Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gila, emang jadi penulis bisa kaya? Mimpi. Gak enak tau jadi penulis."

Cibiran demi cibiran masuk ke kuping Mesha. Bukan kali pertama, kalimat serupa sudah sering mampir dan membuat Mesha gerah. Ini bermula sejak gadis itu mengikuti sebuah komunitas kepenulisan dan menghabiskan waktu untuk menulis. Kegiatan yang membuat waktunya bersama sahabat-sahabatnya tersita. Hal yang membuat Mesha digibahin satu sekolah karena dia jadi nyaris tak pernah kumpul-kumpul lagi bareng, bahkan ke kantin saja enggan. Tentu saja itu membuat resah yang lain, karena berarti sumber kebahagiaan menghilang. Bagaimana tidak, biasanya Mesha yang paling rajin mentraktrik nyaris sekelas setiap istirahat tiba.

"Lagian ngapain sih, kayak emak-emak tau gak." Windu pun nyeletuk. Gadis imut berambut ikal itu tak mau kalah.

"Kok, kayak emak-emak gimana maksudmu?" Mesha berpikir sambil menatap bingung ke sahabat terlola-nya.

"Ya iya. Bener, kan. Emak-emak gak ada kerjaan yang hobinya nulis status curhatan gak jelas di beranda facebook."

"Dodol. Gak cuma emak-emak kali. Semua yang gabut sekarang mah pada milih nulis." Mesha membela diri.

"Nulis doang, buang-buang waktu. Orang mah cita-cita jadi dokter, kek, pramugari, kek. Ini jadi penulis ... gak banget, deh."

Alih-alih menjawab, Mesha memilih keluar kelas cepat-cepat. Mesha menggenggam buku catatan merah jambunya dan mengeluarkan ponsel dari tasnya. Dengan santai Mesha meninggalkan teman-temannya yang melongo saling berpandangan. Mesha menuju tempat ternyaman yang sudah menjadi tujuannya selama dua bulan terakhir. Perpustakaan.

Sepanjang jalan kepalanya hanya berputar-putar di pernyataan, "Memangnya jadi penulis bisa kaya?"

Dengan mantap penuh keyakinan, Mesha bertekad akan membuktikan, bahwa pilihannya menulis tidak salah. Meski pilihannya ditentang para sahabat, apalagi kedua orang tuanya.

Bruuk.

"Aw. Maaf," ujar Mesha sambil menunduk mengambil buku catatan yang terlepas dari genggaman saat tertubruk.

"Eeh, maaf, saya yang tak sengaja menubrukmu." Suara laki-laki membuat Mesha mendongakkan kepalanya. Segera Mesha berdiri dan merapikan rok sekolahnya yang terlipat saat dia menunduk tadi.

Mesha menatap heran laki-laki di hadapannya. "Kamu ... murid baru?" tanya Mesha ragu-ragu, sebab cowok di depannya itu tak tampak seperti seorang siswa. Wajahnya ... agak sedikit dewasa dari usia anak sekolah menengah atas.

Laki-laki itu menggeleng. "Bukan. Tapi saya memang baru di sini. Baru hari ini saya masuk."

"Masuk?"

"Ya, saya bekerja di sini. Sementara. Jadi selamat datang di Perpustakaan SMU Bintang Terang," ujar laki-laki berwajah oriental itu sembari mempersilakan Mesha masuk.

Mesha tersenyum ramah. "Wah, sepertinya perpustakaan sekolah ini akan lebih sering dikunjungi pelajar setelah tahu siapa yang jadi penjaganya sekarang."

"Eh, apa? Apa katamu?"

Mesha menggeleng. "Bukan apa-apa. Semoga betah menjaga perpustakaan yang nyaris tak ada pengunjungnya, ya," ujar Mesha sambil tertawa kecil.

"Oh ya, kenalkan, saya Bumi Aksara, hobi baca buku dan menulis."

Mesha tersentak. "Sebentar, siapa tadi? Bumi Aksara? Kamu ... penulis yang suka nulis-nulis, eh, penulis yang terkenal di twitter dan facebook itu?" Mesha menangkupkan mulutnya dengan sebelah tangan.

Laki-laki di hadapannya mengangguk, mengiyakan.

"Ya, itu saya."

Mesha ikut mengangguk-angguk juga. "Salam kenal," ujar Mesha seraya menyodorkan jemarinya. "Saya ngefans banget dengan tulisan-tulisan kamu. Eh, rasanya gak sopan saya memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan kamu. Mas Bumi, salam kenal sekali lagi. Saya Mesha. Suka baca dan bercita-cita jadi penulis. Mohon bantuannya."

Bumi tertawa melihat sikap Mesha yang super sopan sambil menundukkan setengah badannya seperti orang Jepang jika memberi salam.

"Salam kenal juga. Sudah, selama menikmati waktu membacamu. Saya tinggal dulu, ada yang harus saya selesaikan di ruang kepala sekolah. Selamat membaca."

Bumi meninggalkan Mesha yang tampak terpesona dengan kehadirannya. Sementara Mesha, tak berpaling sampai punggung Bumi tak terlihat di pandangannya.

Mesha seperti memupuk harapan baru. Akan lebih mudah jalannya menjadi penulis, jika memiliki teman yang memang seorang penulis. Begitu pikirnya.

Mulai hari ini Mesha berjanji akan lebih rajin ke perpustakaan. Bila sebelumnya dia menulis sesekali di ruang kelas, kali ini Mesha memilih akan selalu ke perpustakaan. Paling tidak dia punya jawaban atas segala pertanyaan seputar dunia tulis menulis langsung pada sumbernya.

Sementara itu ...

Bumi memelankan langkahnya ketika dirasa sudah cukup jauh dari jarak pandang gadis yang pasti sedang menatapnya dari pintu perpustakaan. Lelaki itu mengelus dadanya yang sedari tadi ditahan degupnya agar tidak terdengar oleh Mesha.

"Akhirnya, kumenemukanmu, Mesh,"ujar Bumi lirih sembari tersenyum tipis.

"Hari-hari kini tak lagi sama seperti sebelumnya, Mesh. Terima kasih, Tuhan, akhirnya waktu ini tiba."

Bumi pun kembali melangkah dengan mantap menuju ruang kepala sekolah. Semangatnya makin membara. Tidak salah pilihannya ketika memutuskan menginjakkan kaki ke sekolah ini. Sebab Bumi kini telah menemukan Mesha, cinta pertama masa kecilnya dulu. Cinta yang membuatnya menjadi seorang penulis. Cinta yang tumbuh dalam diam.

Bumi Aksara

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro