Bab 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rasanya seperti ada yang hilang dari dalam diriku, saat jemariku bergetar mengusap perut yang kini rata. Segala rencana, harapan, serta angan-angan yang semula kucurahkan untuk bayi dalam kandungan, kini menguap dalam kehampaan. Jiwa mati, raga terbujur tak berdaya, dan hati kosong ibarat cangkang tanpa isi. Terbiasa hidup sendiri, melawan semua kekerasan, dan berjuang untuk tetap berdiri di atas kaki, dengan adanya anak aku tidak lagi kesepian. Ada secercah cahaya yang menyinari hidup, membuatku mampu berjuang dalam kondisi apa pun. Kini, aku kehilang satu-satunya pegangan dalam hidup dan itu adalah anakku.

Air mata mengalir tiada henti saat mengingat anakku. Napas tersengal menahan tangis dan aku merasa kalau mataku membengkak. Menik dengan kuatir terus menerus menghibur dan mengolesi tubuhku dengan minyak kayu putih. Berharap hangatnya minyak itu mampu membuatku tenang. Tidak banyak berpengaruh, karena seluruh tubuh dari mulai wajah hingga kaki semua terasa dingin. Aku menggigil, Menik menangis dan lamat-lamat melantunkan doa. Berharap aku mendengarnya dan ikut berdoa bersama.

Apakah aku masih percaya Tuhan setelah semua yang aku rasakan? Apakah Tuhan benar masih ada saat aku terjungkal, dijual, dan bahkan tidak berdaya karena bayiku mati. Apakah Tuhan masih berbelas kasih padaku? Hambanya yang hina dan berlumur dosa ini. Mungkin ini adalah cara Tuhan menegur, untuk mengubah diriku menjadi perempuan yang lebih baik lagi. Dalam sejuta penyangkalan akan penderitaan yang seolah tidak bertepi, aku menyimpan harapan akan kehidupan.

Sialnya, harapan yang sedikit suram itu mati saat suamiku yang jahat dan berkuasa itu muncul. Tidak terima kalau bayi yang aku kandung mati, Jagad mengamuk. Memaki dokter dan perawat dan terakhir memarahiku, seolah salahku maka bayi itu tidak dapat dilahirkan ke dunia.

"Dasar ibu bodoh! Bisa-bisanya kamu ndak jaga kandungan. Bisa-bisanya kamu makan dan minum sembarangan!"

Terdengar gebrakan di jendela dan aku memejam, merasakan kemarahan menyelubungi kamar tempatku dirawat.

"Dokter dan perawat juga bodoh. Tanpa menunggu persetujuanku, mereka menguretmu. Mengeluarkan anakku dan lebih memilihmu. Brengsek! Aku menunggu bertahun-tahun untuk bisa punya anak, saat sudah di depan mata dan sebentar lagi aku menggendongnya, kamu membunuh bayiku, Bening!"

Tidak ada yang bisa menahan saat Jagad marah. Laki-laki itu menghampiri ranjang tempatku berbaring dan mencekikku. Dalam buram air mata aku melihat matanya melotot. Rintihan Menik terdengar menyayat dari samping. Memohon agar Jagad tidak marah dan menganiayaku. Sejujurnya aku tidak peduli, rela kalau sekarang pun harus mati di tangan laki-laki itu. Sepertinya nyawaku tidak cukup berharga dan akan lebih baik kalau aku mati, bisa bertemu ibu dan juga anakku.

"Harusnya, kamu mati saja Bening. Harusnya dokter membelah perutmu dan mengeluarkan anakku! Sialan! Brengsek!"

Aku tersengal saat tekanan di leher makin kuat. Napas terasa pendek dengan air mata berlinang. Tidak membela diri apalagi berusaha untuk lepas. Pasrah dengan apa yang terjadi, tidak mengindahkan rasa sakit dan bersiap mati.

"Ndoroo! Eling, Ndoro. Ingaaat! Ini dosaaa! Mbak Bening sedang sakit, Ndoro. Sama saja seperti pembunuhan kalau Mbak Bening mati."

Suara Sutrisno terdengar keras dari samping.

"Diam kamu! Jangan ikut campur!"

"Ndoro, tolong. Jangan sampai Ndoro masuk penjara gara-gara ini. Ndoroo! Mbak Bening kesakitan!"

Terdengar suara-suara dan gemuruh langkah kaki. Ada banyak orang di sampingku dan kini memoho agar Jagad melepasku. Untuk apa mereka bersusah payah membantuku kalau diriku sendiri sudah tidak ada keinginan untuk hidup lagi.

Secara perlahan, cekikan dan tekanan di leherku mengendur lalu terlepas. Aku terbangun dan tersengal, terbatuk-batuk dengan cepat dan keras. Leherku sakit, mata buram, dan wajah panas. Menik mengusap punggung dan berusaha menenangkanku. Setelah berhasil menguasai diri, aku membuka mata. Melalui pandangan yang buram, aku berhadapan dengan Jagad. Laki-laki yang berstatus suami itu, terlihat mengerikan dalam keadaan marah. Jagad melotot, saat melihatku menangis sambil memandangnya. Sebuah tamparan melayang di pipiku dan membuatku kembali terpental ke ranjang.

"Betina kurang ajar! Harusnya mati saja!"

Jagad bergegas pergi diikuti oleh orang-orangnya. Sutrisno mendekat dan laki-laki yang terbiasa bicara serta bersikap keras itu, bersimpuh sambil menangis di ujung ranjang.

"Mbak Bening, harus tetap kuat. Jangan patah semangat, demi Simbah."

"Nggih, Mbak. Ayo, sembuh. Jangan terus menerus murung." Kali ini Menik yang bicara.

Mereka berdua adalah orang yang terdekat denganku saat ini. Mereka pula yang menangisi kemalangan serta kesialanku. Tanpa mereka, entah apa jadinya aku ini. Sutrisno benar, ada Simbah yang masih hidup. Aku harus tetap sehat, kuat, dan hidup untuk Simbah. Siapa tahu, suatu hari nanti aku bisa bertemu dengan orang tua itu. Harapanku satu-satunya hanya Simbah seorang.

Dokter dan perawat kembali datang memeriksa. Infus dipasang dan aku dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Selama beberapa hari di sini, Jagad tidak lagi datang. Aku bersyukur, dengan begitu tidak ada lagi orang yang membuatku takut. Kemarahan Jagad tanpa sadar memberikan kengerian dalam diriku. Padahal bukan salahku kalau sampai bayiku mati. Siapa pun tahu, aku bahkan lebih menyayangi anakku dibandingkan orang lain, bahkan Jagad sekalipun.

"Mbak Bening masih muda. Masih banyak waktu untuk hamil dan punya anak," hibur Menik saat menyuapiku makan. "Jangan terlalu larut dalam kesedihan, harus tetap sehat, ya, Mbak."

Aku menghela napas panjang, mengunyah perlahan untuk mencari rasa dalam makanan yang sedang ada di mulutku. Namun, sama sekali tidak ada rasa gurih, asin, ataupun manis. Sepertinya lidahku sudah mati rasa.

"Menik, kapan aku bisa keluar dari sini?"

"Kata dokter besok, Mbak. Nanti Pak Sutrisno yang akan menjemput."

Mencoba menelan makanan yang rasanya keras seperti batu, aku membayangkan nasib kelak di kemudian hari. Apakah masih sama atau makin suram? Selama aku di sini, Santika tidak pernah datang sekalipun. Padahal aku ingin tanya padanya, jamu apa yang diberikannya untukku. Kenapa bisa membuat kandunganku gugur. Sayangnya, tidak ada kesempatan untuk itu karena perempuan yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi dalam hidupku, menolak untuk datang dan menunjukkan dirinya.

Santika ....

Aku menyebut nama itu berulang-ulang daalm hati. Mencoba menyingkirkan rasa marah dan dendam pada perempuan itu. Di antara rasa sakit yang berkecamuk, aku harus bisa keluar dari situasi ini dan tetap tegar. Kalau Santika ingin membuatku hancur, dia juga harus ikut hancur.

"Menik, apa kunci rumah kamu yang pegang?"

Menik mengangguk. "Iya, Mbak. Ada sama saya."

Aku menoleh ke arah pintu, meyakinkan diri kalau tidak ada orang di sana. Meminta Menik untuk mendekat, aku berbisik di telingannya.

"Kamu ambil semua jamu yang diberikan Santika padaku. Baik yang cairan maupun yang bubuk. Berikan pada Sutrisno, dan minta dia antar ke Mbok Darmi. Pasti Mbok Darmi sudah mendengar apa yang terjadi denganku, dan mengerti apa yang harus dilakukan."

Menik terbelalak lalu mengangguk sekali lagi.

"Kamu buka juga kamarku, di bagian bawah lemari ada laci kecil. Tidak terlihat dari luar, tapi kamu bisa melihat tonjolan kayu. Tarik dan ambil kotak di dalamnya. Jangan bawa kemari, kamu sembunyikan entah kemana yang terpenting, kotak itu ada saat aku butuhkan."

"Baik, Mbak. Saya mengerti."

Malam ini, aku berbaring menatap ruang perawatan yang sunyi. Menik sudah pulang sedari tadi, dan tidak tahu kapan kembali. Berharap Menik bisa melakukan semua yang aku perintahkan dengan benar. Semua yang dilakukan Menik malam ini, menetukan hidup dan matiku kelak.
.
.

Tersedia di google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro