Chapter 13 - Gwyllgi Race

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Tersedia di Gramedia

IG @Benitobonita

Pesan online 081219457018 dan dapatkan diskon 20 persen + bonus

Jalur terdekat dan teraman yang menuju perbatasan antara Negara Claxis dan Negara Puerro adalah bersinggungan dengan daerah kekuasaan siluman anjing neraka yang berada di hutan kabut.

Satu peleton tentara infanteri Puerro --yang terdiri dari 50 orang menghunuskan pedang berbilah lebar-- dipimpin oleh Sir Paul mengambil posisi siaga dalam formasi kotak.

Laki-laki berumur 20 tahun yang berada di dalam formasi sebagai pusat komando, duduk tegak diatas tunggangannya dan mengamati sekeliling. Ibu Suci Lana telah memberikan pertanda dalam mimpi sang pendeta. Singa yang mewarisi pedang langit akan datang dari negara itu dan Raja Charles memberikan kepercayaan kepadanya untuk menjemput sang ksatria.

Mereka sengaja melewati daerah ini pada siang hari. Siluman anjing neraka senang melakukan penyergapan pada malam hari. Bulu hitam makhluk terkutuk itu menyulitkan korbannya untuk menyadari bahaya hingga terlambat.

Suhu di dekat hutan kabut memang lebih rendah dibanding tempat lain. Beberapa tentara muda menggenggam senjata dan tameng dengan gemetar. Kerajaan menahan tentara terbaik untuk melindungi istana. Menyisakan para prajurit tidak berpengalaman di bawah komandonya.

Lolongan tanda perang telah diserukan oleh Ras Gwyllgi beberapa saat yang lalu. Dari kabut tipis yang menari di udara muncul 15 binatang anjing raksasa sebesar seekor anak sapi mulai mengepung. Mata kuning keemasan mereka mengamati para tentara dengan ekspresi buas. Rintih ketakutan terlepas dari bibir seorang tentara.

Sir Paul mengertakkan gigi. Seandainya si pengecut itu tidak terbunuh hari ini, dia sendiri yang akan menebas lehernya. Pria berambut pirang yang memakai baju zirah berlambang Puerro -pada bagian dada untuk menutupi tunik panjang birunya-- menarik pedang berbilah lebar dengan gagang salib --senjata khas tentara Puerro-- yang berlambang ular emas lalu berteriak nyaring, "Tentara Puerro! Posisi bertahan!"

20 dari 50 orang prajurit --berseragam biru berbahan tunik tebal dengan lempeng zirah pada dada dan helm besi-- segera mundur ketika jajaran depan merapatkan diri dan membentuk dua baris. Mereka sedikit menekuk kedua lutut dan agak membungkuk.

Salah satu siluman yang berukuran paling besar melangkah paling depan dari sisi utara. Manik biru Sir Paul melihat kesempatan. Tugasnya kali ini bukan untuk membasmi para monster. Namun, menjemput sang pahlawan dan memandunya kembali ke istana. Barisan pertama adalah tentara yang tidak berpengalaman. Prajurit andalannya berada di bagian dalam formasi.

Suara geraman terdengar dari para anjing neraka yang memamerkan taring tajam mereka. Hanya 2 ekor yang menghalangi jalan menuju perbatasan Claxis. Pria yang memakai helm model tiga per empat menyeringai. Mengorbankan sedikit prajurit amatir demi menyelamatkan tentara pilihan bukanlah rencana yang buruk.

"Tentara Puerro!" Seru Sir Paul mulai mengatur strategi. "Baris dua! Formasi panah barat!"

20 prajutit pilihan dengan dirinya pada bagian ekor segera membentuk barisan menyerupai anak panah. Siluman anjing neraka semakin mendekat hingga berjarak tinggal beberapa meter, sebelum dia berteriak, " Lapisan pertama, Serang!"

Barisan pertama yang membentuk formasi kotak segera berlari menyambut terjangan para siluman.  1 banding 2. Ketika mereka saling menyerang, Sir Paul segera memberi perintah lain. "Lapisan kedua! Menuju perbatasan!"

Formasi panah raksasa itu segera berlari menerobos. 8 tentara terkuat berada di ujung sebagai pembuka jalan. Jerit kematian terdengar dari para prajurit yang tewas satu demi satu dengan leher terkoyak ketika Sir Paul beserta prajurit pilihannya telah berhasil meninggalkan tempat itu.

*****

Dalam cahaya matahari sore 15 ekor siluman bertransformasi mengambil wujud manusia. Bulu hitam mereka rebah menyatu kembali dengan kulit yang berwarna cokelat muda. Moncong semakin menyusut, menyisakan wajah laki-laki berahang tegas dengan rambut emas sepanjang bahu.

Para manusia siluman itu memiliki tinggi rata-rata 200 cm. Dada mereka bidang, berbahu lebar, dengan otot pada bagian lengan, paha, dan perut. Salah satu laki-laki yang memiliki tubuh luar biasa kekar, menatap jijik ke arah tumpukan mayat. Dia meludah dan menggunakan punggung tangan untuk menyeka darah korban dari bibirnya.

"Wolfram, apa yang akan kita lakukan sekarang?" Salah satu laki-laki yang memiliki luka permanen pada pipi kiri berjalan mendekat sambil menyerahkan selembar kain biru.

Pemimpin Ras Gwyllgi meraih dan mengikat benda itu dipinggang untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Kening pria itu berkerut. "Pemimpin pasukan mengorbankan sebagian tentaranya. Dia merencanakan sesuatu."

"Apa maksudmu?" tanya pria lain yang memiliki janggut pendek ikut mendekat.

Wolfram menarik napas. Aroma rumput bercampur anyirnya darah terhirup oleh penciumannya yang tajam. "Nehnar, Xelo, kita pergi. Aku ingin memeriksa kondisi sekitar."

"Yang lain! Bakar bangkai mereka! Aku tidak mau hutan kita tercemar oleh bau busuk daging manusia!"

Dua belas anggota Ras Gwyllgi lainnya segera mematuhi perintah pimpinan mereka saat Wolfram bersama kedua orang terbaiknya berjalan mengikuti jejak ksatria yang melarikan diri.

*****

Pierre mendongak mengamati kuil yang berada di dalam desa yang tidak jauh dari daerah Crambery yang merupakan bagian Kota Richister.

Tetesan darah merah masih mengalir turun dari pedang hitam yang ada dalam genggaman tangan pria itu. Jeritan kesakitan dan ketakutan dari penduduk yang menjadi santapan mayat hidup seakan tidak terdengar olehnya. Manik birunya terpusat pada tiga buah patung yang berada di atas bangunan atap bangunan.

Perlahan bibir Pierre membentuk senyum. Kuil suci. Hanya manusia yang memiliki darah murni yang layak untuk menginjakkan kaki di dalam bangunan itu. Omong kosong.

Pria itu mulai melangkah menaiki undakan tangga putih menuju pintu kuil. Suara geraman bangkai berjalan dan teriakan para korban terdengar bagai musik di telinganya.

Pierre menyentuh pintu bangunan suci dengan jemari tangan kiri. Sengatan ringan dirasakan oleh permukaan kulit pria itu. Ibu Suci Lana menolak masuknya sang pendosa.

Sinar hijau menyelubungi telapak tangan pria itu dan pintu terdorong seketika. Lima orang perempuan yang mendapatkan anugerah sebagai pelayan suci gemetar dan mundur ketakutan. Berusaha bersembunyi di balik altar pemujaan.

Pierre melangkah masuk dan membawa serta jejak darah dari pedang hitamnya. Manik birunya mengamati bangunan dengan tertarik. Sama seperti tempat suci lainnya. Mereka menggunakan bahan terbaik. Lantai marmer yang memantulkan bayangan. Dinding kokoh juga empat pilar penopang langit-langit yang dihiasi berbagai gambar pemujaan.

Pria itu berdiri di depan meja persembahan dengan tiga buah patung raksasa di belakangnya. Mata Pierre mengamati berbagai sesajen --daging panggang binatang hingga kembang warna-warni-- yang tertata rapi di atasnya sebelum dirinya bersimpuh dengan menopang kedua lutut pada bantal biru yang disediakan di atas lantai.

Sang penyihir meletakkan senjatanya yang masih basah oleh cairan merah kental di atas lantai lalu dia menundukkan kepala dan berbisik dengan mata tertutup. "Ibu Suci Lana. Aku salah satu putramu ingin memberikan persembahan sebagai baktiku kepadamu."

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

12 Maret 2018

Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro