7-4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pak Samuel langsung tertawa, "Apakah ia membuatmu merasa kesulitan lagi? Aku akan memberikan hukuman lagi padanya,"

Ah... ternyata tebakan Tinita benar, wajah Tama yang dirias seperti cowok sangat mirip dengan wajah Pak Samuel.

"Tidak perlu pak,"

"Ah begitu ya... kalau ada apa-apa dengannya tolong beritahu saya, dia orangnya cukup tertutup dan suka seenaknya saja, sebagai kakak yang mengawasinya bertahun-tahun saya khawatir dengannya."

Tinita mengangguk, lagi pula hubungannya dengan Tama lebih baik dari sebelumnya, meski cewek itu tidak terlalu sering bersamanya.

"Kalau begitu kita keluar dari sekolah sekarang, tidak baik berkeliaran hingga tengah malam disini,"

"Bapak percaya rumor itu?"

"Hm,... saya mempercayai apa yang saya lihat dan dengar,"

"..."

Tinita menghidupkan ponselnya, ia lalu melihat ada banyak panggilan tak terjawab.

DRRT!!

Panggilan itu dari nomer yang tidak dikenal.

"Hallo? Selamat malam, ini siapa?"

Langkah Tinita lalu terhenti wajahnya langsung berubah pucat.

Ibunya sekarang di rawat di rumah sakit karena kecelakaan!

***

Mega mengendarai mobilnya sambil memperhatikan sekitar jalan yang ia lewati, ia sudah berusah untuk menelepon Tinita namun anak itu tidak menjawabnya. Mega sangat khawatir dengan Tinita, anak itu main berlari keluar di jam seperti ini.

Mega menahan tangisnya, ia tidak boleh bersedih dulu. Ia juga sudah menyuruh beberapa pelayannya untuk pergi mencari Tinita juga. Ia tidak bisa kehilangan lagi, ia tidak bisa kehilangan Tinita. Hanya Tinita satu-satunya harta yang masih ia punya.

Mega mulai merutuki dirinya yang emosi tadi, seharusnya ia tidak membentak Tinita dan menyebabkan anak itu sakit hati dan pergi. Matahari sudah tidak bersinar lagi dan Mega semakin khawatir.

Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Tinita? Bagaimana kalau Tinita tersesat?

Mengingat bahwa Tinita itu buta arah jadi anaknya itu pasti susah untuk mengingat jalan pulang.

Bagaimana kalau Tinita malah tersesat di tempat yang berbahaya seperti gang sempit lalu di culik oleh orang jahat?

Kemana? Kemana ia harus mencari putrinya itu?

Mega tak sadar menginjak pedal gas dengan keras, sehingga mobilnya melaju dengan kencang dan menabrak pohon di tepi jalan.

***

Tinita langsung bergegas menuju ke kamar inap, dimana ibunya berada. Meski dokter sudah mengatakan bahwa tidak ada luka yang berarti namun tetap saja Tinita tidak tenang. Ia tidak ingin ditinggal sendirian, ia tidak mau ibunya malah pergi seperti ayahnya ia tidak mau.

Samuel melihat Tinita yang masuk ke dalam pintu ruang rawat inap. Ia terlihat menelepon seseorang.

"Kenapa lo nelpon?" ucap suara dari seberang sana dengan nada kesal

"Orang tua Tinita kecelakaan, teman lo itu sekarang ada di rumah sakit,"

Terdengar suara hela napas, "Jadi ini sebabnya lo bilang gue nggak boleh siaran hari ini, menyebalkan."

Lalu telepon pun di tutup.

Tama lalu mengabari teman-teman Tinita tentang keadaannya saat ini.

"Pak... saya minta izin untuk besok," ucap Tinita ketika Samuel masuk kedalam ruang inap Mega.

Samuel mengangguk, "Jagalah apa yang kamu miliki sekarang,"

***

Tinita melihat ke arah ibunya yang masih belum sadar, ia lalu menggenggam tangan ibunya. Semalam ia tidak bisa tidur, dan terus berada di sisi ibunya, ia hanya pergi sebentar untuk membersihkan diri dan buang air.

Meski ibunya sudah di rawat dengan fasilitas VIP namun ia belum membuka matanya.

Ah... Tinita jadi berpikir, apa ini salahnya? Apa ini karena kelakukannya yang keterlaluan?

"Ma-mama... mama... Tinita minta maaf hiks..."

Tinita kembali menangis.

Tiba-tiba tangan ibunya yang ia genggam bergerak.

"Ma-mama!" ucap Tinita bersemangat, menyadari bahwa ibunya sudah bangun.

"Ti...nita?"

"Ya mama, ini Tinita! Bagaimana mama? Ada yang sakit? Mama butuh apa?" tanya Tinita

Mega mengangkat tangannya lalu mengelus pipi Tinita, "Syukurlah kamu tidak apa-apa,"

"HIks mama... huwaa!!!"

Tinita memeluk ibunya, ia sangat bahagia karena ibunya telah sadar.

"Maafin Tinita mama! Huwaa!!"

"Tidak, ini bukan salah Tinita ini salah mama... mama sudah terlalu keras denganmu,"

"Hiks... mama...."

Tinita melepas pelukannya

"Mama hanya takut kamu akan seperti ayahmu jika kamu mengikuti jejaknya... mama takut kamu tak pernah kembali seperti ayahmu... mama takut..."

Mega lalu menggenggam tangan Tinita, "Tapi kalau memang Tinita ingin seperti itu mama tidak akan melarangnya lagi, kamu bebas untuk melakukan apapun,"

"Hiks mama...huwaa!!!"

Hari itu Tinita menghabiskan waktunya untuk mengobrol dengan ibunya. Mereka mengobrol banyak hal, Tinita menceritakan apa saja yang ia lalui selama di SMA, sedangkan Mega mendengarnya dengan senang. Ia bahagia karena Tinita tampak menjalani hidupnya dengan baik.

***

"Kenapa gue harus ikut sih,"

"Lo udah berjanji,"

"Ya, tapi nggak mau masuk ke dalam sini,"

"Ayolah ini Cuma rumah sakit, apanya yang seram?"

Kini Angle, Cakra, Oda, dan Tama berada di rumah sakit dimana ibunya Tinita dirawat. Mereka pergi mengendarai mobil milik Angle, namun karena jalanan macet jadi Oda yang menyetirnya. Karena cowok itu tahu bagaimana cara melewati macet meski kadang bikin jantungan.

Aninda dan Rei tidak bisa ikut, karena Aninda pergi dengan keluarganya menuju ke Thailand untuk sebuah acara bisnis dan Rei tentunya karena ia harus bekerja.

Cakra kali ini berpenampilan lebih rapi dari biasanya. Ia bahkan siap untuk berpenampilan kalem untuk menunjukkan kesan yang bagus di depan calon ibu mertuanya. Angle jadi mempertanyakan ketulusan cowok itu menjenguk.

"Kalian yang masuk, gue diluar," ucap Oda sambil memalingkan wajah

"Ish! Tinita kan teman sekelasmu juga!" kata Angle "Masa kamu nggak punya hati begitu!"

"Kalau dia nggak mau ya udah, gue mau masuk duluan," kata Cakra tak ambil pusing, lalu berjalan masuk ke dalam gedung rumah sakit.

"Hii... katanya mantan wakil ketua geng, masa masuk ke rumah sakit aja nggak berani. Yaudah jangan kemana-mana ya, jangan ilang," ucap Angle lalu melangkahkan kakinya mengikuti Cakra.

Tama menatap Oda, "Ngomong-ngomong gue kenal orang yang melihat hal yang lebih menyeramkan dari yang lo lihat sekarang,"

Setelah mengucapkan itu Tama melangkah, Oda mengacak rambutnya sebelum berdecih dan mengikuti langkah Tama.

***

"Haha... tante senang kalian datang," ucap Mega, "maaf kalau Tinita membuat kalian kerepotan,"

"Tidak apa tante, malah kami yang harus berterima kasih pada Tinita karena ia telah membantu kami," ucap Cakra dengan ramah

Tinita yang mendengar pembicaraan Cakra dengan ibunya hanya bisa berdecih dalam hati.

Kenapa bocah itu langsung bertingkah layaknya menantu yang kalem dan adem? Sungguh ada udang di balik batu.

Mereka membawakan buah-buahan dan beberapa jamu yang baik untuk kesehatan. Mereka mengobrol dengan ibu Tinita, sebelumnya Oda sempat berkelakar tentang galak Tinita yang mungkin saja diturunkan oleh ibunya.

Tapi Mega terlihat ramah dan tidak segalak dan sedingin Tinita.

***

Tinita segera turun dari kamarnya begitu ia sudah siap berangkat ke sekolah.

"Tinit! Ayo! Ayo!" ucap Angle dari dalam mobil, Tinita lalu masuk ke dalam mobil temannya itu.

Hari-hari pun kembali seperti semula, kondisi ibunya membaik dan hubungan mereka sudah semakin dekat. Tinita juga kadang pergi ke sekolah bersama dengan Angle.

"Yo! Pagi Tinita! Angle!" sapa Rei yang tampak setengah mengantuk, begitu Tinita dan Angle masuk ke dalam kelas.

"Wah kalian barengan lagi," ucap Aninda

"Yup!" kata Angle sambil mengangguk

Ah... Tinita merasa bahwa harinya kini lebih berwarna dari biasanya, pertemuannya dengan teman-temannya membuat dunianya yang berwarna abu-abu kini seperti pelangi. Masalah pun sudah tidak menghampirinya lagi, Tinita jadi merasa tenang.

Suara ribut-ribut pun terdengar, beberapa siswa tampak melihat ke luar jendela.

"Ada apa sih?" tanya Angle sambil ikut melihat ke jendela,

Tinita pun melakukan hal yang sama, siapa yang membuat keributan di minggu terakhir sekolah sebelum liburan?

"Hm... dia bener nekat," komentar Rei

Sebuah kain besar tampak direntangkan di lapangan oleh beberapa siswa, tampak seorang cowok yang Tinita kenali berada di samping kain yang bertuliskan.

Tinita, I Love You!

"Wahai Tinita Devanggi yang kucintai dan kusayangi, tolong jadilah pacaraku!!"

Tinita langsung menutup jendelanya dan tirai.

Ah... dia melupakan satu faktor yang membuat hari-harinya mungkin tidak akan tenang.

END MB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro