Rumor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

By: @/kravei
-not edited-

“Kalian ingin pergi hanya untuk menghujatnya?” gadis itu bertanya dengan nada tak percaya. Sedikit khawatir tersirat di wajah cantiknya.

“Iya, dia harus diberi pelajaran!”

“Aku setuju!” 

“Dia benar.”

.

.

.

RUMOR
.

.

Kelopak mata dengan bulu mata lentik itu terpejam. Badannya bersandar begitu kaku di atas sofa empuk. Berusaha menyembunyikan emosi-emosi yang ada di dalam pikiran.

“Rosera, apa kau baik-baik saja?” mata itu terbuka dan melirik ke asal suara. Apakah itu kekhawatiran? Tidak...

Mata itu kembali menatap lurus ke langit-langit kamar dan terpejam. “Itu bukan khawatir.” Innernya berbisik.

Bola mata hitam pekat, bulu mata lentik, dagu V, bibir tipis dengan hidung mancung. Surai hitam sepinggang dengan poni panjang. Jangan lupakan warna kulit yang putih, mulus dan bersih tanpa noda, tinggi badan 165 dengan berat badan ideal. Terkenal, iya.

Perkenalkan, namanya Rosera. Dia adalah seorang artis pendatang baru dua tahun yang lalu. Karirnya begitu bagus setahun sebelumnya dan kacau setelah kejadian itu terjadi...

Kini hampir semua orang membencinya. Ia bahkan tak bisa lari karena kontrak yang mengikat. Yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah dan terus berjalan sesuai bagaimana yang perusahaan mengaturnya.

Dan semua ini disebabkan oleh rumor.

12.00

“Rosera, ada yang ingin bertemu.” Lelaki tadi yang adalah manager berkata.

“Jangan bilang mereka lagi?” suara kecilnya bertanya. “Aku di sini untuk berlibur. Bukan untuk bertemu pembenci atau sejenisnya.” Ia tahu ini semua pasti kerjaan lelaki yang adalah managernya ini. Seharusnya ia sudah menduga. Kemanapun ia pergi, ia takkan pernah tenang.

“Aku juga tidak tahu bagaimana bisa mereka tahu kau di sini.” Bohong, Rosera tahu jelas dia berbohong. 

“Sampai kapan aku bisa bertahan?” pikirnya. Wajahnya cukup datar untuk mau mengatakan apa yang sedang ia rasakan.

“Iya...” dia berdiri dan melangkah pergi.” 

.

.

.

Matilah kau, pembunuh!

Perempuan j*lang!

Kau harusnya mati!

Perempuan memalukan!

Kapal pesiar berlayar beberapa saat yang lalu. Padahal Rosera sudah menyewa kapal besar nan mewah ini untuk beberapa hari. Apakah pembenci ini dengan sangat rela membayar mahal hanya untuk menghujatnya?

“Kau selalu saja tega padaku.” Mata itu menatap lurus ke depan, tepat ke keramaian dengan kertas berisi kata-kata kejam mereka.

“Mereka memaksa ingin membayar.” Lelaki di sebelah Rosera menjawab tanpa penyesalan. Bagaimanapun ini adalah bisnis. Gadis di sebelahnya tak punya ketenaran apapun lagi selain untuk dibenci. Tentu saja ia harus memanfaatkan keadaan apapun meskipun itu adalah sekedar sensasi.

.

.

.

“Ughhh!” lelaki yang adalah salah satu kru menyentuh kepalanya yang terasa sakit.

“Oi kau kenapa?” yang lain dengan pakaian yang sama menghampiri karena terkejut.

“Oeeeeekk!” 

“Kau kenapa?!” temannya itu memuntahkan makanan yang sedang dia makan dan pembuluh darah berwarna hijau meneggang mencetak jelas di seluruh badan hingga wajahnya.

“Oooekkk!” kali ini bukan sisa makanan tapi darah yang dia muntahkan membuat yang melihat berjalan mundur.

“Oii?” 

“Krrrr” Kepalanya yang tertunduk perlahan terangkat dan menatap dengan mata putihnya. Dia mengeram seperti seekor binatang buas.

“Krrrgghhh!”

“Aaaaaaaa!”

Craaaak

Kressss

.

.

.

“Mati kau perempuan jalang!”

“Kevin” banyak sekali. Lebih dari seratus orang di depannya dan berteriak. 

“Kenapa Vita?” yang dipanggil menghentikan aksi dan menatap temannya.

“Aku mau ke kamar.” Vita pergi begitu saja setelah ucapannya. Hatinya terasa tercubit hanya karena melihat semua ini. Seperti apa rasanya jika ia berada dalam posisi Rosera? Ia tak berani membayangkannya. Pasti berat sekali dibenci banyaknya orang. Meskipun dia mungkin bersalah, tidak seharusnya mereka memintanya untuk mati. Itu sudah sangat kejam sekali.

“Meski aku sudah menjelaskannya kalianpun tak percaya!” langkah Vita terhenti karena suara Rosera terdengar. Dia terdengar marah dan juga sedih.

“Kau pembohong dasar pembunuh! Kau harusnya mati saja!”

“Nyawa dibayar dengan nyawa!” orang-orang di sana tak mempercayai apa yang keluar dari mulut Rosera.

Vita memutar badan dan menonton dari posisinya.

.

.

“Kalau saja aku bersalah, aku sudah di penjara sekarang! Mengapa kalian suka sekali mempercayai rumor?!” suara Rosera meninggi karena marah. Muak sekali pada semua yang menyumpahi dan menuduhnya sembarangan.

“Kau pasti membayar polisi untuk bungkam!”

“Semua orang tahu itu!” 

“Dasar perempuan rendahan tidak tahu malu!” begitu banyak orang-orang di depannya terus berteriak.

“Mati saja kau perempuan sampah!”

“Kau tak layak hidup!”

“Kau harusnya mati!”

“Pembunuh!” kepala Rosera berdenyut mendengar semua makian itu begitupun hatinya, terasa berdenyut.

“Sudah cukup! Aku ingatkan kalian!” wajahnya memerah menahan amarah. Tangannya terkepal dengan sangat erat guna menahan air matanya agar tidak keluar.

“Mati kau pembunuh!”

“Perempuan sampah!” tapi tak ada satu orangpun perduli pada peringatannya.

“Aku tahu hal ini akan terjadi!” Rosera mengeluarkan ponsel dari saku celana belakang.

“Ada orang-orangku di bawah. Kalau saja kalian terus melanjutkan hal ini.” Ia memberi jeda dengan menarik nafas panjang.

“Aku akan membunuh kalian semua.” Semua orang mendadak diam pada ancamannya.

“Rosera, apa kau gila?!” sang manager turut terkejut pada apa yang ia dengar. Seorang artis tidak seharusnya melakukan hal seperti itu.

Rosera menatapnya, serius. “Aku tak bercanda. Silahkan coba saja. Aku sudah muak dengan semuanya. Akan aku bunuh kalian semua.” Memang ia tidak bercanda tapi ia berbohong. Ia tak menduga liburannya akan menjadi seperti ini dan ia juga tak mempersiapkan siapapun untuk membunuh. Ini hanya sekedar gertakan berharap semua yang mendengar menjadi takut dan berhenti mengganggunya. Hanya itu yang ia mau.

Semua orang diam tak berani bersuara. Mereka yakin gadis itu tidak akan segan-segan menyakiti mereka karena dia bahkan membunuh temannya sendiri.

“Putar balik kapal dan turunkan orang-orang ini.” Rosera berbalik dan melangkah pergi begitu saja setelah ucapannya.

.

.

.

“Kevin? Mengapa wajahmu begitu?” tanya Vita di kala Kevin memasuki kamar dengan wajah kesal.

“Gadis itu mengancam akan membunuh kami. Astaga dia pasti sudah gila. Sudah kuduga dia itu pembunuh.” Kevin mengambil duduk di sofa yang berada di bawah kasur.

“Gila?” Vita berpikir sejenak. Ia pergi dari tempat kejadian karena tak tahan melihatnya, jadi ia tak tahu hal itu. “Mengapa dia yang mengatakan akan membunuh kalian adalah hal yang gila dan kalian yang memintanya mati adalah hal yang wajar?” seandainya saja kalimat ini bisa ia katakan dengan lantang.

“Dimana Toni dan Candra?” tanya Vita mengubah topik pembicaraan. Mereka bersama-sama tadi tapi mengapa Kevin kembali sendiri? 

“Mereka bilang mau turun ke bawah dan mencari bukti kalau Rosera menyuruh orang-orang untuk membunuh kami.” Jawabnya jujur. Ia terlalu kesal untuk mau ikut, itu sebabnya ia kembali ke kamar terlebih dulu. Dan juga lumayan banyak orang yang ikut pergi dengan mereka berdua.

“Aku ingin jalan-jalan sebentar.” Ucap Vita.

.

.

.

“Aku membencimu! Bahkan sampai matipun aku akan membencimu!” 

“Hiks”

Tes

Tes

Air mata mengalir dari mata Rosera dan berakhir mengenai lutut yang ia peluk. Ia tengah duduk di samping badan kapal dan menikmati angin sepoi-sepoi.

Kenangan yang sangat buruk itu kembali hadir di pikirannya yang tengah kacau.

“Rosera...” sang pemilik nama melirik setelah menghapus air mata dengan kedua tangan.

“...” Rosera hanya menatap.

“Bolehkah aku duduk?” gadis itu bertanya dan tanpa jawaban, ia mengambil duduk di sebelah Rosera.

“Maafkan aku.” Rosera kembali menoleh ke arah gadis dengan surai hitam sebahu di sebelahnya.

“Maaf?” Rosera tak paham. Untuk apa maaf itu?

“Aku berharap bisa membantumu tapi aku bahkan tak bisa mencegah temanku untuk tak menghujatmu.” Sungguhkah dia bermaksud berkata begitu?

Rosera terdiam cukup lama untuk berpikir sebelum kembali menoleh ke depan. “Itu bukan salahmu.” Air mata menetes dari mata kiri tapi ia menghapusnya dengan cepat.

“Namaku Vita” Gadis itu mengenalkan diri dengan senyuman manis.

“Rosera” jawabnya singkat. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali seseorang bicara sebaik ini padanya. Yang ia ingat hanyalah seperti apa orang-orang menghujat.

“Aku mendengar banyak sekali rumor tentangmu.” Vita membuka topik pembicaraan.

“Aku tahu.” Rosera kembali memeluk lututnya. Ia memakai topi dan masker untuk menutup wajah tapi ternyata ada yang berhasil mengenalinya. “Meski aku sudah bilang semua itu tak benar, tak ada yang percaya.” tambahnya sedih setelah melepas masker yang menutup mulut hingga hidungnya.

“Maaf, aku tak bisa membantu tapi jika kau ingin didengar. Aku bersedia mendengarkanmu.” Tawar Vita tulus. Meski ia tak mengenal gadis di sebelahnya tapi ia yakin gadis ini bukan orang jahat seperti yang ia dengar. Wajahnya bahkan terlalu ayu untuk bisa menjadi orang jahat.

.

.

.

“Toni, mengapa bau sekali di sini?” bukan hanya sepi, tempat ini bahkan terasa menakutkan. Dimana para kru dan yang lain? Kapal besar ini harusnya punya sangat banyak kru.

“Astaga apakah itu darah?!”

Lebih dari 20 orang yang melihat dikagetkan oleh darah yang tiba-tiba mengalir keluar dari balik pintu besi.

“Apa itu?”

“Coba buka pintunya.” Mereka berbisik-bisik menebak apa yang ada di balik pintu karena penasaran.

“Apa yang terjadi?” mereka merasa merinding. Suara bising mesin kapal membuat mereka tidak bisa menguping suara yang ada di ruangan tadi.

“Kalian ini penakut sekali!” salah satu perempuan memberanikan diri menyelip dan muncul tepat di depan pintu.

Tanpa ragu, ia memutar knop pintu dan mendorong pelan pintu agar terbuka.

“Arrggg!!”

“Krrgghh!” 

“Kyaaaaaaaaaaahhh!” mata perempuan itu terbelak kaget. Sekumpulan orang tengah memakan tubuh kru dan juga kapten kapal.

“Astaga apa itu?!” semua orang saling mendorong dan berjinjit supaya bisa melihat dengan jelas.

Tapi lihat baju orang-orang aneh itu. Bukankah itu baju para kru kapal?

“Mereka melihat ke sini!” mata merah itu membuat semua bulu kuduk semakin merinding ngeri.

“Kraaaaaaa!!”

“Kyaaaaaah lari!”

“Kyaaaaahh tolong!” perempuan tadi ingin lari tapi terhalang oleh badan-badan manusia yang lain hingga membuatnya terdorong dan terjatuh.

“kyaaahh tol-tolong...” gigi-gigi orang-orang aneh tadi menembus lengan dan leher membuatnya ketakutan tapi tak berlangsung lama.

Beberapa detik setelahnya ia tak lagi merasakan apapun.

“Arrggggg” dan yang mengigitnya barusan mengincar manusia yang lain begitu juga dengan dirinya. Berubah menjadi makhluk yang sama.

.

.

“Pasti berat sekali rasanya. Maafkan aku...”

“Hahaha” kali ini Rosera tertawa. Bukan lagi lega tapi senang. “Bukan salahmu, jangan minta maaf terus.” Ucapnya lucu. Ia merasa agak lega setelah bisa menceritakan masalahnya.

“Kau sangat hebat sekali bisa melewati semua itu sendiri.” Vita merasa iba tapi juga bersyukur bahwa gadis ini sangat kuat dengan semua yang menimpanya.

“Omong-omong aku baru sadar kapalnya berhenti?” tanya Rosera aneh. Perasaan tempat berlabuh masih jauh dan ia tak menyuruh kapal ini untuk berhenti?

“Kyaaaah tolong!!”

“Arrgg!”

Dua mata itu sontak menoleh ke arah kanan. Mengapa mereka berlari berhamburan begitu?

“Candra?” Vita berdiri diikuti oleh Rosera. “Toni?”

“Vita! Lari! Lari! Arrggg!”

“Lari Vita!”

Deg!

“Candra?!” pekik Vita syok ketika ia melihat orang-orang belumuran darah menangkap dan menggigit bahkan menyobek kulit Candra.

“Lari Vita!” Rosera tak mengerti apa yang tengah terjadi tapi darah dan wajah panik menandakan bahaya. Otaknya mengirim sinyal untuk lari menjauh dari orang-orang itu secepat mungkin.

“Apa yang terjadi?!” tanya Vita tak paham tapi Rosera menarik dan membawanya lari.

“Kyaaaaah! Rosera apaan ini?!” masih bingung dan semakin bingung. Mengapa orang-orang berlumuran darah muncul di mana-mana dan mengejar ketika melihat mereka?

“Lewat sini.” Rosera menarik Vita masuk melalui lorong. Mereka yang mengejar terlihat tak waras. Sebetulnya apa yang terjadi?

“Arrrgggg!” 

“Kyaaaah!” kedua langkah itu terhenti ketika manusia aneh muncul dari belokan dan mencoba meraih mereka.

Braccckk

“Kevin?!” Kevin muncul dan menghantam kepala itu dengan pemadam api di tangannya.

“Ini yang kau bawa?!” tanyanya marah pada Rosera, mencengkram kuat kedua pundaknya dan menatap tajam. “Apa yang kau lakukan sampai mereka menjadi aneh seperti itu?!” Kevin keluar dari kamar karena mendengar kegaduhan di luar tapi apa yang membuatnya syok adalah orang-orang aneh dengan darah mencoba menggigitnya.

“Aku tak paham apa maksudmu.” Rosera mencoba menjauh dari tangan yang terasa sakit di pundak tapi lelaki ini tak mau melepaskannya.

“Jangan menggelak. Kau sendiri yang bilang ada orangmu di bawah untuk membunuh kami. Maksudmu orang-orang aneh ini?!” matanya membara tapi disela oleh manusia yang ia pukul tadi.

“Rrgghh” orang itu bangkit seolah bukan apa-apa dan mencoba menerjangnya.

“Lari!”

“Ayo kamarku di depan sana!” 

.

Vita merasa mual ketika ia melewati banyak orang-orang yang di gigit oleh orang-orang aneh tadi tapi tak ada waktu untuk memikirkannya. Ia terus berlari mengekori Rosera dan sampai di depan pintu kaca.

“Cepat buka!” tangan Rosera bergetar di kala ia mencoba menggesekkan kartu di tangannya ke alat kecil di atas knop pintu untuk membukanya.

Klik

“Cepat masuk!”  Vita masuk diikuti oleh Rosera dan Kevin langsung menutup pintu kaca tadi.

Braacckkk

Priaaangg

“Kyaaahh!” kaca pintu itu pecah tapi untung besi-besi panjang di balik kaca membuat mereka tak bisa menembus.

“Suruh orang-orangmu untuk berhenti!!” pekik Kevin panik.

“Bukan aku pelakunya! Aku tak tahu apapun soal mereka.” Bantah Rosera syok. Air mata mengalir tanpa bisa ia kontrol. Ia merasa takut.

“Tolong!”

“Tolong!”

“Kita harus menolong yang lain.” Ucap Vita takut. Beberapa mungkin selamat di dalam kamar tapi bagaimana dengan yang di luar?

“Dari atas. Cepat!” dan mereka berlari menuju tangga yang menghubungkan ke atas kapal.

.

.

.

“Ini yang kau bilang ingin membunuh kami?”

Bracck

“Auch!” Rosera mendesis kesakitan ketika dorongan membuat dirinya tersungkur ke lantai. Ia senang bisa menyelamatkan banyak orang dan beruntung orang-orang aneh tadi tak tahu caranya memanjat tapi tetap saja. Ia tetap tak dalam keadaan yang bagus.

Semua orang terlihat ketakutan. Bagaimana bisa mereka tak takut? Mereka hampir saja mati karena orang-orang aneh yang sekarang berkeliaran di kapal besar ini.

Semua kru kapal mati begitupun dengan kapten kapal. Bagaimana cara mereka bisa keluar hidup-hidup dari sini? 

“Tolong hentikan!” Vita ingin membantu tapi Toni menahan pergerakannya.

“Vita! Dia berbahaya. Dia hampir saja membunuh kita semua bahkan sudah membunuh setengahnya!” ucap Toni marah. Kalau saja tidak karena hobi olahraganya, ia pasti sudah mati beberapa menit yang lalu.

“Tidak! Itu tak benar...” Bantah Vita. Rosera bersamanya sedari tadi. Vita berani menjamin semua ini bukan karenanya!

“Auch sakit!” kepala Rosera terdonggak karena surai panjangnya di tarik.

“Perintahkan orang-orangmu untuk berhenti!” ucap Kevin penuh penekanan. “Jika tidak aku takkan bertanggung jawab kalau mereka membunuhmu.”

Rosera menyadarinya. 50 orang di dalam kamar luas ini menatapnya dengan amarah seolah sudah siap membunuhnya.

“Hiks tapi bukan aku pelakunya. Kumohon percayalah.” Iapun takut pada apa yang terjadi di luar sana tapi ia benar-benar tak tahu apapun.

Plaaak

“Jangan bohong!” seorang wanita mendekat dan melayangkan tamparan ke pipi mulus Rosera. “Hentikan ini atau kami akan melemparmu ke luar!” ancamnya.

“Dia bersamaku dari tadi. Tak mungkin dia pelakunya. Dia juga bilang padaku apa yang dia katakan tadi cuma bohong.” Jelas Vita. Rosera mengatakannya di saat mereka duduk bersama dan dia bahkan bilang dia menyesal telah menakuti orang-orang seperti itu.

“Aku bersumpah aku tak tahu apapun. Hiks hiks” Tak ada yang percaya, tidak ada satupun kecuali Vita.

“Aaa sakit!” Nana berdiri untuk mengurangi sakit di kulit kepala yang tertarik ke atas.

“Aku akan membuangmu keluar kalau kau tak mau menghentikan mereka.” Geram wanita itu menyeret Rosera pergi mendekat ke arah pintu.

“Tolong hentikan!” Vita memberontak. “Kita bisa menelepon polisi untuk meminta tolong.” Wanita tadi menghentikan langkah begitu dengan yang lain, terdiam. Itu benar. Mereka terlalu panik untuk bisa memikirkan ide yang bagus.

“Siapa yang membawa ponsel?!” 

“Rosera, kau tidak apa-apa?” Vita langsung menghampiri ketika perempuan tadi melangkah pergi dan Rosera langsung memeluknya erat.

“Hiks aku sungguh tak tahu apapun. Aku bersumpah hiks hiks.” Air matanya tak mau berhenti mengalir. Ia merasa sangat takut dan juga sedih. Ia tahu apa yang ia ucapkan tadi siang keterlaluan tapi itu tak lebih dari sekedar gertakan. Ia tak bermaksud menakuti semua orang, ia hanya merasa frustasi.

“Ro”

Czzztt

Lampu di ruangan tiba-tiba mati membuat semua mata menoleh ke segala arah.

“Jaringanku hilang.” 

“Telepon juga tak berfungsi.” Mereka kembali panik.

“Bagaimana caranya keluar sekarang?!” telepon tak bisa, tak ada yang berani meninggalkan kamar ini dan tak ada siapapun yang bisa membantu.

.

.

.

Tiga jam dan tak ada yang bisa memikirkan apapun. Tak ada yang bisa melakukan apapun. Yang mereka lakukan hanyalah duduk dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Berharap semoga mereka bisa pulang dengan selamat.

“Untuk sekarang jangan minum atau makan dan sentuh apapun.” Seseorang bersuara. “Kita tak tahu mengapa bisa mereka menjadi gila seperti itu tapi yang kita tahu mereka terinfeksi.”

Vita menghapus air mata yang lagi-lagi mengalir. Mencoba untuk tenang tapi badannya tak bisa berhenti bergetar.

“Mereka tak mati di saat aku memukulnya.” Kevin melanjutkan. “Kita juga akan langsung berubah menjadi seperti mereka jika mereka menggigit kita.” Semua orang merinding mengingat kejadian mengerikan yang mereka lihat beberapa jam lalu.

“Tapi kita tak bisa selamanya di sini. Kita akan mati kalau tak makan” ucap Vita.

“Jika ada yang mendekati kapal ini, mereka bisa saja dalam bahaya.” Timpal Rosera. Bukan ide yang bagus meminta tolong pada kapal yang lewat. Untungnya, ini adalah kapal pesiar, jadi berhenti di lautan takkan terlalu menarik perhatian orang-orang yang lewat.

Seseorang harus melakukan sesuatu...

“Ada perahu karet di samping kapal. Jika kita bisa ke sana. Kita semua akan selamat.” Rosera mendapat sebuah ide tapi tetap saja. Idenya tak terasa seperti ide yang bagus.

“Apakah orang terinfeksi bisa berenang?” tanya Kevin memastikan. Ia juga punya sebuah ide.

“Dilihat dari mereka yang tak bisa membuka pintu dan memanjat tangga, rasanya tak bisa.”

“Kalau begitu bagaimana jika kita tenggelamkan saja kapal ini? Mereka akan mati.”  Harapan hadir di benak disaat mendengar apa yang Kevin katakan.

“Ini bukan kapal murahan, tidak akan mudah merusaknya apalagi kalau kau ingin menenggelamkan kapal kau harus membolongi bagian dasarnya.” Benar yang Toni katakan. “Dan kita tak mungkin bisa mencapai bagian bawah kapal.” Semua suram seketika.

“Aku tak bisa berenang. Bagaimana caranya melompat ke dalam laut? Tak ada pelampung di sini...”

Beberapa menit berlalu dan semua orang sibuk berpikir keras. Memikirkan apa yang bisa mereka lakukan.

“Kita tak harus ke sana.” Semua menoleh ke asal suara, Rosera. “Di samping kapal ada empat perahu karet. Jika kalian bisa sampai ke sana, kalian akan selamat.” Dinilai dari jarak dan juga keamanan, berlari dan menurunkan perahu adalah ide yang bagus. Satu perahu muat 15 orang, 4 perahu di kedua samping kapal seharusnya cukup untuk menyelamatkan mereka.

“Kita tak mungkin bisa menurunkan perahunya tepat waktu.” Ujar seseorang.

“Itu sebabnya kita akan bergerak cepat. Aku akan memotong talinya segera setelah kalian naik secara bersamaan dan dengan cepat menyingkirlah dari samping kapal agar tak ada orang terinfeksi yang bisa naik ke perahu.”

“Aku?” tanya Vita kaget. Oke, anggap saja ide itu berhasil lalu bagaimana dengan dia yang memotong tali untuk menurunkan perahu karet? 

“Kita tak punya waktu. Kita harus segera bergerak sebelum malam tiba.” Ini sudah hampir jam 5 sore. Gelap hanya akan merugikan mereka.

“Aku akan memotong tali di bagian kiri.”

“Kevin?!” 

“Kalau begitu aku kanan.” Kedua mata itu saling menatap tapi tak ada yang tahu apa arti tatapan itu.

“Rosera, Kevin. Berhati-hatilah.” Pinta Vita khawatir. “Pastikan kalian langsung meloncat ke dalam air apapun yang terjadi dan kita semua harus selamat.” Tambah Vita.

“Iya, aku tahu...” raut wajah yang tiba-tiba menjadi datar membuat Vita khawatir. Apa yang tengah dia pikirkan?

“Berjanjilah, Rosera. Kau akan baik-baik saja.” Ujarnya berharap.

“A...aku janji.” Senyuman tipis Rosera berikan untuk Vita.

.

.

.

Tak ada yang berani bersuara. Bahkan langkah kaki begitu pelan agar tak menimbulkan suara sedikitpun.

Empat kelompok mendekat ke arah perahu masing-masing sesuai rencana.

Terlalu sepi, dimana para manusia terinfeksi itu? Rosera tak melihat siapapun dan itu adalah berita yang bagus. Mereka takkan kesulitan bergerak karena tak di kejar.

“Kyaaaaaah!” tali di perahu pertama  di potong Rosera membuat beberapa gadis yang merosot ke bawah terpekik kaget tapi untungnya perahu karet itu mendarat sempurna tanpa ada yang terluka.

Plummp

“Oh tidak! Jangan bersuara.” Pekik Kevin panik dan ternyata benar. Dugaannya benar! Manusia-manusia terinfeksi berhamburan keluar dari segala arah.

“Kevin! Cepat loncat.” Setelah menyelesaikan tugasnya Rosera berlari ke arah Kevin. Sedangkan yang di atas perahu mendayung menyingkir dari samping kapal.

“Kau mau kemana?” tanya Kevin ketika Rosera berlari pergi menjauh darinya.

“Aku harus menenggelamkan kapal ini supaya tak ada korban lagi.”

“Rrrrggg!” langkah Kevin termundur dua langkah menjauh dari samping kapal karena orang terinfeksi mencoba meraihnya.

“Mengapa kau di sini?” tanya Rosera kaget karena Kevin mengekorinya.

“Inikah rencanamu dari awal? Untuk mati?”

“...”

.

.

“Tidak! Kevin! Rosera!” pekik Vita kaget. Mengapa mereka tak loncat ke dalam air sesuai rencana tapi malah berlari pergi?

“Kita harus membantu mereka.” Ucap Vita khawatir. 

“Kita bisa mati kalau kita naik ke atas kapal itu lagi!”

“Mereka juga bisa mati karena mencoba menyelamatkan kita!” timpal Vita marah dan takut.

“...”

Semua terdiam. Entah tak mau atau tak berani berkata-kata.

.

.

.

“Katakan padaku. Kau melakukannya untuk mati atau untuk menyelamatkan kami?” tanya Kevin ingin tahu. Sejenak, ia merasakan kesedihan memancar dari tubuh gadis ini.

“Rrrgggg!”

Braaackk!

Sapu di tangan Kevin ia gunakan untuk menyingkirkan orang terinfeksi yang tiba-tiba muncul dari belokan. Tapi batang sapu di tangannya tak membantu sama sekali. Banyak sekali orang terinfeksi terus mengejar mereka tanpa tahu apa itu lelah. Yang bisa membuat mereka selamat hanya karena orang-orang terinfeksi tak bisa berlari dengan cepat.

“Fokus pada langkahmu. Kita bisa dalam bahaya karena kebanyakan bicara.” Rosera tak berniat menjawab. Mungkin ini takkan banyak membantu tapi ia berterima kasih pada profesi yang membuatnya bisa menghindar dari serangan para manusia terinfeksi dan bisa berlari dengan cepat.

“Kyaaaahh!” sebuah kepala menerjang tapi untung saja disadari oleh Kevin. Dengan segera ia mendorong Rosera agar terjangan tadi tak mengenainya.

“Kevin!” pekik Rosera yang tersungkur syok.

“Aku baik- baik saja. Cepat lari.” Rosera berdiri dibantu oleh Kevin dengan cara menarik tangannya.

“Astaga.” Jantungnya seperti jatuh barusan. Untung Kevin tak terkena imbas dari menyelamatkannya.

“Hah! Hah!”

Tiga pintu dari sini, ada pintu yang terbuka. “Jika kita tak ke sana sekarang kita akan mati.” Pikirnya panik. Ruang kendali masih jauh di depan tapi mereka terlalu lelah berlari untuk bisa melayangkan tangan ke manusia yang mencoba menerjang. Jadi untuk sementara mereka harus berhenti.

“Hah!”

“Hah!”

Tap

Braackk

“Krraahh!”

“Rrgggg!”

Rosera masuk ke dalam ruangan karena ditarik oleh Kevin yang syukurnya berhasil menutup pintu besi tadi tepat waktu dengan punggung.

Bracck

“Rrgggh!”

Deg

Kedua mata itu bertemu. Jarak mereka begitu dekat, Kevin tanpa sadar menarik Rosera ke dalam pelukan di saat punggungnya menutup pintu.

Sejenak Kevin merasa terbuai. Wajah selembut ini. Sungguhkah dia adalah orang yang jahat...?

Kretaaak

Deg!

Retaknya kaca bulat di samping kepala Kevin membuat Rosera tersadar dari lamuan dan dengan segera menjauh.

“Mengapa kau menarikku ke sini?” tanya Rosera mengambil duduk di kasur single size tak jauh darinya. Sedangkan Kevin memilih berdiri bersandar di dinding. Ruangan ini adalah kamar kru kapal.

“Jika kita terus melanjutkan dalam keadaan lelah. Kita akan mati.”

“...” Rosera tak menjawab. Memang benar, ia merasa sangat lelah berlari sampai tak bisa fokus.

“...” ia bahkan tak percaya dirinya masih selamat sampai di sini. Bayangkan saja lebih dari 30 orang tadi sudah sangat siap membunuhnya kalau saja tertangkap.

“Mengapa kau menangis?” 

Deg

Jari-jari tangan Rosera mengelap wajah untuk membuktikan ucapan Kevin. “Ma-maaf aku hanya syok sekali.” Jantungnya bahkan tak bisa berdebar dengan benar begitu juga dengan nafasnya tak karuan. Ia takut, panik dan juga sedih.

“Karena syok atau karena kau takut akan mati?” tanya Kevin entah dengan nada apa.

“Dua-duanya...” jawabnya ragu.

“Bolehkah aku bertanya?” tanya Kevin mengubah topik pembicaraan dan Rosera hanya menatapnya dengan tanda tanya.

“Bagaimana caramu keluar setelah menabrakkan kapal ini?”

“Aku tak berniat menabrakkannya.” Jawabnya jujur. “Kapal besar takkan mudah bocor hanya karena menabrak tembok.”

“Jadi, apa rencanamu?” padahal Kevin mengira itu adalah ide Rosera karena kalau iya, mereka punya 70% kesempatan untuk selamat.

“...” cukup lama Rosera terdiam sebelum menjawab.

“Ledakan. Jika aku bisa meledakkan salah satu tangki yang ada di bawah ruang kendali, kapal ini akan meledak dan orang-orang terinfeksi pasti akan mati.” Kevin membeku sejenak karena kaget.

“Kau juga akan mati.”

“Aku tahu tapi aku mati lebih baik daripada ada korban lagi.” Air mata mengalir lagi dari matanya.

“Kenapa kau mau melakukannya demi kami yang membencimu?”

“Karena aku bisa...” ia takut, jujur saja ia takut sekali. Ia bahkan tak berani mengakhiri nyawanya sendiri karena takut, tak peduli sefrustrasi apapun dirinya tapi kali ini ceritanya berbeda. Ia harus beranikan diri untuk bertindak jika tidak, mungkin akan ada korban lain.

“Viola” nama itu adalah awal dari masalah yang muncul di hidupnya. “Dia punya seorang tunangan dan suatu hari mereka berpisah. Viola begitu frustrasi dan dia mendatangiku. Dia bilang dia sangat membenciku yang telah merebut tunangannya dan dia menikam jantungnya dengan pisau.” Kenangan buruk itu membuat Rosera merasa mual. Viola adalah teman terbaiknya tapi ia pun tak menyangka bagaimana bisa dia menuduhnya seperti itu.

“Orang-orang mulai berumor sejak hari itu. Aku pembunuh, aku perempuan malam, perempuan simpanan dan banyak hal lainnya. Aku tak pernah melakukan apapun seperti yang mereka tuduh. Kenapa kalian tega sekali mengatakan hal sekejam itu padaku? Hikss” Rosera menangis sesegukan tapi ia berusaha melanjutkan apa yang ingin ia katakan. “Mengapa orang tega sekali menyebarkan rumor seperti itu tanpa memikirkan bagaimana perasaanku?” Ia menekan dadanya yang terasa berdenyut. “Aku bukan pembunuh hikss aku bukan orang jahat.” Wajahnya memerah dan matanya terasa berat karena lelah mengeluarkan air mata.

“...” Kevin terdiam tak berani bersuara. Sebenarnya yang jahat di sini adalah dirinya atau gadis ini? Ia bisa merasakan sakit dari setiap kata-kata yang keluar dari mulut gadis ini tapi masih sempatkah untuk menyesal? Masih sempatkah untuk minta maaf?

Dia begitu tulus ingin menyelamatkan orang-orang yang bahkan tidak segan-segan menyakitinya. Mengapa ia baru menyadari betapa salah dirinya selama ini?

“Ak”

Braacckkk

Dorongan kuat dari luar merebut perhatian mereka.

“Pintunya bengkok.” Rosera dan Kevin panik seketika tapi mereka mencoba untuk tetap tenang.

“Jendela!” Rosera membuka kaca jendela bulat berukuran sedang di atas kasur.

“Kita bisa lewat dari sini.” 

Braacck!

“Makanya cepat!” tanpa berpikir lagi Kevin melewati jendela yang terasa agak sempit untuk badan kekarnya.

“Aaaaaaa”

Plumpp

Ia berhasil mendarat dengan selamat ke dalam air.

“Puaaah! Hah hah!” kepalanya muncul di permukaan laut tapi Rosera tak kunjung meloncat.

Deg!

“Tidak tidak! Rosera! Rosera!” bukannya meloncat Rosera menutup jendela itu.

“Maafkan aku.” Ia menggigit kuat bibir bawah. Maaf karena perbuatannya ini.

“Arrrr maafkan aku aku tak bermaks” suara dari balik pintu menarik perhatian Rosera. Ia berlari menghampiri dan mengintip lewat kaca bening di pintu tadi.

“Manager?” panggilnya syok pada lelaki yang terbaring di lantai dan di kerumuni.

“Aku tak tahu obatnya akan arr”

“Aku harus lari.” Orang-orang terinfeksi tengah sibuk memunggungi. Ia tak bisa membuang kesempatan emas untuk lari ini.

Citt

Suara pintu menghentikan nafas Rosera. Semua mata tertuju padanya.

Deg!

Tap

Tap

Tap

Tanpa basa-basi lagi ia mengambil seribu langkah menuju pintu yang terbuka lebar di depannya.

“Arrggg!”

“Krrggg!”

“Fokus Rosera. Fokus. Abaikan yang di belakang.” Langkahnya semakin cepat menghampiri ruangan yang ia tuju.

Ia masuk dan menutup pintu besi itu dengan cepat tapi tak berhasil menutupnya karena terhalang salah satu tangan orang terinfeksi.

“Ughh” ia menahan sekuat tenaga agar pintu tak terbuka lebar.

Tap

Tap

Menahan sekuat tenaga dengan mendorong tangan itu menggunakan alat bantu pecahan kaca yang ia ambil di lantai tak jauh darinya.

Czzztt

Bracckk

Dan akhirnya ia berhasil menutup pintu itu.

Tak ada waktu untuk berhenti. Kakinya melangkah mendekati setir. Mendorong tuas di samping ke depan dengan pelan.

.

.

.

“Kevin, di mana Rosera?!” perahu tadi masih pada tempat masing-masing dan bertanya-tanya apa yang terjadi pada dua manusia di balik kapal besar. Tapi hanya satu yang kembali dari dua orang.

“Kevin?!” air mata Vita mengalir ketika Kevin tak menjawab dan hanya menundukkan kepala.

Kevin melihat kapal besar itu perlahan melaju tapi itu bukan jaminan Rosera akan selamat. Ia merasa menyesal sekali. Harusnya ia yang berada di posisi itu.

“Hiks tidak Kevin. Di mana dia?!”

Tangan Kevin terkepal erat. Bagaimana bisa selama ini ia menyakiti hati gadis malang itu? Bagaimana caranya menyesal sekarang? Semuanya sudah terlambat.

Wajah Kevin memerah. Ia tak tahu ia merasa malu atau marah pada dirinya yang bodoh ini. Tapi ia benar-benar merasa menyesal.

“Maafkan aku. Maafkan aku.” Ia menggigit kuat bibir bawah. Air mata seolah ingin mengalir keluar dari matanya.

“Kita harus segera pergi dari sini. Kapal itu akan meledak.” 

Deg!

“Bagaimana dengan Rosera?!” suara Vita meninggi.

“Kevin! Jawab aku.”

.

.

.

Brack

Bracck

Niatnya menuruni tangga tapi ia malah jatuh ke bawah pada pijakan pertama tapi syukur ia masih hidup. Hanya saja badannya terasa sakit.

“Ughh astaga Uhuk huk!” ia merasakan sakit di punggung yang terhantam. Meski begitu, ia tetap memaksa untuk bangkit. Kembali mengambil palu yang ikut terjatuh 

“Astaga sakit sekali.” Ketika terjatuh,  pergelangan kakinya menghantam anak tangga dan rasanya sangat mati rasa.

“Jangan menyerah sekarang. Hah” ia bangkit dan berjalan dengan menyeret kaki kirinya. Panas sekali di bawah sini. Mungkin karena uap-uap yang keluar dari dua tangki di depan.

Priaangg

Pipa yang terhubung di dua tangki besar di depannya bocor dengan sekali hantaman dari palu di tangan Rosera.

Udara menjadi semakin panas hingga ia berkeringat.

“Hah” ia membeku untuk waktu beberapa menit sebelum meraih mancis dari saku celana belakang.

Mancis itu menyala ketika tangan Rosera membuka tutup putihnya.

...

“Vita, maafkan aku” ujarnya sendu. Matanya terfokus sempurna pada mancis di tangan.

“Kita tak punya kesempatan untuk berteman. Maafkan aku.”

Matanya terpejam ketika mancis itu ia lempar.

.

.

.

Bleedaaar

Darrr!

Darrr!

Ledakan membuat semua yang sibuk mendayung menoleh. Mereka melihat api dari bagian bawah kapal mulai membakar kapal besar itu. Syukur mereka sudah cukup jauh untuk bisa dijangkau ledakan tadi.

“Hikss tidak Rosera! Maafkan aku hikss!” ujar Vita menyesal. Seandainya ia bisa membantu. Rosera tidak pantas mati seperti itu!

“Dia memang pantas mati. Lagipula awalnya dia memang ingin membunuh kita.”

Deg!

Kepala Vita terangkat di kala nafasnya tercekat.

Plaaak

Tamparan keras mendarat di pipi gadis tadi. Bukan dari tangan Vita melainkan Kevin.

“Kevin...”

“Dia menyelamatkan kita.” Ucapnya entah dengan nada apa. “Dia harusnya bisa selamat tapi dia mengorbankan nyawanya supaya tidak ada korban lagi. Begitu caramu berterima kasih?” seperti inikah tampang dirinya di saat mengatakan gadis itu sudah sepantasnya mati? Mengapa kini ia merasa seperti monster?

“Jika saja dia sejahat yang kita dengar. Dia tidak akan pernah mau mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan kita.”

.

.

.

“Kau sudah dengar beritanya?” 

Yang ditanya hanya mengangguk pelan. Sudah sebulan semenjak kematian Rosera tapi rumor yang buruk tetap saja terdengar. Dia mati bunuh diri karena tak mau disalahkan. Dia menjadikan orang-orang sebagai manusia percobaan. Dia yang menciptakan orang terinfeksi dan lain-lain tapi mereka tahu bahwa semua itu tak benar.

“Mereka bahkan tak mau mengakui kalau Rosera menyelamatkan kita semua. Dia bahkan mengorbankan nyawanya untuk mencegah hal yang lebih buruk lagi.” Dia yang adalah Vita mengepal erat kedua tangan. Seandainya saja ada yang bisa ia lakukan untuk situasi ini. Rosera telah menyelamatkan mereka, Ia benci rumor kejam itu. Mengapa mereka masih bisa berkata sekejam itu bahkan setelah ia mati? Setelah ia menyelamatkan nyawa mereka?

“Aku berharap rumor itu segera hilang.” Ucapnya berharap. “Tapi aku tidak akan pernah lupa bagaimana dia menyelamatkan kita.” Vita menoleh ke arah Kevin.

“Kau benar, dia mengorbankan nyawanya untuk kita. Aku pasti akan selalu mengenangnya di dalam hatiku.”

.

.

.

.

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro