Janji-Nya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

By: eldelin
-not edited-

Namaku Romanus Benardi Septian, aku adalah seorang anak dari keluarga yang kaya raya. Kehidupan yang aku jalani adalah kehidupan yang nyaman dan didambakan setiap orang. Tapi jujur saja aku mulai muak dengan keadaanku ini.  Aku memiliki seorang adik perempuan yang bernama Annastasia Fidela Septian, ia wanita yang cantik dan jujur. Aku sayang kepadanya, karena ia satu-satunya saudara yag aku punya.

Prangg... -terdengar suara pecahan kaca.

"Kak, aku takut. Papa dan Mama bertengkar lagi," kata Ela saat aku keluar dari kamar.

"Kamu tenang ya dek. Lebih baik kamu sekarang tunggu dikamar kakak, kalau perlu kamu sumbat telinga kamu agar kamu tidak dengar pertegkaran mereka lagi, kalau kamu takut," kataku kepada adik kecilku itu, ia baru berusia 9  tahun. Lalu Ela melangkahkan kakinya menuju kamarku. Setelah memastikan ia masuk ke dalam, aku segera turun untuk menemui kedua orangtuaku.

"Kalian kenapa sih? selalu saja bertengkar.  Apa kalian tidak lelah bertengkar terus? Apa kalian tidak tahu bahwa Ela selalu merasa ketakutan setiap mendengar kalian bertengkar?" kataku kepada mereka yang saling menatap dan mengeluarkan aura permusuhan.

"Kamu bilang sama Papa kamu itu, jangan suka selingkuh, memang dia pikir Mama ini apa?! Pajangan?!" ujar Mama dengan nada kesal.

"Berapa kali aku harus bilang sama kamu kalo aku tidak selingkuh?! Kamu itu istri aku harusnya kamu percaya sama aku," ujar Papa dengan nada yang sama kesalnya.

"Kalian kenapa sih?!" ujarku yang ikut menjadi kesal.

"Papa kamu itu tukang selingkuh!! Mama udah gak tahan lagi dengan semua ini! Lebih baik kami cerai saja jika seperti ini terus!" kata Mama dengan nada yang lebih tinggi.

"Baik, baik kalo itu yang Mama mau. Tapi jangan harap Mama bisa ketemu sama Ben ataupun Ela lagi!" ucap Papa dengan penuh penekanan.

"Pa, Ma. Bisa gak setiap kalian bertengkar tidak membawa perceraian. Aku baru akan memasuki SMA sedangkan adik, dia masih SD. Coba kalian berpikir dengan kepala dingin. Ingat, apa yang sudah dipersatukan oleh Allah tidak dapat diceraikan oleh manusia. Memang dalam agama kita ada beberapa perceraian yang dikabulkan, tapi prosesnya lama. Harus sampai kepada Paus yang ada di Vatikan. Sekarang coba kalian renungkan," kataku lalu pergi meninggalkan mereka. Aku menuju kamarku untuk menemui Ela.

"Kak, bagaimana dengan Papa dan Mama?" tanya Ela saat aku memasuki kamar.

"Mungkin sudah berbaikan sekarang," kataku.

"Kak, apa mungkin mereka menjadi sering bertengkar karena berada jauh dengan Tuhan?" tanya adikku itu.

"Bisa jadi, dek. Bagaimana kalau Minggu ini kita bersama-sama pergi  ke Gereja?" usulku. Ela pun mengangguk.

Hari berganti hari. Hari yang aku dan Ela tunggu akhirnya tiba. Sudah beberapa hari ini Mama dan Papa tidak ada pertengkaran, hanya ada satu atau dua kali adu argumentasi. Kami sekeluarga sudah siap dan segera berangkat ke Gereja. Misa Ekaristi pun dimulai. Kami melakukan Ekaristi dengan hikmat. Setelah selesai, aku tidak langsung bergegas pulang. Aku berdoa kepada bunda Maria di gua Maria yang ada di Gereja ini. Setelahnya barulah kami pulang.

Sampai kami tiba di rumah semua berjalan seperti biasa, tak ada yang memulai keributan. Aku merasa hatiku damai sekali hari ini. Aku hanya berharap akan seperti ini setiap harinya. Ela yang dapat tersenyum bahagia karena tidak ada keributan yang berarti. Bahkan hingga makan malam tiba, kami makan bersama dengan tentram dan banyak perbincangan hangat yang terjadi

Tapi, itu semua menjadi tak berarti dalam beberapa hari kemudian, pertengkaran hebat terjadi lagi. Aku sungguh sudah lelah. Untung saja hari ini Ela sedang pergi rekreasi dari sekolah hingga harus pulang sore. Aku hanya menatap malas dari atas melihat pertengkaran mereka. Lagi-lagi pertengkaran terjadi karena rasa tidak percaya Mama kepada Papa.

"Ma, Pa. Bisa gak sih kalian berhenti bertengkar? Kalau kalian mau tahu aku itu udah muak mendengar dan melihat kalian yang selalu aja bertengkar. Apa lagi Ela, kalau kalian mau tahu Ela merasa takut jika melihat ada orang yang saling berteriak. Aku rasa ia mengalami trauma akibat ulah kalian," jelasku saat menemui mereka yang sedang bertengkar. Mereka hanya dapat terdiam.

"Mengapa diantara kalian gak ada rasa saling percaya? Mengapa kalian yang tidak saling percaya dapat menikah? Apa karena paksaan?" tanyaku.

"Kamu gak akan ngerti, Ben. Kamu masih kecil. Kalau kamu udah besar kamu akan tahu betapa sulitnya mengarungi bahtera rumah tangga," tutur Mama.

"Kami menikah atas dasar cinta, Nak. Kami tidak mengalami paskaan," ujar Papa.

"Apa cinta itu hilang dari antara kalian? Sehingga kalian sering bertengkar? Mungkin lebih baik jika Mama dan Papa salaing introspeksi diri. Tenagin diri kalian dulu. Minggu depan aku mau kita pergi sama-sama ke puncak. Kita liburan bersama. Aku harap saat kita pergi Papa dan Mama sudah mendapatkan jawaban apa yang harus kalian lakukan," ujarku lalu pergi meninggalkan mereka.

Pagi berganti malam terus berulang sampai tak terasa satu Minggu berlalu tanpa keributan Papa dan Mama. Mereka sedang menjalani introspeksi diri masing-masing. Kini kami semua sudah siap akan pergi ke puncak. Kami melakukan perjalanan dengan mobil dari rumah sampai puncak setelah menghabiskan waktu kurang lebih 3 jam kami sampai di Lembah Karmel. Salah satu Gereja yang paling banyak dikunjungi, terutama saat Pentakosta tiba.

Banyak orang yang mengatakan bahwa tempat ini adalah tempat pertobatan. Semoga saja itu bisa membawa kedamaian untuk kedua orangtuaku. Aku dan Ela berjalan-jalan berkeliling gereja ini. Aku berdoa disana untuk memohon kepada Tuhan untuk menyatukan kembali keluargaku ini.  Aku ingin kami semua dapat berkumpul tanpa keributan sama sekali.

Karena penginapan kami dekat dengan Gereja, malam ini aku melangkah menuju Gereja sendirian. Aku melangkah menuju gua Maria. Memang belum larut malam, jam ditangan masih menunjukkan pukul 6 lewat. Aku menyalakan lilin yang aku bawa dan meletakkan lilin pada tempat yang telah disediakan. Aku berdoa kepada bunda Maria, Bunda Maria, bunda Tuhan kami Yesus Kristus. Aku memohon bantuanmu untuk menyatukan keluargaku, agar dapat menjadi keluarga yang damai kembali. Aku ingin merasakan kasih engkau bunda yang tanpa pamrih dan aku ingin keluargaku merasakan kasih bunda juga. Aku menatap patung bunda Maria, aku memohon dengan hati yang tulus. Dan menutup doa ku, aku mendoakan salam maria. Setelah selesai berdoa, aku kembali ke penginapan untuk beristirahat.

Sudah 2 malam kami berada di puncak. Kami mengunjungi Gereja setiap harinya. Tak ada absen aku untuk berdoa untuk keutuhan dan keharmonisan keluargaku. Setelah kami semua  berdoa sebelum perjalanan pulang, kami bersiap untuk pulang dengan harapan bahwa keluarga kami akan kembali utuh.

Hari berganti hari, Minggu berganti Minggu, dan kini bukan berganti bulan. Aku sebentar lagi menghadapi ujian nasional dan harus menentukan kemana aku akan melanjutkan pendidikanku. Yang penting sekarang adalah aku harus lulus dengan nilai yang bagus. Aku mulai giat belajar dengan mengerjakan berbagai soal-soal latihan untuk ujian. Sekolah sekarang juga sedang sibuk dengan pelajaran tambahan, tryout, ujian praktik, dan peesiapan ujian sekolah. 

Pada hari ini ujian sekolah terkahir dimulai dan setelah itu kami akan di sibukkan dengan latihan soal untuk ujian nasional yang hanya berselang satu Minggu. Kami belajar dengan giat sambil memilih SMA mana yang akan kami masuki. Aku terus belajar dengan giat. Keluargaku sudah damai. Hingga kini aku dapat memikirkan pendidikanku tanpa diganggu keributan antara Mama dan Papa.

"Kak, bisa ajari aku?" tanya Ela.

"Pelajaran apa?" tanyaku.

"Matematika, aku bingun dengan perkalian ini kak," kata Ela.

"Oh, itu.  Kamu bisa perkalian satu sampai sepuluh kan?" tanyaku. Ella mengangguk. "Nah, kamu tinggak buat aja di susun kebawah. Trus tinggal kamu kalikan aja. Yang ini sama yang ini dan ini dengan yang ini, trus yang satu lagi juga sama. Gampang kan?" jelasku.

"Oh, gitu ya kak. Oke makasih," kata Ela. Ela Duduk disampingku dan mengerjakan soal-soal lainnya  aku juga kembali belajar. Hingga malampun tiba. Kami sekeluarga duduk makan bersama.

“Kamu setelah lulus mau lanjut SMA dimana Ben?” tanya Papa.

“Belum tahu, Pa. Papa atau Mama ada referensi sekolah?” ujarku.

“Kamu sekolah di Seminari mau?” usul Papa.

“Jangan Seminari ya, kalo kamu sekolah di seminari nanti kamu harus asrama dan jauh dari rumah,” tutur Mama.

“Nanti coba aku pikir-pikir lagi ya, Ma, Pa,” ucapku. Aku mengatakan itu karena aku tak ingin ada pertengkaran lagi di rumah ini. Selesai makan malam, kami semua pergi ke kamar kami masing-masing. Aku kembali ke dalam kamar untuk belajar lagi.

Tak terasa hari-hari sudah terlewati, kini aku sedang menghadapi Ujian Nasional yang akan menentukan kelulusanku. Mama dan Papa sudah tidak pernah bertengkar hebat. Paling yang terjadi hanyalah pertengkaran kecil yang akan di akhiri dengan damai kembali. Aku mengerjakan soal-soal dengan lancer. Hingga tak terasa seluruh Ujian Nasional yang dilaksanakan selama 4 hari sudah selesai.

Hari ini aku ingin mengajak Ela pergi bersama, maka setelah Ela pulang aku memintanya untuk bergegas mengganti pakaiannya menjadi pakaian santai untuk sekedar pergi ke taman dekat rumah. Setelah Ela siap, aku mengambil dompet dan telepon gennggamku di dalam kamar.

“Papa selingkuh?!” teriak Mama. Aku yang mendengarkan teriakan Mama segera berlari turun. Saat aku berlari, Ela ternyata mengikutiku.

“Berapa kali Papa harus bilang kalau Papa gak selingkuh, Ma?” tutur Papa.

“Apa, Kamu masih mau mengelak, setelah aku punya bukti?!” kata Mama setelah itu menunjukkan sebuah foto yang menunjukkan Papa tengah berpelukan dengan seorang wanita.

“Dia itu rekan kerja Papa, Ma. Kenapa Mama gak percaya  sih sama Papa? Mama mau bukti? Papa ajak Mama untuk ketemu sama dia.” Ujar Papa.

“Mama tidak percaya, pasti Papa akan bilang sama dia untuk mengaku sebagai rekan kerja Papa, iya kan?!” kata Mama dengan nada tinggi. Ela yang bersembunyi di belakangku mencengkeram bajuku dengan sangat erat.

“Papa dan Mama berantem aja terus. Lebih baik aku dan Ela pergi saja,” Tuturku. Setelah itu aku mengajak Ela untuk keluar rumah.

“Kak, Kenapa Papa dan Mama bertengkar lagi?” tanya adikku itu.

“Kakak juga gak tahu dek. Sekarang kita ke taman aja ya. Siapa tahu nanti saat kita pulang Papa dan Mama sudah berbaikkan,” kataku untuk mengalihkan perhatian adikku itu dari pertengkaran orangtua kami.

Saat sampai ditangan, aku mengaja Ela untuk duduk di salah satu sudut yang kosong. Lalu kami memandang sekeliling. Kami melihat banyak anak-anak yang sibuk bermain dengan teman-teman sebayanya.

"Kak, apa Tuhan tidak sayang sama kita?" tanya Ela.

"Tuhan sayang sama kita semua Ela. Terutama kita yang setia dan percaya akan kekuatannya. Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" tuturku.

"Aku pikir Tuhan tidak sayang sama kita karena Tuhan membiarkan Papa dan Mama bertengkar terus," jelas adikku itu.

"Mungkin Tuhan hanya memberikan cobaan untuk kita. Tapi cobaan yang Tuhan berikan pasti bisa kita lewati bersama-sama," ujarku.

"Kak, aku haus. Kita beli minum yuk," ajak Ela setelah beberapa saat kami hening. Lalu aku mengajak Ela untuk membeli minuman di pedangan kaki lima.

"Ela, kamu mau minum apa?" tanyaku.

"Air putih aja, Kak," tuturnya. Aku mengangguk dan mengambil air putih dingin dan membayarnya kepada sang penjual. Setelah menerima kembalian, aku berbalik untuk mengajak Ela duduk lagi di taman. Tapi aku tidak dapat menemukan Ela di sekelilingku. Aku segera mengedarkan pandangan keseluruh penjuru. Aku khawatir terjadi sesuatu dengan Ela. Aku segera melangkah saat melihat Ela yang hendak mengambil anak kucing yang ada di tengah jalan. Tapi dari arah berlawanan, aku melihat sebuah mobil yang melaju kencang ke arah Ela. Aku segera berlari ke arah Ela, dan...

Brak..... -semuanya menjadi gelap

***

Kini yang dapat aku lihat adalah putih. Semuanya putih. Aku berpikir bahwa aku sudah meninggal dan sedang menunggu waktu untuk diadili. Aku tidak masalah jika aku harus menghadap ilahi, tapi bagaimana dengan Ela? Itulah yang terus menghantuiku. Aku khawatir dengan Ela.

Tiba-tiba semua yang berwarna putih itu berubah menjadi sebuah taman. Aku langsung berpikir bahwa aku sudah ada di surga. Aku menuju sebuah kursi yang ada di tengah taman tersebut. Aku duduk disana dengan pikiran penuh. Aku sungguh takut jika aku sudah tidak dapat bertemu dengan keluargaku. Aku ingin melihat dan merasakan keluarga yang utuh lagi. Hanya sekali dan sebentar tidak masalah.

"Wahai, Romanus Benardi Septian. Diberkatilah engkau dalam namaku. Aku mengijinkan engaku untuk kembali ke dunia dan menjalankan kehidupanmu kembali dan merasakan keutuhan dan kerukunan keluarga. Aku menjanjikan kepadamu kedamaian yang abadi untuk keluargamu, tapi dengan syarat jadilah pewarta dan pelayan bagi umat manusia di dunia. Jadilah seorang yang baik yang bermanfaat bagi banyak orang. Hanya itu pesanku. Jika engkau sanggup dan hendak melaksanakan perintahku, maka engkau dapat kembali. Aku memberikan engkau waktu untuk berpikir. Jika engkau sudah memutuskan, maka engkau dapat mengatakan keputusanmu dan engkau akan dibawa ke tempat yang sesuai dengan keputusanmu," kata suara tersebut. Aku segera merenungkan kata-kata tersebut.

Aku memang ingin keluargaku bahagia. Aku juga ingin merasakan ada ditengah-tengah mereka. Tapi apakah benar keluargaku dapat kembali damai? Tapi aku harus percaya. Aku percaya akan imanku. Aku percaya akan Tuhan-ku.

"Aku memilih untuk kembali dan menjadi pelayan-Mu Tuhan. Aku ingin melihat keluargaku damai kembali," tuturku. Lalu seketika muncullah sebuah cahaya dan menunjukkan jalan. Aku segera aku melaluinya. Aku menyusuri jalan ini sangat lama.  Entah berapa lama aku menyusuri jalan ini. Dan kini semuanya gelap.

Aku mengerjapkan mataku secara perlahan. Perlahan-lahan ada cahaya yang masuk kedalam mataku. Aku mencoba memfokuskan pandanganku. Dan kini aku dapat melihat langit-langit berwarna putih, dan terendus aroma obat-obatan. Aku menolehkan kepalaku kekanan, dan menemukan Ela terbaring di sofa rumah sakit.

Ceklek.... -terdengar suara pintu

"Puji Tuhan, kamu sudah bangun, Nak. Mama panggil dokter dulu ya," ujar Mama saat melihatku. Ia segera keluar lagi memanggil dokter. Aku menunggu. Kepalaku agak sedikit sakit sebenarnya. Aku merasa ada bebatan perban yang melingkar di kepalaku.

Tak lama Mama kembali dengan seorang dokter. Dokter memeriksa kondisi aku. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan ia berbicara dengan Mama di luar. Dan tak lama kemudian Mama kembali masuk dan Ela terbangun dari tidurnya. Aku tersenyum kepada Ela.

"Kakak!!!!!" teriak Ela saat melihat aku tersenyum kepada adik kecilku itu.

"Hai, sini," ujarku sambil menepuk sisi tempat tidur rumah sakit yang kosong.

"Aku takut kalau kakak tidak bangun lagi dan tidak main lagi denganku. Kakak jangan pergi ya," tutur adikku itu.

"Iya. Kakak tidak akan pergi lagi. Sini sama kakak," kataku kemudian memeluknya. Saat sedang bercanda dengan Ela,  Mama pergi meninggalkan kami. Tak lama kemudian ia kembali bersama Papa. Kemudian mereka tersenyum dan merengkuh aku dan Ela kedalam pelukan mereka. 

"Kita harus kayak gini terus ya. Mama dan Papa akan selalu ada untuk kalian dan tidak akan bertengkar lagi," tutur Mama yang disetujui oleh Papa.

"Ma, Pa. Aku memutuskan untuk sekolah di seminari. Kalian tidak perlu takut untuk melepaskan aku untuk tinggal di asrama, karena kalian masih dapat mengunjungi aku satu bulan sekali atau satu Minggu sekali," ucapku.

"Baiklah, Papa setuju dengan keputusan kamu. Semoga kamu dapat menjadi pelayan Tuhan yang baik, nak," ujar Papa.

"Mama juga setuju jika itu keputusan kamu dan jika kamu tidak merasa ada paksaan, maka lakukanlah. Mungkin itu jalan yang Tuhan gariskan untukmu," kata Mama.

"Kakak, nanti kita masih bisa main kan?" tanya Ela.

"Ya bisa dong. Nanti kakak akan sering pulang atau kamu yang main ke seminari. Nanti kamu juga bisa bermain bersama teman-teman kakak," ucapku untuk mengenyenangkan adik kecilku.

"Oke. Aku sayang kalian semua," tutur Ela dengan senyuman yang mengembang.

Kini hari berganti hari, Minggu berganti Minggu, bukan berganti bulan, bahkan tahun berganti tahun. Tak terasa aku sudah lulus dari seminari dan besok aku akan ditahbiskan. Kata banyak orang malam ini adalah malam yang paling sulit, karena banyak yang memilih mundur untuk menjadi Romo.

Malam itu aku tidak bisa tidur dengan tenang. Aku terus berpikir apakah aku akan sanggup melepaskan kehidupan duniawi ini. Aku memutuskan untuk berdoa kepada Tuhan memohon petunjuk manakah yang akan aku ambil. Tapi memang keputusan hatiku dan jalan Tuhan, aku tak mengalami keraguan yang berarti. Aku memilih meninggalkan kehidupan duniawi untuk melayani Tuhan.

"Aku rela berkorban untuk kebahagiaan keluargaku dan pergi mengikuti Tuhan. Karena Tuhan telah menjanjikan yang terbaik untukku dan keluargaku. Dan Tuhan akan tetap pada janji-Nya. Aku mengorbankan keduniawian aku untuk kebahagiaan abadi keluargaku. Tapi aku akan hidup untuk menjadi berkat bagi banyak orang," tuturku kepada diriku sendiri.

Akhirnya pagi ini aku mengikuti sakramen penahbisan. Sakramen ini hanya di ikuti oleh beberapa orang, karena sebagian besar menyatakan mundur dari sakramen ini. Mungkin bukan jalan mereka untuk menjadi seorang Romo. Itulah yang aku tahu.

Dan kini semua yang Tuhan janjikan terwujud. Segala janjinya memang nyata dan tak akan pernah ia ingkari.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro