Perfect Competition 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kepalaku terasa seperti diketuk-ketuk batu. Nyeri di ujungnya menjalar merata seolah menggerogoti otakku. Sering terjadi, apalagi kalau aku sedang uring-uringan menangani klien yang membutuhkan penanganan ekstra. Deadline yang ketat sementara belum tercapai kesepakatan hasil dengan sang klien, kestabilan emosiku selalu melonjak tajam di masa seperti ini.

"Var, makan, yuk. Kamu enggak lapar?" tanya Grandhys sambil menarik laci meja untuk mengambil dompet yang biasa dia simpan di dalam sana.

"Aku lagi nunggu balasan email, Dhys. Kamu duluan aja," jawabku sambil memijat pelipis.

"Tinggalin dulu deh, Var. Masih ngributin pengelompokan akun yang salah kamar? Suruh baca peraturan aja, kalau masih ngeyel suruh protes sama dewan pembuat standar aja. Kita kan cuma pelaksana. Lagian kita kalau mindah-mindah akun enggak ngasal. Ada panduannya juga. Cuma entitas kecil aja sok-sokan banget. Aku suka kesel sama klien yang nyalah-nyalahin orang padahal dia sendiri belum tentu bener," cerocos Grandhys.

Suara Grandhys bikin kepalaku tambah puyeng.

"Bukan, kalau yang itu udah beres. Enggak apa-apa kok, aku ditinggal aja. Gampang entar aku beli soto yang biasa lewat depan kantor aja. Nih, cemilan aku juga masih ada."

Grandhys melirik sebungkus biskuit yang teronggok di samping laptopku. Dia mengembuskan napas panjang pertanda sudah menyerah untuk menyahut.

"Beneran? Kutinggal, ya. Kamu mau nitip sesuatu enggak?" tawarnya.

Aku menggeleng. "Enggak. Makasih, Dhys."

Sepeninggal Grandhys—aku tidak menghitung berapa lama, yang jelas tak sampai lima menit setelahnya, tiba-tiba Naga menampakkan diri sembari menyeret kursi milik Grandhys agar bisa duduk di dekatku. Aku menoleh, mendapati lelaki itu duduk santai tanpa bicara. Pandanganku bergeser ke arah kotak makan yang ia bawa. Alisku terangkat.

"Aku bawa bekal, kayaknya ini kebanyakan. Bantuin ngabisin ya, Var." Naga membuka penutup kotak itu, memperlihatkan porsi nasi yang memang berlebih dan aroma bermacam lauk yang sedapnya tidak main-main menyentuh indera penciumanku.

Aneh, setahuku Naga paling anti bawa bekal. Dia lebih suka beli makan di luar. Naga itu penganut nilai kepraktisan, cenderung menggemari serba instan apalagi soal makanan. Dia tidak suka membawa bekal kecuali memang terpaksa bila memang sudah ada yang menyiapkan. Rasanya tidak mungkin ada yang menyiapkan makanan untuknya karena Naga tinggal sendirian. Orang tua dan dua adiknya tinggal di Surabaya. Kadang aku berpikir kenapa dia tidak tinggal bersama Pak Wishaka.

"Kamu nggak biasa bawa bekal, Ga," sahutku.

Naga nyengir. "Ini sisa lauk tadi malam, Var. Dikasih tetangga samping rumah yang lagi ngadain syukuran kelahiran anaknya. Kayaknya mereka tahu banget aku kesepian, makanya dikasih lauk sebanyak ini. "

Keningku mengerut.

"Nggak usah khawatir. Tadi pagi udah kuangetin, kok. Aman dimakan kok, Var."

Aku masih terkejut dengan tingkah lakunya, ini mencurigakan. Instingku berbisik bahwa Naga sedang melancarkan misi tersembunyi, menjadikan aku sebagai target utamanya. Bisa jadi pengalamannya tinggal di ibu kota telah memperkaya pemikirannya tentang bagaimana cara mimpengaruhi pola pikir targetnya. Tidak, aku bukan orang yang gampang kamu kelabui, Naga.

"Vara!" Naga menjentikkan jarinya persis di depan mukaku hingga membuatku menatapnya masam.

Aku mengalihkan pandang ke layar laptop, tetapi Naga justru menutup layarnya lalu memindahkan laptopku ke meja Grandhys. Aku mendengkus. Tidak terbiasa hak milikku dijarah orang lain, aku bangkit hendak merebut kembali benda yang sudah kuakui kepemilikan secara penuh.

Baru setengah bangkit, lenganku ditahan Naga. "Nanti aja, Var. Sekarang kamu makan dulu. Kalau kamu enggak makan mau dapat bahan bakar dari mana? Duduk lagi, ya."

Pantatku kembali menduduki kursi. Hatiku memaki sendiri mengapa seluruh syaraf otot ini sama sekali tidak menolak kalimat Naga. Kulirik Naga dari samping, dia sedang menyendok makanannya. Sesudahnya, aku tak habis pikir apa yang ada di pikiran Naga. Dia mengarahkan sendok itu padaku. Nah kan, kayaknya instingku benar. Naga sedang merencanakan sesuatu buatku karena selama mengenalnya, Naga tidak pernah peduli padaku bahkan sekadar urusan perut.

"Buka mulutmu, Vara. Satu suapan aja setelah itu kita pakai sendoknya bergantian," desak Naga menempelkan sendok di mulutku yang menutup.

Aku memundurkan wajah, menggeleng cepat sambil mendorong pundaknya. "Enggak. Kamu minggir, deh. Aku mau ambil laptop."

"Selama kamu enggak mau buka mulut buat satu suapan ini, aku bakal di sini terus. Lagian jam istirahat itu harusnya kamu isi bahan bakar bukan ngerjain laporan. Kalau kamu pingsan kelaparan, aku juga yang kena getahnya. Apa kamu sengaja bikin dirimu pingsan biar aku gendong seperti waktu kamu pingsan di lapangan saat jadi panitia OSPEK bertahun-tahun lalu?"

Aku terdiam. Tidak bereaksi sedikit pun ketika mata di balik lensa itu menutup akses pandanganku. Aku tidak bisa membiarkan mataku berserobok terlalu lama dengan matanya. Energi yang mengalir dari pijar sorot mata itu membahayakan.

"Sejak kamu pingsan itu aku jadi tahu kelemahanmu," ucap Naga memaksa meloloskan sesendok makanan ke dalam mulutku. Senyumnya tersungging begitu mulutku membuka dan terpaksa menerima satu suapan darinya. Catat, terpaksa ya!

Naga melanjutkan kalimatnya, "Kamu butuh seseorang untuk memperhatikan dan aku adalah orang yang tepat untuk memperhatikan kamu. Aku ingat masih ada hal yang tertunda. Kita masih punya sisa satu kali kompetisi lagi, kan? Pas banget bisa kita manfaatkan buat menjangkau posisi manajer audit yang ditawarkan Pak Wishaka."

Benar kan, ujung-ujungnya dia pasti bahas ginian. Untung saja aku bersedia menelan makanan darinya. Padahal tadi aku berniat menyemburkannya biar mengotori muka Naga. Biar dia kapok, biar dia tidak mendekatiku lagi.

"Enggak ada kompetisi lagi, Ga. Kita jalan sendiri-sendiri. Mulai sekarang enggak usah mikirin kompetisi lagi. Kalau memang kandidat yang dipilih Pak Wishaka itu aku sama kamu, ya udah biarin aja berjalan normal semacam promosi jabatan biasa. Enggak usah kamu baperin," cetusku.

"Aku maunya jalan bareng kamu, Var. Enggak mau sendiri-sendiri. Kamu yang semangat, dong. Jangan nyerah gitu aja sebelum permainan dimulai," sahut Naga, tangannya berusaha menjangkau pipiku, tetapi aku lebih sigap menjauhinya.

"Meskipun pada akhirnya kamu yang menjabat posisi itu, aku tetap enggak akan nyerahin hatiku sama kamu. Kamu enggak bisa dipercaya. Itulah alasan aku menghentikan permainan bodoh ini dari dulu," geramku.

Ya Tuhan, kenapa setiap ngomong sama manusia satu ini energiku selalu terkuras.

"Makanya dengerin dulu, Var. Aku belum jelasin kamunya udah marah-marah." Naga menahan lenganku saat aku mau beranjak.

Naga ikutan berdiri menghadapku. Tangannya mencengkeram kedua pundakku. Lagi-lagi matanya memenjara penglihatanku. "Kasih aku waktu bentar aja buat jelasin sama kamu biar urusan kita kelar."

"Kalau aku enggak mau?"

"Ya kamu harus mau diuber-uber terus sama aku."

Aku tertawa. Bagiku sama saja, mau tidak mau si Naga ini bakal berkeliaran di sekelilingku. Jadi, maksudnya Naga ini apa? Kalau ngotot ngajak barengan kayak dulu akunya yang keberatan. Enak saja masa hati disamain sama bola basket yang dioper-oper ke ring secara bergantian.

"Manis."

Aku masih bisa mendengar Naga bergumam. Seketika tawaku berhenti, beralih memandang Naga yang menatapku sampai tak bergerak sama sekali. Dia kenapa?

"Kamu manis kalau ketawa, Var. Selalu nyenengin. Meski udah lama, aku ngerasa adem aja ngelihatnya soalnya enggak bikin bosen. Enggak ada bedanya, rasanya masih sama kayak dulu."

"Masih receh, Ga," sahutku refleks meninju lengannya.

Giliran Naga tertawa. "Makan lagi, yok. Masih banyak, nih. Aku enggak bisa ngabisin sendiri. Mau, ya?"

Sekali lagi aku menurutinya, kembali duduk di tempat semula. Aku masih tidak bisa menebak arti spontanitasku untuk apa aku mau saja menuruti ucapannya. Menggelikan, tetapi nyatanya sendok yang dipegang Naga benar-benar kami gunakan secara bergantian. Untung saja tidak ada orang lain yang menyaksikan. Kalau sampai ketahuan, bisa-bisa aku jadi berita terhangat di halaman depan.

Tadinya aku mau menghampiri penjual soto yang biasa mangkal di depan kantor, tetapi interupsi Naga seakan membatalkan segala keinginan yang sudah kususun secara matang. Aku harus lebih waspada sebab modus operandi Naga sudah mulai mengintimidasi kinerja alam bawah sadarku. Jangan sampai aku terhanyut dalam ketidakberdayaan.


chapter 4 - selesai bisa dibaca di Cabaca.id


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro