Part 5 :: Violetta Dominic

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Adakah yang menunggu? 

HAPPY READING

____________________________________

Siang hari itu, semilir angin berhembus halus. Bella tengah duduk di kursi luar gedung galeri lukisan, sambil memainkan ponselnya, melihat iklan lowongan pekerjaan yang tersebar di berbagai website.

Sudah seminggu berlalu sejak ia melamar pekerjaan, tetapi tak ada kabar yang datang.

Sementara itu, Helena, sang kakak tiri, sepertinya sedang sibuk dengan sesi pemotretan entah di negara mana kali ini.

Mungkin dia sedang melenggang di runway Paris, atau menjadi ambassador untuk merek-merek mewah dunia, seperti Louis Vuitton, Prada, dan yang lainnya. Helena selalu tampak glamor, cantik dan anggun, meski terkadang terkesan arogan.

Bella menghela napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa lelah yang menyelimutinya.

Di balik segala kepedihan, satu hal yang pasti: ia tidak akan pernah menyerah. Ayahnya masih terbaring sakit dan Bella bertekad untuk merawatnya hingga sembuh. Tak peduli seberapa keras hidup menekannya, ia akan bangkit kembali.

Namun, Bella berpikir. Apakah lebih baik bekerja sebagai pelayan restoran atau baby sitter? Tetapi, gajinya pasti tak akan cukup. Pandangannya terlihat kosong dan ia bergelut dengan pikirannya sendiri.

Sebuah ide sempat melintas di benaknya—salah satu pekerjaan yang bisa dengan cepat mendatangkan uang dalam jumlah besar. Namun, Bella segera meringis, rasa ngeri menghantam dirinya sendiri.

Dia tahu betul, pekerjaan yang ia maksud itu beresiko tinggi. Dia bergidik, menepis pikiran sesat tersebut secepat mungkin, seolah membuang sesuatu yang kotor.

"Bella! Tinggal tersisa satu lukisan lagi yang harus di pajang!" tukas Lucy dengan intonasi suara yang menukas tinggi, berharap sahabatnya yang tengah tercenung mendengarnya.

Lucy dalam sekejap mengambil ponsel yang masih dipegang oleh Bella, hingga Bella memutarkan kedua matanya kesal.

"Kembalikan, Lucy. Kembalikan!" erang Bella yang berpura-pura memasang raut wajah penuh amarah. Hal itu seketika membuat Lucy terkikik geli.

"Tidak mau. Aku kembalikan setelah kita merapikan lukisan," jawab Lucy, kemudian berlari masuk ke dalam galeri lukisan, setelah menjulurkan lidahnya.

"Kau menyebalkan!" tukas Bella sambil berlari masuk dan berusaha merebut ponsel itu dari tangan Lucy. Tetapi tidak berhasil. Lucy seperti kelinci yang lincah bergerak menghindari Bella.

"Sejak dulu aku memang menyebalkan!" jawab Lucy seraya mengembalikan ponsel itu kepada Bella yang memberengutkan wajahnya.

"Ya Tuhan. Tolong beri aku kesabaran yang besar dalam menghadapi Lucy," gumam Bella sembari menggelengkan kepalanya, lalu tertawa pelan.

Lucy lantas menepuk bahu Bella. "Pekerjaan kita sedikit lagi selesai," ungkapnya sambil tersenyum ringan. Seolah-olah beberapa detik sebelumnya Lucy tidak membuat Bella kesal.

Setelah berjuang selama lima belas menit, akhirnya mereka berhasil menggantungkan lukisan besar itu di dinding. Keduanya mundur selangkah, memandangi karya mereka dengan campuran rasa lega dan bangga.

Bella menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Tubuhnya terasa lelah. Namun, hatinya dipenuhi kebanggaan yang membuat senyuman lebar terukir di wajahnya.

Dengan jari-jarinya, dia menyisir rambutnya ke belakang, seolah ingin menyapu semua kelelahan dari tubuhnya.

"Akhirnya selesai juga," ujarnya, dengan suara bergetar, matanya berkilau penuh harapan.

"Aku tidak sabar memamerkan semua lukisan hasil kerja keras komunitas kita, Lucy!" serunya penuh semangat, menoleh kepada sahabatnya yang berdiri di sampingnya.

Lucy tertawa kecil, namun ada kilau kebanggaan yang tak bisa disembunyikan di matanya. "Dua minggu lagi, Bella. Dua minggu lagi, kita akan melihat karya kita dinilai oleh puluhan kurator dan kritikus lukisan," ujarnya dengan suara rendah, sarat dengan emosi.

Dia mengedarkan pandangan, menatap satu per satu lukisan yang terpasang di galeri dengan sorot mata yang penuh harapan.

Mereka telah mengorbankan begitu banyak—tidur larut malam, kelelahan, kerja keras yang tiada henti—semua itu demi momen ini.

Hati Bella terasa hangat, tapi bersamaan dengan itu, ada juga rasa takut yang samar. Bagaimana jika acara mereka sampai gagal? Bagaimana jika usaha mereka masih belum cukup baik?

Bella mengerjapkan mata, mencoba mengusir keraguan yang menyelinap di benaknya. "Apa kau sudah menghubungi media?" tanyanya, suaranya sedikit serak karena kegelisahan yang tiba-tiba muncul.

Lucy tersenyum lebar, matanya berbinar-binar penuh kebanggaan. "Aku sudah menghubungi media, Bella. Kau tidak akan percaya—dua stasiun TV swasta akan meliput pameran kita dan mengundang kita ke acara talk show! Ya Tuhan, ini seperti mimpi!" ujarnya penuh haru, kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan, air mata hampir tumpah.

Saat mendengar berita itu, dunia Bella seolah berhenti. Napasnya tercekat, hatinya melompat liar. "K-Kau serius?" bisiknya, nyaris tak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Dadanya sesak, perasaan haru, cemas, dan gembira bercampur menjadi satu.

Mata Lucy seolah bersinar-sinar menatap Bella. "Apa aku terlihat sedang bercanda?" tanyanya, ia mengangkat sebelah alisnya dengan gaya khasnya.

Namun sebelum Bella bisa merespons, ponselnya tiba-tiba bergetar di dalam saku. Suara itu membuyarkan keheningan di antara mereka, membuat jantung Bella berdetak lebih kencang. Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia meraih ponsel itu.

"Sebentar, Lucy. Ada yang menghubungiku," ucapnya sambil berbalik, melangkah menjauh untuk mengangkat telepon.

Jantung Bella berdetak kencang saat ia menjawab telepon. "Halo, selamat siang. Dengan siapa saya berbicara?" Detik-detik terasa melambat. Setiap kata yang keluar dari telepon itu terasa seperti menusuk hatinya.

Wajahnya mulai memucat. Namun, ketika sang penelepon menyampaikan informasi itu, dunia Bella tiba-tiba berputar. Mulutnya menganga.

"Apa?" Ia merasa gemetar dari ujung kepala hingga kaki. Sesuatu yang besar baru saja terjadi.

"T-Terima kasih... Señorita. Terima kasih banyak," ucap Bella dengan suara tercekat. Dia menutup panggilan itu, namun masih terpaku di tempatnya, memegang ponsel di dada seolah benda itu adalah satu-satunya yang membuatnya tetap berdiri.

Bella berlari ke arah Lucy yang menatapnya dengan bingung. Senyuman lebar menghiasi wajah Bella. Matanya berkilauan dan seluruh wajahnya bersinar dengan kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan.

"Oh, Tuhan! Lucy!" serunya dengan suara bergetar. "Kita berhasil! Kita benar-benar berhasil!"

Kata-kata Bella seperti angin segar yang menerpa wajah Lucy. Namun, sesaat Lucy hanya bisa terdiam, terkejut oleh ledakan emosi sahabatnya. Senyum lebar Bella dan air mata kebahagiaan yang mengalir di pipinya menunjukkan betapa sahabatnya bahagia.

Bella meraih kedua tangan Lucy, menggenggamnya erat seolah ingin memastikan bahwa semua ini nyata.

Sensasi hangat yang menyelinap ke dalam hatinya. Air mata bahagia tidak bisa ia tahan lagi.

"Ini benar-benar bukan mimpi di siang bolong," kata Bella dengan suara yang hampir tidak terdengar, sembari menatap Lucy dengan mata yang berkilau penuh rasa terima kasih. "Aku tidak percaya ini terjadi."

Di sisi lain, Lucy masih mengerutkan keningnya penasaran, heran melihat Bella yang terlihat begitu bahagia dan emosional. Tangan Bella menggenggam erat tangan Lucy, seolah meminta dukungan dan pengertian sahabatnya.

"Katakan ada apa? Kau membuatku penasaran hingga nyaris mati saja," sela Lucy dengan nada campur aduk antara cemas dan penasaran.

Dengan napas yang masih sedikit terengah, Bella akhirnya mengungkapkan berita besar yang baru saja diterimanya. "Akhirnya aku lolos! Aku mendapat pekerjaan sebagai sekretaris CEO!" pekik Bella, menyeka bulir bening yang membasahi pipinya.

Suaranya penuh dengan kelegaan dan kebahagiaan yang mendalam, seolah setiap kata yang diucapkannya adalah bagian dari mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan.

Sontak, mata Lucy membelalak terkejut, tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. "Serius?" tanyanya, mulutnya terbuka lebar dalam kekaguman.

"Lalu kenapa kau malah bersedih?" lanjutnya, melontarkan pertanyaan sambil menatap Bella penuh selidik, masih berusaha memahami campuran emosi yang terlihat jelas di wajah sahabatnya.

Bella menggigit bibirnya. "Aku hanya... aku sangat bahagia, tapi aku juga merasa terbebani. Ini kesempatan yang sangat besar dan aku tidak ingin mengecewakan siapapun, terutama semua orang yang telah mendukungku. Aku hanya... tidak tahu harus mulai dari mana."

Lucy mendekat dan memeluk Bella dengan lembut, memberikan rasa hangat dan dukungan yang sangat dibutuhkan. "Kau tidak sendirian," kata Lucy dengan lembut.

"Kita akan melewati ini bersama. Dan ingat, kau telah bekerja keras untuk ini. Kau pantas mendapatkannya." Kehangatan pelukan Lucy dan penghiburannya, membuat Bella merasa lebih tenang.

"Aku teringat kondisi Papa. Tapi, sekarang aku berhasil mendapat pekerjaan. Meskipun rekening Papaku belum dibekukan, tapi aku membutuhkan biaya rumah sakit yang tak sedikit," lirih Bella sambil menyeka air matanya dengan lembut. Tidak mungkin juga ia meminta tolong pada Helena yang egois itu.

Bella merasa terharu. Ternyata, orang lain bisa sedekat ini dengan Bella. Bukan Helena, atau bahkan Viole.

Lucy membalas memeluk Bella dengan lembut, merasakan beratnya beban yang ditanggung oleh Bella.

"Oh, Bella. Aku juga ikut senang untukmu," ucap Lucy, suaranya dipenuhi dengan kehangatan. "Nama perusahaannya apa?" tanyanya, tidak dapat menahan rasa ingin tahunya yang menggebu.

Bella berusaha mengingat sambil mengetukkan ujung jari telunjuknya ke dagu. "Ro... Romanov Diamond," gumam Bella. Tetapi, jawabannya disambut oleh teriakan kecil Lucy yang seketika menganga terkejut.

"Romanov Diamond? Perusahaan multinasional itu? Pemilik pertambangan berlian terbesar yang berpusat di Rusia! Oh, ini luar biasa!" teriak Lucy histeris, sambil mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari berita terbaru tentang perusahaan tersebut dengan cepat.

Lucy tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "CEO Romanov Diamond termasuk dalam jajaran lima besar orang yang berpengaruh dan dalam daftar orang terkaya nomor dua di dunia! Bayangkan, Bella!" Lucy berkata dengan semangat yang membara, matanya bersinar penuh kekaguman.

"Setua apa dia? Pasti pria berumur yang mata keranjang. Perut membuncit," gumam Lucy bercanda, sambil membayangkan sosok pria yang mungkin sangat berbeda dari harapannya.

Lucy masih sibuk meneliti berita di ponselnya, mendesah kecewa. "Sayangnya pria itu sangat tertutup. Banyak rumor mengenai dia. Ada juga rumor yang mengatakan bahwa dia gay, penyuka sesama jenis, dan di situs mana pun tidak ada fotonya. Mengalahkan presiden saja. Dasar pria yang sok jual mahal," rutuk Lucy dengan nada frustrasi, wajahnya tampak muram karena keterbatasan informasi yang didapatnya.

Bella mengangkat alisnya, merasa bingung dengan obsesi Lucy terhadap sosok misterius ini. "Aku tidak mengerti mengapa kau mencari tahu tentang pria itu? Lagipula, aku tak peduli dia tua atau sebaliknya, karena yang terpenting ia memberiku kesempatan bekerja," ungkap Bella, sambil tersenyum lebar.

"Tapi aku tetap penasaran setampan apakah wajahnya?" ungkap Lucy dengan mata berbinar penuh pemujaan. "Wajar aku mencari berita seputar dia, tentu saja aku ingin tahu siapa yang akan menjadi bosmu. Jangan bilang kau tidak penasaran!"

Bella memutar matanya, berpura-pura mual mendengar penuturan sahabatnya. "Sebaiknya kita pergi dari sini. Aku akan mentraktirmu makan malam," ajak Bella dengan nada riang, berusaha mengalihkan perhatian dari topik yang terasa sedikit konyol.

Lucy tertawa ceria, tangannya meraih lengan Bella. "Baiklah, kalau begitu. Ayo kita rayakan pencapaianmu ini dengan makan malam yang luar biasa! Kau layak mendapatkan ini, Bella."

Mereka berdua meninggalkan galeri dengan suasana hati yang lebih ringan, membiarkan kegembiraan dan harapan memenuhi diri mereka.

Malam itu, Bella merasa lebih dekat dengan Lucy dari sebelumnya, merasa didukung dan dihargai.

***

Di tempat lainnya yang berjarak ratusan kilometer dari tempat Bella berada. Saat hari menjelang malam,  seorang wanita cantik berbikini putih dengan kulit berkilau melangkah ke dalam private cottage, setelah dua jam lamanya berenang. Ruangan itu terkesan hangat dengan lampu LED hijau berpendar temaram.

Tubuh seksi padat itu berbalut bathrobe yang longgar. Dadanya terlihat sekal dan besar, hanya tertutupi setengahnya saja.

Dia memegang gelas sampanye berkaki panjang yang seksi, sembari duduk santai di sofa empuk, menghembuskan napas lega setelah berjemur seharian.

Dengan malas, ia menyalakan televisi dan mulai memindahkan saluran.

Namun, seketika matanya melebar, bibirnya mengulas senyuman penuh kepuasan, saat berita utama menyiarkan perusahaan Roberto yang berada di ambang kebangkrutan. Well, bahkan selama ini diam-diam Viole memindahkan beberapa uang ke rekening pribadinya tanpa sepengetahuan Roberto.

Kabar itu menyebar dengan cepat seperti racun yang menginfeksi. "Rasakan kau, pria tua!" kata Violetta Dominic, penuh kebahagiaan. Suaranya mengisi ruangan itu dengan tawa.

"Hidupku sudah tenang disini, dan aku berhasil melarikan diri dari pemilik Heroine Casino Club sialan itu!" Ia menenggak sampanye hingga tandas, meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.

Di samping Viole, seorang pria yang jauh lebih muda darinya, rambutnya gelap dan mata tajam, tengah duduk santai di sofa, merangkul Viole dari samping.

Dia tampan, mereka berbincang lembut, sesekali keduanya saling bercumbu dan berciuman dengan bergairah. Suasana sepasang kekasih itu, kontras dengan kekacauan yang tiba-tiba menghampiri.

"Honey, pelan-pelan saja. Hari kita masih panjang," Viole mendesah, sementara tangan pria muda itu menyelinap ke dalam bikini Viole dan meremas payudaranya, dengan bibir yang mencium leher jenjang itu.

Tetapi, dalam sekejap Viole terkejut, saat tiba-tiba suara tepuk tangan bergema di ruangan, membuat seluruh tubuhnya bergetar.

Pria muda nan tampan yang masih mencumbu Viole pun, menghentikan aksinya dan menoleh ke arah Bryan Long dengan cemas.

Suasana seketika berubah hening dan mencekam. Suara tepuk tangan itu menghilang, digantikan oleh kekehan sinis dari Bryan Long.

"Akhirnya ketemu." Bryan tersenyum ramah, seraya berkata, "kau pikir telah berhasil mengelabui kami, Nyonya Dominic?" desis Bryan dengan tatapan mata yang berubah menjadi berkilat tajam penuh intimidasi.

Viole menelan salivanya, wajahnya memucat. "K...Kau pria dari Casino. Bagaimana bisa kau menemukanku?" Suaranya Viole tercekat, sambil meraih benda sembarangan di sekitarnya.

Pria tampan yang menjadi kekasih Viole, kini berdiri tertegun dengan wajah pucat, mencoba mencari cara untuk melindungi Viole. Dia meraih ponsel yang tergeletak di meja, berusaha menghubungi bantuan atau mencari cara untuk melarikan diri.

Dengan panik, Viole melempar lampu meja ke arah Bryan. Namun, Bryan berhasil menendang lampu itu dengan gesit hingga pecah berserakan di lantai.  Viole merasa degup jantungnya semakin cepat, hampir tak bisa mengendalikan ketakutannya.

Bryan menyeringai dengan ganas dan menghampiri Viole yang terpaku membeku tak bisa melakukan apapun.

Dalam gerakan secepat kilat, pria itu merenggut rambut Viole dengan kasar, membuat wanita itu mengaduh kesakitan. "Mana mungkin kami tak bisa menemukanmu, Nyonya. Menemukan orang sepertimu, tidak membutuhkan banyak waktu." Bryan Long tersennyum manis. Namun, dari ujung matanya ia melihat si pria muda itu hendak memukulnya menggunakan kursi lainnya. 

"Ikut campur atau mati?" Bryan menodongkan senjata api, tepat mengarahkannya ke kepala pria muda tampan itu yang sekarang terlihat terkejut dan ketakutan. Tanpa malu, pria muda itu menggeleng pelan, sembari melarikan diri dari kekacauan yang sedang terjadi. Meninggalkan Viole begitu saja, di tangan monster itu. 

"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" teriak Viole, sambil memukuli lengan Bryan dengan sia-sia. Berharap Bryan mengampuninya untuk kali ini saja. Air mata Viole bahkan tidak mampu membuat Bryan terenyuh, apalagi sampai membuat pria ini menolong dan membebaskannya. 

Tanpa ampun, Bryan semakin erat menjambak rambut Viole dan menyeret wanita itu. Dia  menghantamkan kepalanya ke sudut meja yang tajam dengan kekuatan brutal. Berkali-kali, tanpa ampun. Sesuai perintah sang Tuan, bahwa Viole harus diberi pelajaran berharga.

Terdengar kertak tulang, bersamaan dengan darah mengalir dari hidung Viole yang patah, sementara Bryan hanya mengamatinya dengan malas.

Di lantai, Viole menjerit memohon-mohon pada Bryan untuk berhenti, sambil menyentuh ngeri hidungnya yang hancur. "Lepaskan aku, sialan!" umpat Viole, suaranya gemetar ketakutan, menahan rasa sakit yang berdenyut hebat, sampai rasanya ingin pingsan.

Bryan merasa muak mendengar Viole yang sangat berisik. Dia kembali merenggut rambut Viole  dan menghantamkan kepalanya ke meja dengan penuh semangat. Wajah Viole terluka berat, tubuhnya semakin melemah akibat kekerasan tersebut.

Akhirnya, tubuh Violet meluruh dan jatuh terkapar di lantai tak sadarkan diri. Bryan mengangkatnya dengan mudah di pundak, seolah-olah Viole tidak lebih berat dari sehelai kain dan mulai melangkah pergi sambil bersiul riang.

"Kau salah bermain api dengan kami," ujar Bryan, sambil memasukkan tubuh tak sadarkan diri itu ke dalam bagasi mobil, masih dengan senyuman di wajahnya.

____________

13.09.24-TBC

Nyam nyam nyam, bacanya sambil makan, guys :)

thx for reading ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro