Ra?” Aku terkejut hingga hampir melompat dari kursiku. Kak Ethan tiba-tiba saja membuyarkan lamunan singkatku. "Semua udah kuurus. Kamu cuma bertugas nyiapin diri buat seleksi berikutnya. Masalah biaya? Itu bisa dipikir belakangan.” 

Sayangnya, bukan itu yang sedang kupikirkan. Uang bisa dicari. Uang bisa meminjam. Tabunganku juga lebih dari cukup di bank. Aku tidak sedang memikirkan tentang uang.

Aku juga tidak memusingkan tentang seleksi. Tes seleksi berikutnya mungkin berbasis nasional. Artinya aku hanya tinggal selangkah lagi untuk mewujudkan mimpiku. Namun, aku tidak terlalu memikirkan tentang seleksi.

“Cuma kasih tahu, tes seleksi berikutnya, seleksi nasional. Tesnya dilaksanakan minggu depan. Persiapkan dirimu, Ra.” Aku menoleh ke arah Kak Ethan. Sudah kuduga.

“Maaf gak bisa lama-lama. Aku ada acara sama teman lamaku. Aku harus pulang sekarang,” pamit Kak Ethan sambil meneguk sisa minumannya. “Aku searah sama rumahmu. Mau kuantar?”

Aku teringat ucapan Kak Zoya tadi yang tidak ingin Kak Ethan tahu jika dia sakit. “Aku pesan taksi online aja. Aku mau mampir ke Restoran Padang dekat Rumah Sakit Kota.”

Kak Ethan mengangguk, “oke, jaga dirimu.” Lalu dia pergi meninggalkanku.

Aku menatap jendela yang berembun. Suasana menjadi lengang sejak Kak Ethan pergi. Hanya tersisa suara hujan yang mereda diiringi oleh suara guruh dan petir yang saling bersahutan.

⁘⁘⁘

Sepanjang perjalanan kembali ke rumah sakit, aku terus merenung. Ini sebenarnya kabar yang baik. Ini sebenarnya berita yang membahagiakan.

Aku sekali lagi lolos seleksi beasiswa yang selama ini kutunggu. Kak Ethan sudah bersedia membantuku mengurus data negara. Seleksi berikutnya mungkin sedikit sulit. Aku yakin aku bisa melewatinya. 

Kuliah di luar negeri memang impianku sejak kecil. Jauh ketika aku masih kanak-kanak. Jauh ketika dulu aku masih SMP dan Kak Zoya masih seumuranku sekarang. Jauh sebelum orang tua kami meninggal. Jauh sebelum Kak Zoya menderita lupus.

    Tidak. Aku tidak menyalahkan Kak Zoya. Aku juga tidak menyalahkan Mama dan Papa yang pergi kembali ke Tuhan. Aku juga tidak menyalahkan Tuhan yang sudah mengubah hidup kami seperti sekarang. Sudah takdir kami seperti ini.

Pikiranku semakin melantur. Tiba-tiba ponselku bergetar panjang di saku celanaku. Lagi. Aku segera merogoh saku dan mengambil ponselku. Hari ini ponselku banyak bergetar panjang, sudah lebih dari lima kali kurasa. Aku menatap layar ponselku.

Kak Muna.

Kak Muna? Untuk apa suster itu meneleponku? Apa ada masalah dengan Kak Zoya? Apa Kak Zoya kenapa-napa? Apa Kak Zoya kejang lagi?

Kugeser tombol hijau ke samping. “Halo? Ada apa, Kak?” Sungguh aku tidak bisa berpikir jernih. Otak ini terus berpikiran negatif. Hati ini terus mengkhawatirkan Kak Zoya. Semoga Kak Zoya baik-baik saja.

“Ara?” panggilnya dengan nada tergesa-gesa. Prasangka makin merajalela benakku. Apa yang terjadi pada Kak Zoya? 

“Ara, kamu di mana?” tanya Kak Muna.

“Aku di jalan, arah ke rumah sakit. Kenapa, Kak?”

“Zoya, dia, dia,” ucapnya terbata-bata, “Iya, sebentar, aku lagi hubungi Ara.” Sepertinya dia sedang berbicara dengan suster lain di seberang sana.

“Ayolah, apa yang terjadi sebenarnya?” tuntutku semakin tidak sabar. Pikiran burukku semakin menjadi-jadi.

“Aku gak sanggup ngomongnya. Cepat balik, Ra.”

Tut...tut...tut...

Panggilan terputus secara sepihak. Aku segera meminta supir taksi untuk mengebut. Kak Zoya, kamu kenapa? Apapun yang terjadi, bertahanlah, Kak.

⁘⁘⁘

Aku langsung menuju kamar Kak Zoya. Aku berlari seperti sedang dikejar setan. Aku sudah tiba di area kamar VIP. Kamar Kak Zoya di bagian depan, aku tidak perlu mencarinya lagi. Aku membuka pintunya. 

Kasur Kak Zoya kosong. Aku mengernyitkan dahi. Firasat negatifku sepertinya benar. Aku mencari-cari di mana Kak Zoya. Mungkin di kamar mandi? Tidak ada. Mungkin di balkon? Tidak ada. Aku menuju luar kamar. Mungkin dia sedang berjalan-jalan.

Aku hampir terkejut melihat Kak Muna yang muncul tiba-tiba. “Ara! Ayo, ikut aku.” Kak Muna langsung menarik lenganku. Dia mengajakku pergi turun ke lantai yang lebih rendah. 

“Ara, maaf, berita ini mungkin sangat mengejutkan, aku harap kamu bisa menerimanya,” ucap Kak Muna menggantung, “Zoya dipindahkan ke ICU. Dia kejang lagi. Napasnya tadi sempat berhenti.” 

Udara di paru-paruku rasanya menipis. Mataku terasa basah sekali. Setetes air mata merambat turun di pipi kiriku. Disusul dengan air mata di pipi kananku. Air mataku semakin cepat turun. Hampir menyamai derasnya hujan di luar.

Kak Zoya, kenapa?

“Dokter berhasil menyelamatkannya. Tapi, Zoya sekarang dalam masa kritis. Dia koma, jantungnya semakin melemah.”

Aku tidak mampu berkata-kata. Badanku terasa lemas. Kepalaku tiba-tiba pusing berat. Kakiku tidak kuasa menopang tubuhku. Tubuhku mungkin akan terjatuh ke belakang jika Kak Muna tidak menahanku.

Seketika semua buram. Semakin buram. 

Lalu gelap.

⁘⁘⁘

Aku membuka mataku. Aku ada di mana? Aku melirik kanan dan kiri. IGD Rumah Sakit Kota. Aku mengernyit mengingat sesuatu. Oh, aku baru siuman dari pingsan.

Kak Zoya!

Aku berusaha bangun. Namun, kepala ini masih pusing. “Ara!” seru Kak Muna yang ada di sampingku. 

“Aku harus nyari Kakak.” Aku berlari mengabaikan teriakan di sekitarku. Aku menuju ruang ICU. Aku tahu letaknya di mana. Aku hafal sekali denah rumah sakit ini.

Napasku tersenggal-senggal. Aku pun berjalan tertatih-tatih. Aku berusaha melawan rasa sakit di kepalaku. Kak Zoya lebih sakit daripada aku. 

Aku tiba di lantai 2. Di sinilah ruangan ICU berada. Ruangan itu steril sekali. Aku tahu, aku tidak boleh masuk. Aku hanya bisa melihat dari jendela kaca. Dari sini sudah cukup. Aku bisa melihat Kak Zoya dengan jelas. 

Wajahnya pucat pasi. Tubuhya penuh selang untuk alat penopang hidup buatan. Banyak layar yang menunjukkan diagnosis kondisi Kakak. Kak Zoya kenapa bisa jadi seperti ini?

Air mata ini menetes kembali. Lututku terasa lemas. Namun, aku masih bisa berdiri. Itu pun juga aku memegang erat kusen jendela sebagai penopang. Aku menatap lurus ke depan.

 “Ara!” panggil Kak Muna dengan tersenggal-senggal. Dia berdiri di sebelahku. “Sabar, ya, Ra. Tuhan pasti ngasih jalan yang terbaik buat Zoya,” ucapnya menenangkanku. “Kamu tahu sendiri, Zoya gadis yang kuat. Dia pasti bisa ngelewati ini.” Kak Muna mengusap punggungku pelan. 

Namun, itu tidak berpengaruh sama sekali. Sia-sia. Air mataku masih mengalir perlahan di pelipisku. Sesekali aku terisak lirih. Aku tidak bisa menahan tangisanku. Tangisan kesedihan, ketidakpercayaan, dan penyesalan.

Kak Muna menghela napas. “Maaf, ya. Aku gak bisa nemenin kamu di sini. Aku harus balik kerja,” pamit Kak Muna. Aku mengangguk. Terserah dia. Lagi pula aku ingin sendiri.

Setelah beberapa menit, tangisanku reda. Aku termenung. Aku teringat kabar dari Kak Ethan. 

Jelas aku tidak bisa meninggalkan Kak Zoya yang sedang koma sendirian disini. Aku tidak berani melepas Kak Zoya, meskipun dia bersama suster dan dokter. Aku takut Kak Zoya kenapa-napa lagi, sedangkan aku tidak ada di sisinya.

Seseorang menepuk pundakku. “Ara.” Aku kenal suara ini. Aku menoleh penasaran. Kak Muna, kan, sudah pergi sedari tadi. Lalu, ini siapa? 

Tapi, kenapa dia ada di sini? Bagaimana dia bisa ada di sini? Bukankah dia ingin bertemu teman lamanya? Yang lebih membingungkan, dari mana dia tahu aku dan Kak Zoya berada di sini?

“Zoya kenapa jadi kayak gini, Ra?” tanya Kak Ethan tak percaya. “Sejak kapan Zoya sakit? Kenapa kalian gak ngasih tahu aku?”

“Dari mana Kakak tahu kalau Kak Zoya ada di sini?” tanyaku mengabaikan pertanyaan Kak Ethan.

“Entah, Zoya tiba-tiba telepon aku. Ketika kuangkat, dia gak ngomong sama sekali. Aku manggil dia berkali-kali, tapi aku cuma dengar suara napas,” cerita Kak Ethan, “Aku panik. Kulacak aja nomor HP Zoya. Jadilah aku di sini sekarang.”

“Maaf, aku gak kasih tahu Kakak. Kak Zoya melarangku,” lirihku.

Suasana lengang selama beberapa menit. Kami berdua larut dalam pikiran masing-masing. Tidak ada yang ingin memulai percakapan.

Benakku sibuk berpikir. Mungkin ini saat yang tepat. “Kak Ethan,” panggilku. Si  empunya nama menoleh.

“Aku tahu Kakak semangat banget buat bantu aku kuliah di Australia. Kakak tahu kuliah di luar negeri itu impianku sejak kecil. Setelah selama ini, terima kasih atas dukungan Kakak,”

“Tapi, aku kayaknya gak bisa nerusin seleksi terakhir. Aku udah gak mau ke Australia lagi.” Aku mengambil napas. Dada ini rasanya sesak sekali. Ini sungguh keputusan yang berat.

“Kak Zoya lebih penting. Aku, aku mau nemenin Kak Zoya. Maksudku bukannya aku gak percaya sama orang lain. Tapi, aku tidak ingin jauh dari Kak Zoya,” putusku pelan terbata-bata.

“Gak papa. Aku tahu, kok.” Kak Ethan tersenyum dan mengusap rambutku.

“Maaf,” cicitku, “selama ini Kak Ethan udah susah payah bantu aku. Seharusnya aku bilang sejak dulu. Maaf, Kak.” Sekali lagi aku meneteskan air mata.

“Gak papa, Ra. Beasiswamu bisa ditunda tanpa harus dibatalkan. Setelah Zoya sembuh, kita lanjutkan beasiswamu itu.” Kak Ethan masih tersenyum. “Kita rawat Zoya bersama, ya?” tanyanya. 

Aku mengangguk meski aku tahu itu tidak akan pernah terjadi.

⁘⁘⁘

Kak Zoya masih terbaring lemah di sana. Jantungnya semakin melemah. Alat penopang hidupnya semakin banyak. Buruknya, sampai saat ini dia belum pernah bangun untuk menyapaku.

Aku semakin banyak pikiran. Sekarang aku harus bekerja paruh waktu demi mencari uang untuk pengobatan kakak.

Pagi hari aku harus menjadi pegawai magang di kantor Kak Ethan. Sorenya aku kembali ke rumah sakit ini untuk magang juga sebagai adsministrasi rumah sakit. Ketika hari Sabtu aku melatih anggota paskibra di sekolah lamaku. Ketika hari minggu aku mengajar melukis di sanggar lukis ku di masa kecil.

Zaman sekarang susah memang mencari pekerjaan di saat kita hanya memiliki ijazah SMA. Aku masih bisa bersyukur aku mempunyai banyak bakat. Jadi, setidaknya aku bisa mendapatkan sedikit uang untuk kakak.

Kamar-kamar kosong di rumah nenek kuubah menjadi kamar untuk kos-kosan para mahasiswi kampus terdekat. Lumayan ada kurang lebih 2-4 kamar yang kosong. Rumah jadi ada yang menjaga dan membantu membersihkan. Uang pun juga terkumpul.

Kak Ethan sesekali mengajakku makan siang dan pulang bersama. Aku jadi bisa menghemat uang untuk hal lain. Sungguh, dia pemuda yang baik. Aku banyak berutang budi padanya.

Mungkin ini adalah titik terburuk dalam hidupku. Dimana aku hanya memiliki Tuhan dan Kak Ethan yang setia di sampingku. Dimana aku harus mencurahkan tenagaku sebanyak mungkin. Dimana aku harus bisa mengatur sendiri segalanya agar tidak berantakan.

Aku bahkan sudah melupakan impianku untuk sekolah di luar negeri. Aku sudah melupakan cita-citaku menjadi seorang fisikawan. 

Entah kapan ini akan berakhir. Aku tidak tahu. Yang aku tahu Tuhan selalu ada bersamaku. Tuhan selalu ada bersama Kak Zoya. Tuhan tahu jalan terbaik untukku dan Kak Zoya. Tuhan selalu memberikan akhir yang tidak di duga oleh umatnya.

Meski terkadang tak adil.

Seperti, mengambil kembali salah satu dari umatnya dan membiarkan umatnya meninggalkan orang yang mereka sayangi untuk selamanya.

⁘⁘⁘

Jakarta, Desember 2019.

Rasa ini, perasaan ini. Inilah filantropi. Sebuah pengorbanan, cinta kasih, rasa sayang, kemanusiaan, kedermawanan sesama manusia. 

Namaku Tiara Allela Pangemanan, aku rela berkorban demi Kakakku, Zoe Yasmine Pangemanan.

Aku rela melepas mimpiku yang hampir tercapai demi Kakak. Aku rela melakukan apapun demi Kakak. Aku rela menghabiskan seluruh tabunganku demi kesembuhan Kakak. Bahkan jika bisa, aku rela mendonorkan nyawaku demi Kakak. Semua karena aku mencintai Kak Zoya.

Sekali lagi, inilah, filantropi.

⁘⁘⁘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro