Menyanyah (4)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memandangi layar ponselku dengan perasaan kecewa. Ingin rasanya kubanting ponsel itu ketika aku membaca email masuk dari pihak akademik.

"Pengajuan magang Anda belum diterima. Mohon agar melakukan pengajuan ulang kembali."

Ah! Dasar! Bagaimana ini? Jika aku tak melakukan magang sekarang, semua jadwal yang sudah kususun agar bisa lulus tepat waktu akan hancur berantakan. Aku sudah mengajukan magang di tempat yang direkomendasikan oleh salah seorang dosenku.

"Katanya gak bakal ditolak?! Tapi apa ini?! Dih! Dasar, ya! Tukang PHP emang! Nyebelin banget, sih! Katanya mau bantu! Tapi apa ini? Bikin kacau saja," racauku kesal.

Aku mulai menyanyah seraya mencari tempat magang dengan cara menyusuri dunia maya. Ini harapan terakhirku, kalau aku masih tak dapat tempat magang. Mungkin lebih baik aku menyerah saja.

Kuliah itu benar-benar menyusahkan. Merepotkan. Aku sudah membayar mahal-mahal, tetapi masih harus merepotkanku dengan hal seperti ini. Magang lah, KKN lah, ini lah, itu lah. Intinya hanya menghabiskan uang saja!

Aku mengunyah keripik dengan heboh demi melampiaskan kekesalanku. Mataku menelusuri huruf demi huruf yang ditampilkan oleh layar ponsel pintarku.

Brak!

Aku terlompat. Ponsel pintarku pun terlempar. Aku menatap sumber suara dengan tajam.

"Gila, ya?" omelku kesal. Jantungku hampir saja lepas dari tempatnya.

Sementara itu, oknum yang membuatku kaget malah jauh lebih sangar dariku. Matanya menatapku tajam. Dengan napas terengah dan wajah memerah. Ia mengepalkan tangannya kuat hingga buku jarinya memutih.

Rasa cemas pun mulai membelaiku dengan lembut. "Ada apa?" tanyaku lembut pada Alea.

Mata gadis itu berkaca-kaca. Aku yakin, sebentar lagi, bulir-bulir bening pasti akan jatuh dari mata sipitnya. Dan benar saja, tak perlu menunggu waktu dua detik. Sebuah isakan lolos dari bibir merah mudanya.

Panik, aku segera berpindah tempat di sampingnya dan memeluknya erat. Kutepuk-tepuk punggungnya dengan lembut. "Menangislah sampai kamu merasa lega. Semua akan baik-baik saja. Tak apa. Menangislah sampai dadamu terasa lebih ringan."

Raungan kesedihan meluncur dari bibir itu. Ia mengetatkan pelukannya dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku. Beberapa pasang mata mulai menatap kami dengan cemas. Bahkan ada beberapa orang yang mulai mendekat.

"Alea kenapa, Fel?" tanya Andi heran.

Aku hanya bisa menggedikkan bahu tanda tak mengerti. Tanganku masih setia mengelusnya dengan lembut. Aku membiarkannya menangis hingga ia merasa lega. Walau begitu, ingin sekali rasanya aku mengubah posisiku. Kakiku mulai kram karena menekuk dengan posisi miring.

Andi, Ara, dan Nadia berdiri mengelilingi kami seraya mengelus lembut punggung Alea. Sepertinya sudah dua jam berlalu. Kemeja yang kupakai pun sudah basah oleh ingus dan air mata. Alea pun sudah mulai tenang.

Perlahan, Alea mendongakkan wajahnya dan memandangku pasrah. "Aku harus gimana?" tanyanya kalut.

Keningku mengerut heran. Apanya yang harus bagaimana? Kenapa anak ini tidak jelas sekali, sih? Apa yang harus aku jawab? Aku memandang ketiga sahabatku yang lainnya dengan pasangan heran.

Sama sepertiku, ketiganya pun tak tahu. Secara serempak mereka menggelengkan kepala dan mengangkat bahu. Aku menghela napas panjang dan menatap Alea lembut.

"Kamu kalau mau minta saran. Kamu ceritakan dulu masalahnya, Le. Jangan datang-datang langsung tanya kamu harus apa," ucapku selembut mungkin seraya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.

Alea memandangku sendu. Ia menarik tisu dan menempelkannya ke hidung. Lalu membuang ingusnya dengan suara keras. Bisa kulihat Andi, Ara, dan Nadia mengernyit jijik dan mundur selangkah.

Seketika, timbul rasa jailku. "Kenapa kalian gitu? Mau cendol?" ledekku membuat ketiganya sontak menggeleng tegas. Sementara Alea tersenyum kecil karena candaanku.

Alea menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan. Aku tahu ia tengah mengatur emosinya agar tak meledak lagi. Di antara kami berlima, Alea lah yang paling emosional dan sensitif. Jadi, melihatnya seperti ini bisa dibilang adalah pemandangan yang biasa.

Yang tak biasa adalah tangisan Alea yang terdengar begitu sedih dan kalut. Aku yakin, masalah yang kini dihadapinya bukanlah masalah yang sepele.

Alea menatap kami berempat ragu seolah tengah menimbang sesuatu. Dan ini membuatku yakin 100% kalau masalah yang dihadapinya kali ini bukanlah masalah sepele.

"Kalau belum siap cerita gak apa, kok. Yang penting sekarang perasaan kamu udah lega aja," ucapku memutus kebimbangannya. Aku tak ingin dia bercerita karena terpaksa.

Aku ingin dia bercerita karena memang sudah siap. Aku akan menunggu hingga ia siap untuk membuka hatinya untukku. Kapan pun itu, akan kutunggu.

Alea menggeleng pelan. Ia menggenggam tanganku kuat. Seulas senyum tipis penuh luka ia lukiskan di wajah cantiknya.

"Aku gak tahu harus gimana. Aku gak tahu aku harus mihak siapa. Aku sayang mereka berdua. Memang aku juga yang minta mereka buat pisah aja, tapi kalau aku harus milih salah satu...." Suara Alea menghilang, air mata kembali turun membasahi pipinya.

Sekarang aku tahu apa yang tengah dibahasnya. Ini pasti masalah orang tuanya. Yang kami tahu, orang tua Alea sering berantem. Setiap hari selalu beradu kata dan tarik urat. Itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi Alea. Alea sudah sering meminta agar kedua orang tuanya berpisah saja daripada tetap bersama dan saling menyakiti.

Aku terdiam. Aku tak tahu harus menjawab apa. "Kalau kamu masih belum tahu, bagaimana kalau kamu tinggal di rumahku dulu? Aku yakin ayah dan ibuku mau menerima kamu untuk sementara. Dan bukannya kamu yang bilang? Agar kalian tetap menyimpan kenangan yang baik, maka kenangan buruk yang belum terjadi sebaiknya dihindarkan saja dengan berpisah. Aku yakin kalian akan baik-baik saja."

Aku sedikit kaget ketika kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. Alea menatapku tak percaya. Sekelebat rasa sesal menyentil ujung hatiku dan membuat jantungku berpacu dengan hebatnya.

Gawat! Sepertinya aku sudah melakukan kesalahan! Dasar Fela bego!


-----------------------------
886.04122020
Hmm...
Baru hari keempat dan aku udah mulai mabok sama keywordnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro