Bab 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mendengar dari Menik yang sengaja mencari tahu informasi dari rumah utama, Santika mengamuk dan bahkan menghancurkan isi rumah. Semua pajangan dari guci, kaca, dan sebagainya hancur karena kemarahan Santika. Tidak hanya itu, orang-orang juga menjadi sasaran kemarahannya. Memukul beberap pembantu, memecat tukang taman yang tidak bersalah, dan mengusir orang-orang yang dianggap menganggunya. Aku mendengarkan cerita Menik dengan takut, membayangkan kemarahan Jagad.

Waktu berlalu, sore menjadi malam dan seiring dengan berjalannya hari, perasaan makin tidak menentu. Karena terlalu tegang dan bisa jadi takut, membuat perut mual dan akhirnya aku munta terus menerus. Untung ada Menik yang menjagaku, kalau tidak entah apa yang akan terjadi.

Saat Jagad datang aku baru saja kembali dari kamar mandi entah untuk kesekian lamanya. Melihatku dalam keadaan pucat dan lemas, laki-laki itu menyuruh orang memanggil mantri. Aku tidak bisa mengatakan apa apa padanya dan hanya bisa pasrah saat mantri memasang infus di lengan.

"Saya akan berikan vitamin, Ndoro. Mbak Bening sepertinya mengalami perasaan trauma atau terlalu lelah juga mungkin."

Sepanjang Jagad bicara dengan mantri aku hanya mendengarnya setengah terpejam. Setelah infus habis, tubuhk menjadi sedikit lebih segar dan aku bisa duduk di ranjang.

"Ndoro, maaf, ndak bisa menyambut," ucapku lirih.

Jagad menghampiri ranjang, duduk di sebelahku dan mengulurkan tangan. Untuk sesaat aku mengira sebuah tamparan akan datang, tapi ternyata dugaanku salah. Laki-laki itu membelai lembut rambutku.

"Kenapa bisa lemas begitu? Menik bilang kamu muntah-muntah."

Aku tersenyum muram. "Sepertinya ndak enak badan, Ndoro."

Laki-laki itu menghela napas panjang, menatapku dengan pandangan tajam. "Aku baru kembali dari luar kota saat melihat rumah utama berantakan. Apa benar kamu bertemu Santika?"

Perasaan takut menggelayut dalam dada dan dengan pasrah aku mengangguk. "Maaf, Ndoro. Sebenarnya kami ndak sengaja."

"Ndak usah nangis, Menik sudah cerita. Katanya kamu nyidam mangga di halaman utama. Pohon mana yang kamu mau?"

Aku tercengang, bingung mendengar perkataan halusnya. Meneguk ludah, aku mengerjap. "Po-hon dekat gerbang belakang."

"Lain kali jangan ke sana sendir, biar aku suruh orang untuk metikin."

"Te-terima kasih, Ndoro."

Jagad tetap duduk di samping ranjang dan wajahnya terlihat gundah. Mengusap ujung hidungnya yang mancung. Sepertinya laki-laki itu banyak tekanan. Entah keberanian dari mana, aku bertanya padanya.

"Ndoro, apa Nyonya marah?"

"Iyaa, mengamuk. Mengatakan aku sengaja menyembunyikan kehamilanmu. Padahal aku hanya mengikuti nasehat para orang tua yang ndak boleh ngomong-ngomong dulu sebelum tiga bulan. Tapi, aku tahu napa dia marah. Pasti dia takut tersisih karena aku akan lebih perhatian padamu dari pada sama dia."

Kata-kata Jagad membuatku tidak mengerti. Bagian mana yang menunjukkan kalau laki-laki itu lebih perhatian padaku? Memang Jagad menjadi lebih lembut, memberiku uang dan sebagainya. Apakah itu yang dinamakan perhatian yang lebih baik?

Kalau dipikir-pikir, setelah tahu aku hamil Jagad sama sekali tidak menyentuhku. Tidak ingin meniduriku. Mungkin bagi laki-laki itu anak dalam kandunganku lebih penting dari nafsunya. Dia tidak akan mengorbankan hal itu hanya demi kesenangan pribadi.

"Kamu ndak usah takut, Bening. Aku sudah bicara sama istriku, sekarang dia mengerti kalau kandunganmu harus dijaga. Karena anak ini kelak akan menjadi pewaris. Aku juga membangun rumah baru untukmu, tunggu selesai kamu pindah ke sana. Lebih besar, halaman luas, dan akan banyak pembantu yang merawatmu."

Aku terbelalak mendengarnya. Sebuah rumah yang besar sedang dibangun?

"Di mana tempatnya, Ndoro?"

"Tidak jauh dari sini, samping rumah utama. Sebenarnya tempat itu dulunya rumah untuk tamu menginap. Tapi aku berpikir akan lebih baik kalau kamu yang menempatinya."

Aku bergidik seketika, membayangkan akan bertemu Santika setiap hari kalau posisi rumah kami berdekatan.

"Ndoro, bo-lehkan saya tetap tinggal di sini? Saya suka di sini."

Jagad menolak permintaanku tentu saja. Dengan dalih ingin sudah kerasa di sini, aku tidak mau dekat dengan Santika. Kami tidak cocok, ditambah dengan Santika yang iri dengan kehamilanku. Tidak sanggup harus terus bertikai setiap hari dengan perempuan yang membenci.

"Bening, kamu ndak boleh nolak. Harus ikuti apa mauku."

Kata-kata Jagad adalah final yang tidak dapat ditolak. Aku pun akhirnya menyerah dan memilih untuk bungkam. Percuma melawan karena Jagad pasti tidak akan membiarkan diriku lepas dari pengawasannya. Aku tahu kenapa dia memintaku tinggal di rumah besar itu, bukan karena mencintai atau menyayangiku tapi ingin mengawasiku. Tidak ada jalan lain, dengan terpaksa menerima.

Selama rumah itu dibuat, aku tetap tinggal di kamar. Kali ini bukan hanya Menik yang menemaniku tapi ditambah seorang gadis belia. Berumur kurang lebih 12 tahun, gadis yang tidak lulus SD itu bernama Lasmi. Berambut keriting dengan kulit sawo matang, Lasmi bekerja di rumah Jagad karena orang tuanya tidak mampu membayar utang. Jadi selama dua tahun Lasmi akan bekerja tanpa dibayar sepeserpun, hanya mendapatkan makan dan minum secukupnya. Pakaiannya pun sudah lusuh dan compang camping. Hati treyuh melihatnya.

"Lasmi, karena Mbak Bening ndak ada kamar lagi di sini. Sementara kamu tidur sama yang lain. Nanti kalau Mbak Bening sudah pindah, kamu tidur sama aku."

Kata-kata Menik membuat gadis kecil itu menangguk. Wajah polosnya menunjukkan ketakutan. Menik mengatakan, kalau pembantu lain sering memarahi Lasmi yang baru datang dua Minggu karena belum bisa bekerja. Aku bingung, kenapa nasip para perempuan muda dari keluarga miskin seperti kami harus tragis.

Aku meminta Menik mengajari Lasmi pelan-pelan, bagaimana cara mencuci piring, menyapu, dan mengelap kaca yang benar. Tidak perlu marah kalau membuat kesalahan, cukup ditegur saja. Aku berpikir akan membelikannya kaos obral kalau nanti ke pasar, dengan begitu tidak selalu memakai baju bolong-bolong.

"Mbak, dapat kiriman mangga dari Ndoro!"

Menik berlari menyeberangi halaman suatu siang dan membawa sebakul mangga muda untukku.

"Mau dibuatin sambel, Mbak?"

Aku menggeleng. "Ndak usah, pakai garam aja cukup."

Mangga muda menjadi makanan yang enak untukku, padahal biasanya aku tidak suka karena terlalu asam. Menik dan Lasmi menemaniku makan mangga di teras, berbagi cerita dan aku senang karena menambah saudara.

Lengkingan kemarahan membuat kami berjengit. Dari arah halaman utama, seorang gadis berlari dengan rambut awut-awutan dan pakaian robek. Aku bangkit dan siap menolong saat Santika muncul di belakang gadis itu dan menjambak rambutnya.

"Gadis kurang ajar! Udah tahu miskin, malah mencuri. Berani kamu mencuri uangku, hah!"

Gadis itu tersungkur ke tanah dengan Santika menduduki dadanya dan menampar berkali-kali.

"Brengsek kamu! Kurang ajar! Gembel miskin!"

Yang melera adalah Jagad. Baru datang entah dari mana, menarik tangan istrinya. "Buu, kamu mau membunuhnya?"

"Jangan ikut campur, Pak. Dia berani nyolong!"

"Tetap saja ndak boleh main hakim sendiri. Lepaskan dia!"

"Ndaak, aku mau matiin dia!"

Jagad marah, mencoba menasehati istrinya tapi tidak digubris. Santika sepetti orang kesetanan, terus memukul tiada henti dan membuat gadis di bawahnya tidak berhenti melolong. Tanpa diduga, Jagad menyentakkan tubuh istrinya dan melayangkan pukulan keras di pipi yang membuat semua orang terhenyak.
.
.
.
Di Karyakarsa sudah ending.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro