Merejeng (23)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. Aku tak tahu lagi apa yang tengah kulakukan saat ini. Ingin rasanya aku berbalik dan langsung melesat menuju rumah, lalu bersembunyi di balik selimut.

Memaki diriku sendiri pun tak berguna lagi sekarang. Bisa-bisanya aku mengambil keputusan seperti itu. Memang dasar aku bodoh.

"Mau makan apa?" tanya Mas Ridwan membuatku mengangkat kepala dan langsung bertubrukan dengan netra hangatnya.

Aku tersenyum tipis dan mulai mengambil lauk. Mas Ridwan pun melakukan hal yang sama. Setelah selesai makan, kami pun berpindah ke acara selanjutnya—pelemparan buket bunga pernikahan.

Tadinya aku tak ingin mengikuti sesi ini, tetapi Alea terus-menerus merengek memaksa untuk mengikutinya. Aku yang tak tahan dengan rengekkannya pun memilih untuk mengalah saja. Ia berdiri di samping Kak Daun dengan wajah berserinya. Dan aku berdiri di sebelah Mas Ridwan dengan tampang terpaksa—hampir mirip dengan ekspresi sapi yang hendak disembelih.

"Kalau kamu gak mau, kita bisa menyingkir," bisik Mas Ridwan di telingaku.

Aku sontak menoleh dan mendapatinya tersenyum nakal. Tak lupa ia mengedipkan sebelah matanya. Tak pernah kulihat ekspresi nakal itu sebelumnya hingga aku hanya bisa terpaku sesaat. Sedetik setelah aku sadar, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh ke arah kami. Kami pun merejeng benda tersebut sebelum menimpuk kami dan menimbulkan kerusakan lebih jauh.

Mataku membelalak lebar saat menyadari apa yang tengah aku dan Mas Ridwan tangkap. Sementara Alea dan beberapa pasangan lainnya bersorak gembira. Tentu saja yang paling heboh itu Alea. Benda itu, buket bunga yang dilemparkan oleh pasangan Langit dan Christy.

Aku menghela napas dalam. Bisa-bisanya aku yang ingin menghindari buket bunga itu malah menjadi orang yang mendapatkannya.

"Selamat, ya. Aku tunggu undangannya."

Seluruh darah di tubuhku menyurut begitu mendengar suara lembut itu. Aku segera berbalik dan mendapati senyum lembut yang selalu mengiringi hari-hariku beberapa tahun yang lalu. Netra berwarna coklat terang yang selalu menatap hangat itu kembali kujumpai dalam bentuk nyata.

"Ah? Oh! Selamat atas pernikahannya, Kak. Semoga langgeng sampai maut memisahkan kalian berdua. Aku turut bahagia." Aku menyodorkan tanganku dan ia menyambutnya dengan jabatan yang tegas.

"Aku harap kamu bahagia dengan dia. Dia cowok yang baik. Dia pasti bisa membahagiakan kamu. Aku yakin. Bukalah hatimu untuknya. Kamu harus bahagia, Fela," ujar Kak Langit tanpa melepas senyum manisnya.

Aku mengangguk pelan. Menarik napas dalam dan memberikan senyum terbaikku. Aku kemudian berbalik, menatap ke arah yang sama dengan Kak Langit—ke tempat di mana Mas Ridwan, Kak Daun, dan Christy tengah berbincang.

"Ayo. Biar kukenalkan," ajak Kak Langit seraya menganggukkan kepala ke arah Christy.

Mau tak mau, aku mengangguk pelan. Kami berjalan beriringan menuju mempelai wanita. Gadis itu terlihat sangat cantik dengan gaun putihnya. Kulitnya yang putih seolah menyatu dengan gaunnya. Wajahnya terlihat begitu cerah seolah ia merupakan wanita yang paling bahagia di muka bumi ini.

"Chris, kenalin. Ini Fela. Kamu ingat, 'kan? Yang biasa kuceritakan itu," ujar Kak Langit seraya menunjukku.

Christy tersenyum lebar dan mengangguk. Tanpa kusangka, ia menarikku ke dalam pelukannya. "Senang bertemu denganmu langsung," ucapnya hangat.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk dengan kikuk lantaran tak menyangka tindakannya. "Eh? Saya juga. Dan semoga Kak Langit tidak membicarakan aib saya pada Anda," ucapku dengan formal tanpa kusadari lantaran terlalu gugup.

Christy tertawa renyah. "Jangan formal gitu, ah. Kita kan teman. Bukannya atasan sama bawahan," candanya seraya memukulku pelan.


------------------------
540.22122020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro