8. Kaku Ati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kamboja ingin kabur.

Ini sudah lewat dua minggu. Segala persiapan telah matang, tinggal menjalankan aksi sesuai rencana. Keinginan untuk keluar dari desa muncul sejak si wanita terbangun di kamar milik Kepala Desa, siuman tanpa memiliki ingatan apa pun tentang bagaimana bisa berada di situ. Dia merasa, apabila keluar dari desa, mungkin saja ingatannya dapat kembali.

Kepala Desa menjelaskan segala sesuatu mengenai desa, yang hampir seluruhnya merupakan hal-hal di luar akal serta berisi pantangan. Dia juga memberi nama si wanita, memperkenalkan kepada para warga, juga menyediakan tempat menginap. Wanita itu seharusnya merasa betah, tetapi entah mengapa selalu terbesit perasaan ganjil nan mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan desa ini.

Selalu ada yang mengawasi setiap kali dia bepergian ke mana pun di desa ini. Ketika melewati kebun, selalu ada yang mengawasi dari dahan. Saat melalui hutan, selalu ada yang mengawasi dari balik pohon. Masa berada di rumah inap, selalu ada yang mengawasi dari balik tembok, pintu, jendela, atau langit-langit. Kala di dalam kelas, selalu ada yang mengawasi dari segala penjuru. Sesuatu yang mengawasi itu, kadang-kadang membentuk siluet yang tidak bisa dipahami.

Selama dwipekan berlangsung, si wanita menyusun strategi, merancang plan guna kabur dari desa. Mula-mula, dia perlu mencari tahu seluk-beluk desa ini dari arsip-arsip yang ada di balai desa. Informasi tambahan dari para sesepuh desa juga diperlukan sebagai pendukung--dia bisa memanfaatkan keramahan mereka untuk menggali informasi. Berikutnya, dia harus membuat rute pelarian paling aman dan efektif. Maka, dia sering-sering berkeliling desa dengan alasan ingin jalan-jalan, sambil membawa kamera serta buku catatan.

Pembuatan rute pelarian dan pengumpulan perlengkapan bertahan hidup memakan waktu lebih dari empat belas hari. Seharusnya tinggal menghitung hari bagi si wanita untuk memulai rencana: Nanti pada hari H, persiapkan jubah supaya tidak ketahuan, membawa barang seperlunya, mengambil waktu malam hari, juga titik mulai di dekat hutan.

Namun, rencananya gagal.

Seminggu berlangsung, tiba-tiba seorang anak perempuan datang, mengaku sebagai pelindung atau apalah. Anak itu menguntit, selalu ikut campur ketika si wanita ingin mengumpulkan informasi dan menyusun strategi. Ya, selama beberapa hari ini anak tersebut mengintervensi, interupsinya sangat mengganggu sehingga si wanita menjadi kesulitan menjalankan rencana.

Sehingga, rencananya gagal--

Tidak, belum. Masih ada harapan untuk berhasil. Jika rencana cadangan ini berjalan mulus, maka si wanita bisa sukses keluar dari desa terkutuk ini.

***

Kambodja mengangkat batu besar. Dia hantamkan benda itu kuat-kuat hingga membentur ubun-ubun si anak. Tidak sampai pendarahan luar, tetapi cukup untuk mencetak memar, membuat si anak jatuh pingsan.

“Maaf, ya, tapi kamu mengganggu rencanaku untuk kabur dari sini ….”

Wanita itu memandang dengan muka geram, tetapi tampak tidak terlalu menyesali perbuatannya. Sebab, dia merasa tak melakukan kejahatan. Ini semua demi keberhasilan rencana melarikan diri.

Kambodja mencampakkan batu sebarang, kemudian mengeluarkan tali tambang dari dalam tas. Dia mengangkat tubuh si anak yang tak sadarkan diri itu, menyandarkannya pada batang pohon terdekat. Wanita tersebut berikutnya membebat tali, melilit badan si anak dan batang pohon, beberapa putaran, hingga terikat kencang. Tak lupa dia pula membelit pergelangan tangan serta kakinya. Sesudah itu, memasang pita perekat pada mulutnya.

Langit menjelang senja kala. Pilar-pilar cahaya yang menembus dahan, satu per satu awawujud, memburam lalu sirna, digantikan oleh kegelapan hitam gelita. Suara kepakan mirip burung ganjil mulai terdengar di sana-sini, diikuti kicau kacau yang memenuhi pendengaran. Tidak terlihat apa pun di sekeliling selain batang pohon dan semak-semak.

Seorang wanita lari tunggang-langgang di antara batang pepohonan, menyibak semak-semak pula menyisiri rerumputan tinggi. Kadang kala dahan tumbuh merunduk hingga memblokir jalan, membuat wanita itu harus memutar arah, mencari jalur lain. Sepatu olahraganya sesekali menginjak ranting dan menghasilkan bunyi patahan.

Kambodja tidak tahu harus berbebar ke mana, yang penting bisa menjauh dari desa. Ketika gelap merajalela dan membutakan arah, Kambodja tersandung batu. Namun, dia segera bangkit walau luka lecet menghiasi kulit serta debu menodai pakaian. Tidak ada apa-apa di depan selain kegelapan. Meski demikian, Kambodja tetap berlari.

Lusuh sudah kemeja pula rok, peluh bercucuran dari dahi juga leher, tetapi Kambodja tak gentar. Wanita itu tidak mau menyerah begitu saja. Tenang saja, belum ada suara langkah kaki warga yang mengejar. Jika terus berlari menjauh seperti ini, pasti dia berhasil keluar dari desa.

Kala kelelahan telah mencapai titik maksimum, sementara cadangan energi mencapai titik minimum, keputusasaan merenggut alam sadarnya. Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam kepala, saling berebut untuk menyesatkan visual yang ditangkap Kambodja. Si wanita sudah tidak bisa membedakan mana kenyataan mana khayalan. Semuanya memburam di matanya.

Kambodja mendapati siluet raksasa semacam pohon mati di cakrawala, tiba-tiba siluet tersebut hancur berkeping-keping, dan tiap-tiap keping berpencar kian kemari, terbang atau melata, kemudian lenyap dimakan alam.

Tenggelam dalam kubangan penuh rasa putus asa, tubuh Kambodja lejar dengan cepat. Muka lelah dia tampakkan, gerakan lari yang tak karuan dia lakukan. Bak organisme sibernetika yang kehabisan tenaga, tetapi masih bisa bergerak dengan perintah otomatis.

Namun, celah harapan berhasil mennyelamatkannya dari kubangan putus asa. Masa Kambodja sayup-sayup menampak beberapa batang pohon yang eksentrik; dibungkus oleh kain yang familier, tetapi sulit dikenali. Sudah dekat dan hampir terlampau, rupanya itu adalah kain poleng, bermotif kotak-kotak dengan warna hitam dan putih berselang-seling.

Kambodja menjadi bergairah. Apakah ini artinya telah melewati batas desa? Entahlah, yang penting dia tahu dia harus terus berlari, sebelum para warga menyusul dan menangkapnya.

Ya Tuhan, segera keluarkan aku dari sini!

Doanya segera terkabulkan, bisa jadi. Netra si wanita terbelalak seketika, menangkap lamat-lamat sejumlah bangunan rumah pada kejauhan. Rumah-rumah tersebut mirip yang ada pada desa biasa, lampu menyala dari dalam, serta teras, juga jalanan. Ini adalah permukiman!

Kambodja bersyukur bukan main. Ingin dia berteriak sekencang-kencangnya, tetapi apa daya napasnya ngos-ngosan, tenaga sudah di ambang batas. Sesampai di jalan antara rumah-rumah, si wanita merasakan keganjilan. Perlahan laju lari dia kurangi, lambat laun menjadi langkah biasa yang agak cepat. Keheningan menguasai lingkungan sekeliling.

Apa yang terjadi?

Sebuah bangunan lumayan tinggi pula besar menarik perhatian. Mumpung sudah berada di halaman bangunan itu, Kambodja memutuskan untuk mencari tahu dengan masuk ke dalam. Mulanya terdapat lorong gelap, kemudian menjadi terang ketika terdapat pintu yang terbuka, menuju suatu ruangan.

Kambodja terlalu terkejut untuk bisa berteriak atau bergerak refleks. Apa yang dia lihat benar-benar jauh dari pemikirannya. Dari ambang pintu, tampak ruangan luas yang berisi perabotan rumah sederhana. Beberapa orang duduk di sofa, atau di atas tikar, atau bersandar pada dinding, dengan muka tertutup topeng. Mereka semua tak ada yang bergerak, bangkit atau sekadar menoleh karena menjumpai orang asing masuk ke kediaman.

Mereka tak merespons sama sekali!

Namun, perut juga dada mereka masih melakukan inspirasi dan ekspirasi normal.

Apa yang terjadi? Mengapa orang-orang ini mengenakan topeng? Terlebih lagi, mengapa mereka seperti orang yang tak sadarkan diri?

Ini … apa jangan-jangan Kambodja kembali lagi ke Desa Soco yang terkutuk?!

Belum selesai keterkejutan Kambodja, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari pintu depan, diiringi derap langkah kaki nan ramai.

Seorang pria berkepala botak tampak memimpin beberapa pria lain yang bertopeng. Mereka beradu di koridor bangunan. Sulit dipercaya, wajah orang itu tidak asing lagi bagi Kambodja. Kepala Desa.

“Di sini kamu rupanya, Nak. Kami semua mencarimu. Harusnya kamu ikut ke pasar malam dan bersenang-senang di sana. Kamu itu pemeran penting untuk acara ini.”

Kepala Desa memperhatikan raut ngeri Kambodja nan menentangnya, yang masih belum beranjak dari ambang ruangan.

“Oh, mereka? Mereka itu orang-orang yang memilih tidak mengikuti sedekah desa, karena sudah ada perwakilan. Gawat, kan, kalau banyak orang bersesak-sesakan di lapangan desa yang sempit?”

Kepala Desa menepuk tangan kecil, kemudian beberapa pria menghampiri Kambodja. “Ya sudah, ayo, kita berangkat.” Para pria itu menuntun si wanita yang masih syok, membawa keluar dengan sedikit paksaan.

Di halaman, sudah ada seorang anak bertopeng yang menunggu dengan senang. Kedua lengannya menangkup di depan dada, kesepuluh jari saling bertautan. Samar-samar, tampak bekas garis lebam di pergelangan tangan.

“Mbak Kambodja ….”

###

7 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro