Mengakhiri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mari, kita akhiri saja."

Kaki terbalut celana cargo-yang siap menyebrang ketika lampu merah menyala-seketika menghentikan gerakannya. Sang pemilik kaki lantas membalikkan badan, seraya memandang dengan bingung.

"Apa?"

"Kita akhiri acara jalan-jalan ini dan lebih baik kita makan. Kita bahkan belum makan apapun sejak bertemu." Bodoh! Itu bukan kalimat yang ingin aku katakan. Mengapa mulutku tidak dapat berkompromi?

"Bukankah kau mengatakan akan menemaniku membeli cat?" Gadis bersurai panjang itu sedikit memiringkan kepalanya, kemudian mengalihkan pandanganya pada toko cat di seberang jalan.

Aku berdeham sejenak. "Tentu saja aku akan menemanimu membeli cat. Kau tahu, maksudku ... setelah membeli cat ada baiknya kita mencari makan. Aku sudah lapar. Kau pasti juga lapar, bukan?"

Ah, selalu saja seperti ini! Padahal aku hanya perlu mengatakan apa yang ada di otakku kemudian semua akan berakhir. Kendati demikian sekadar melihat wajah Candria-gadis yang telah kukenal beberapa tahun terakhir ini-ternyata mampu menghilangkan semua kosa kata yang telah kurangkai. Aturan aku tak perlu melihat wajahnya. Jika seperti ini pasti aku gagal lagi.

Huh, gadis ini sungguh berhasil membuatku gila belakangan ini. Berapa kali memikirkannya pun jawabannya tetap sama. Aku hanya ingin mengakhiri hubunganku dengan Candria. Entah sudah berapa kali aku mencoba menyampaikan hal itu padanya, hanya saja aku tak pernah berhasil mengungkapkannya.

Barangkali karena hubunganku dengan Candria sebelumnya tak terlihat bermasalah, oleh sebab itu aku tidak tega mengutarakan keputusanku untuk mengakhiri hubungan asmaraku dengannya. Andai pun aku berhasil meyampaikan keinginanku saat ini atau di waktu lalu, aku tak yakin mampu menerima pertanyaan-pertanyaan yang akan ia lontarkan padaku. Terlebih lagi jika harus menghadapi wajah bingung dan tersakitinya. Ah, membayangkan saja sudah membuatku pusing. Mengapa aku begitu lemah hanya karena melihat wajah manis gadis di sampingku ini?

"Herga." Candria menarik ringan lengan bajuku, yang secara tak langsung juga menarikku dari pemikiran yang entah di mana unjungnya.

Aku menjilat bibirku yang terasa kering, kemudian dengan tergesa mengikuti langkah kaki kekasihku yang menyebrangi jalan dengan langkah ringan ketika lampu merah kembali menyala.

Jangan berpikir jika kami akan bersikap layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara. Maksudku, biasanya sepasang kekasih akan menyebrangi jalan sembari bergadeng tangan atau setidaknya jalan bersisihan. Hal seperti itu mana mungkin terjadi padaku dan Candria. Gadis itu entah mengapa selalu berjalan mendahuluiku. Seperti sekarang, ia sudah sampai di sebrang jalan, sedangkan aku baru melewati tiga per empat zebra crossing.

"Mengapa jalan begitu cepat?" ujarku ketika berhasil menyebrangi jalan.

Candria tampak menggedikkan bahunya. "Kau tadi berkata sudah lapar. Jadi kita harus bergerak cepat, jika ingin segera mengisi perut."

Aku hanya bisa mengehela napas, ketika ia kembali berjalan mendahuluiku masuk ke toko cat. Tak bisakah ia menungguku dan berjalan bersama? Apa mungkin dia malu berjalan di sampingku? Namun, kupikir tampangku tak seburuk itu untuk digandeng. Mungkinkah persoalan ini dapat aku jadikan alasan, jika ia bertanya mengapa aku memutuskannya suatu hari?

Tak mengikuti jejak Candria, aku lebih baik menunggu diluar toko. Berharap dia jujur dengan perkataanya tentang 'harus bergerak cepat'. Jadi, ia akan menyelesaikan kegiatan dengan cepat dan segera keluar dari ruko penuh cairan berwarna itu bukan?

Sialnya, perkiraanku salah. Cukup lama aku berdiri di depan toko, dan Candria tak kunjung keluar. Entah apa yang dia lakukan di dalam sana. Ingin rasanya aku masuk untuk melihat apa yang ia lakukan di dalam. Mungkinkah dia terjebak dalam labirin rak cat? Namun, tanggung rasanya jika harus menyusul gadis itu ke dalam toko. Mungkin saja dia sudah selesai dan sekarang tengah bersiap keluar rungangan.

Benar saja tembakanku, gadis itu tampak muncul di saat aku mulai bosan menantinya.

"Ayo, aku sudah dapat!" Candria mengangkat plastik belogo toko cat di depan wajahku. Kemudian ia tanganya terayun dan segera melangkahkan kakinya.

Huh, lagi-lagi ia meninggalkanku. Tetapi, kali ini aku tak akan membiarkan dia berjalan mendahuluiku. Jadi dengan langkah seribu aku mesejajarkan diri dengannya yang tengah berdiri di depan zebra crossing. Tanpa aba-aba aku mengandeng tangan gadis manis di sampingku ketika lampu merah kembali menyala. Aku menoleh, menatap Candria yang ternyata juga tengah menatapku sembari tersenyum tipis-sebelum akhirnya membuang muka. Manis, senyumnya begitu manis. Bukan hanya senyumnya, aku rasa apa yang ada pada dirinya, semua manis.

Seperti ada percikan kecil di dalam rongga dadaku, oleh itu aku mengoyang-goyangkan tangan kami yang masih bertautan. "Akhirnya, hari ini datang juga. Kita bergandengan saat menyebrang jalan."

Candria tampak berdecak, ia buru-buru melepaskan tautan tangan kami ketika sudah sampai di sebrang jalan. "Ayo, cari makan."

Dan seperti sudah-sudah ia kembali meninggalkan diriku begitu saja. Oh, ayolah, sebenarnya gadis itu manusia macam apa? Mengapa senang sekali berjalan begitu cepat? Dan paling peting, mengapa ia suka meninggalkanku?!

"Can, tunggu!" seruku tanpa mempedulikan orang-orang yang seketika menaruh atensi padaku.

"Bagaimana jika kita makan bakso saja." Gadis ini berkata tanpa memikirkan aku yang mencoba menyamai langkahnya. Padahal kakiku lebih panjang dari kaki Candria, namun mengapa langkah gadis ini lebih cepat dariku? Huh, mungkinkah dia titisan Flash?

"Oh, jangan bakso," ucap Candria, "kau setiap hari berkutat dengan bakso. Pasti kamu akan muak jika kali ini harus melihat bakso juga." Kali ini Candria menoleh kearahku yang mulai mampu menyamai langkah kakinya.

Aku menggelengkan kepala. "Aku tidak apa-apa. Kita bisa pergi, jika kau memang ingin."

"Tidak!" Aku sedikit tersentak, bukan karena penolakan gadis ini, namun aku tersentak karena dia menghentikan langkah tiba-tiba. Bahkan, karena rem kakiku kurang pakem, lengan atasku sampai menabrak bahu kecilnya. Untung saja aku berjalan disampingnya, bukan di belakangnya. Jika tadi aku berjalan di belakang Candria, sudah pasti aku akan menabrak seluruh tubuhnya dan berakhir jatuh di atas trotoar bersama.

"Jika aku makan dengan nikmat, kau pun harus. Aku memang ingin makan bakso, tapi kau tidak," kata Candria sembari menatapku.

"Aku tidak berkata begitu," sahutku cepat.

Aku mendengar Candria mendengus pelan, sebelum kembali melangkahkan kakinya. "Kau jangan terlalu baik menjadi manusia. Jika tak suka, katakan saja. Jangan hanya ikut kemauan orang lain." Candria terdiam sejenak. "Aku tahu kau bosan jika harus berhadapan dengan bakso lagi, apa lagi hampir setiap hari kau makan bakso. Kau bisa memilih makanan lain selagi ada dan mampu."

Menggaruk kepala, hanya itu yang mampu kulakukan ketika mendengar perkataannya. Tentang ucapan Candria, bahwa aku mulai bosan dengan bakso, hal tersebut tak sepenuhnya salah. Bagaimana tidak, melanjutkan wirausaha orang tuaku yang mengharuskanku untuk melihat bakso dari membuka mata hingga akan berangkat tidur. Bahasa singkatnya, aku merupakan penjual bakso.

Bangun pagi, langsung membantu para pegawai menyiapkan barang dagangan. Terkadang turut membantu membuat bakso serta ikut ke penggilingan daging.
Siang hari, saat ramai pengunjung dan membuatku kesulitan mencari makan di luar, ingin tak ingin aku makan siang dengan bakso. Lalu, di malam hari pun terkadang aku masih harus bertemu dengan bakso. Jika, malam mulai larut dan seluruh bakso tidak habis, maka bakso akan di masukan ke lemari es. Dan tentu saja bakso-bakso itu tidak bergerak sendiri menuju lemari es bukan? Sudah pasti harus ada orang yang memindahkannya, dan orang itu adalah aku.

Memang kegitan tersebut tak aku lakukan setiap hari namun, dapat dikatakan hampir setiap hari. Tetapi meski begitu, bukan berarti aku tidak bisa makan bakso lagi. Maksudku, aku masih bisa menikmati kuas panas dan bola daging itu.

Jadi, jika dikatakan bahwa aku muak dengan bakso, aku rasa aku tidak sampai di titik muak melihat bakso. Aku rasa cukup biasa saja, meski sedikit bosan mengkonsumsi hidangan tersebut. Namun, kalau pun benar aku muak dengan bakso, kecil kemungkinan aku protes dengan menu bakso yang Candria pilih. Dan sudah pasti kemungkinan besar aku setuju-setuju saja jika harus makan bakso bersama Candria.

"Jadi, apa kau memikirkan makanan apa yang akan kita makan?"

"Bakso?" kataku sedikit ragu.

Sekejap Candria menghentikan ayunan kakinya sembari meliriku, namun sedetik kemudian ia kembali mengayaunkan kakinya. "Selain itu."

"Mengapa? Bukankah kau menginginkan itu?"

Candria berdecak singkat. "Tetapi kau tidak!"

Aku memandanginya sebentar, lalu berucap, "Jika kau menginginkan itu aku tidak masalah."

"Aku sudah katakan, jangan menjadi manusia yang terlalu baik pada orang lain. Pikirkan dirimu juga." Candria mempercepat langkah kakinya. "Kita makan sate saja!"

Kekasihku itu sudah berjalan meninggalkanku yang menghetikan langkah. "Terlalu baik, ya?" gumamku pelan.

Andai Candria tahu, bila aku telah menyusun puluhan rencana untuk mengakhiri hubungan asmaraku denganya. Apa mungkin Gadis manis itu akan tetap menganggapku terlalu baik? Aku rasa dia akan menarik kata-katanya.

* * *

TBC

Love,
Rengga

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro