Galas (26)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pipiku memanas saat Mas Ridwan menggenggam tanganku erat. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum lebar. Senyum itu pun menulariku sedetik kemudian.

"Mau makan dulu?" tanya Mas Ridwan lembut.

Aku mengangguk pelan. Sebenarnya, perutku sudah mulau keroncongan sejak setengah jam yang lalu. Akan tetapi, aku terlalu malu untuk meminta makan. Jadi, aku hanya bisa menahan rasa laparku dengan meneguk air mineral selagi jogging. Beruntung sekali, Mas Ridwan peka.

Mas Ridwan menuntunku masuk ke dalam pasar. Kami berdua berjalan beriringan tanpa melepaskan genggaman kami. Malah genggaman dari Mas Ridwan terasa jauh lebih kuat. Mungkin dia takut aku tertinggal di belakang, lalu hilang.

"Makan bubur ayam gak masalah?" tanya Mas Ridwan seraya menghentikan langkahnya di sebuah rumah makan yang terlihat sangat ramai. Aku tahu tempat ini, menurut orang-orang, rumah makan ini menjual bubur ayam yang sangat lezat dan usaha bubur ayam ini sudah berjalan selama 50 tahun lamanya.

Aku mengangguk pelan. Bukan karena suka, tetapi lebih karena penasaran. Kami pun masuk dan duduk di salah satu tempat kosong. Di sini, kursi dan mejanya panjang. Jadi, kita harus makan bersama dengan orang tak dikenal juga. Dan itu terasa sedikit kurang nyaman.

"Gak nyaman? Mau pindah aja?" tanya Mas Ridwan khawatir.

Aku menggeleng pelan. "Gak apa, Mas. Di sini aja. Lagian aku penasaran sama rasa bubur ayamnya," ujarku malu.

Mas Ridwan mengangguk pelan. Kami pun kembali terdiam sambil menunggu makanan kami tiba. Selama makan, tak ada dari kami berdua yang bersuara. Di sekeliling hanya terdengar teriakan-teriakan dari para penjual yang meminta agar dagangannya dibeli.

Biasanya aku tak suka berada di pasar, tetapi hari ini terasa lebih nyaman dan sedikit menyenangkan. Sudah lama juga aku tak menikmati suasana riuh di pasar. Dan pasar ini juga tak becek. Jadi, aku lumayan menyukainya.

Aku tersenyum puas. Memang bubur ayam di sini sangat juara. Belum pernah aku memakan bubur ayam seenak ini. "Ayo, Mas," ajakku keluar karena antrian yang ingin duduk juga sudah lumayan panjang.

Mas Ridwan bangkit dan kembali menggenggam tanganku. Saat ia membayar, aku memilih untuk menunggu di luar karena di dalam sini terlalu sesak. Beberapa menit lamanya, akhirnya Mas Ridwan pun terbebas dari kerumunan itu dan langsung menggenggam tanganku erat.

Kami berdua berjalan beriringan menyusuri pasar dan mencari jajanan tradisonal. Terkadang, Mas Ridwan berjalan di depanku saat ada pedagang yang mengangkat dagangannya menggunakan galas. Dan terkadang, ia berjalan di belakangku untuk menjagaku dari belakang.

Setelah puas jajan dan melihat-lihat, kami keluar dari area pasar. "Capek?" tanya Mas Ridwan seraya tersenyum kecil.

Aku mengangguk sekali, lalu memamerkan senyum puas dan jempolku padanya. "Tapi seru! Udah lama banget gak ke pasar, rasanya menyenangkan. Apalagi tadi habis jajan macam-macam," desahku puas.

Mas Ridwan tertawa kecil dan mengacak rambutku dengan lembut. Ia kemudian menuntunku ke area parkir dan kami pun pulang menggunakan motornya. Memang sangat senang rasanya makan sepuasnya setelah bercapek-capek ria.


-----------------------
467.26122020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro