01 || (Bukan) Pernikahan Impian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bunga-bunga mawar, lampu-lampu yang menerangi karpet biru dengan naungan gapura-gapura menuju pelaminan, menyambut diriku yang sedari tadi duduk di belakang jendela luar ruangan. Sejujurnya, aku takut orang yang ada di dekatku mencium bau semerbak dari diri yang semakin berkeringat ini. Aku tidak menyangka, gaun pengantin bisa sepanas ini walaupun bentukannya strap dress. Padahal, aku sudah request ke desainernya untuk pakai bahan yang ramah panas—tentu saja supaya aku tidak terlalu banyak berkeringat.

Tapi, mungkin ini juga karena tegang. Siapa sangka hari ini akan sampai dalam hidupku?

Tepat setelah kalimat, "Saya terima nikah dan kawinnya Larasati Aliesha dengan mas kawin 5 gram emas dan seperangkat coffee maker, dibayar tunai," para bridemaids, yang adalah sahabat dekatku, membantuku berdiri dan menggiringku menuju suamiku.

Suami.

Wah, aku tidak menyangka akan menggunakan kata suami setelah 26 tahun hidup melajang. Seorang Larasati Aliesha yang sangat picky dengan laki-laki, bisa-bisanya jatuh hati pada seorang barista yang sangat mendedikasikan dirinya di sebuah rumah kopi sederhana hasil keringat barista itu sendiri. Juni Pebian namanya, kombinasi dari bulan lahir dan nama penyanyi jadul favorit ibunya.

Kata ibunya, dulu ada penyanyi bernama Pebian Hutabarang yang suaranya indah lagi tampan nan menawan, yang hampir membuat beliau tidak jadi menikah dengan bapaknya Bang Jun gara-gara ngefans berat sama Pebian. Alhasil, entah dengan bujuk rayu seperti apa, keduanya menikah dan menurunkan nama Pebian itu ke anaknya.

Aku masih ingat awal pertemuanku dengan Bang Jun. Saat itu, tesisku sedang amburadul. Data-data yang sudah susah payah kuambil dengan pelatihan hampir satu bulan, mendadak lenyap karena laptopku bermasalah. Kalau kalian bertanya, kenapa tidak kusimpan semua data di penyimpanan online, jawabannya, belum sempat. Ya, gimana? Baru selesai input data dan mau analisis, tiba-tiba laptopku blue screen alias muncul tulisan eror dan lain sebagainya. Berulang kali kunyalakan ulang, layar biru itu dengan senang hati menyambut.

Gila.

Aku benar-benar mau gila di hari itu dan memilih untuk menenggak bergelas-gelas kafein dari americano di sebuah kafe yang kutemukan saat aku hampir mencelakai diriku sendiri di jalan raya.

"Mbak, tadi udah habis dua gelas. Jantung aman?" tanya barista kafe yang kemudian kuketahui namanya adalah Juni Pebian dari nametag di dada kirinya. Lucunya, dia dipanggil Junpei, macam nama orang Cina saja.

"Jantung saya udah nggak aman dari kemarin, Bang. Mau mati rasanya," jawabku sambil mengacak-acak rambut. Persis seperti orang gila yang siap masuk kamar inap RSJ.

Bang Junpei yang sekilas kulihat tadi sedang menggiling biji kopi dengan peralatannya, tiba-tiba berdiri persis di depanku, duduk, dan melipat kedua tangannya di atas meja bar panjang tempat aku minum kopi. Ah, biar kuperjelas. Dia hanya menyediakan kopi, tidak ada minuman beralkohol yang tersaji dalam menu walaupun sebenarnya aku ingin sekali minum minuman terlarang itu.

"Mau cerita?"

"Ngapain saya cerita ke Abang?"

"Ya, setau saya, salah satu pertolongan pertama buat orang-orang yang lagi dalam kondisi kayak mbaknya ini itu didengarkan. Mana tau jadi lega setelah sambat."

Aku memandangi lelaki di hadapanku itu dari pucuk rambut hitamnya sampai pinggang—karena sisanya tertutup meja bar. Aku tidak berkedip, dia pun demikian. Ada tahi lalat samar di ujung bibir kanan bagian atas dan di leher sebelah kiri.

Kok ganteng?

"Nggak. Bikinin americano lagi aja. Nanti saya bayar, kok." Kalau aku sedang waras, mungkin jurus PDKT bakal kukeluarkan semuanya mumpung ada barista ganteng nan baik hati di depanku. Tapi, apa daya. Tenagaku habis untuk memikirkan perkataan dosen pembimbing yang memintaku mengambil data ulang.

Oh, Tuhan. Aku bisa benar-benar gila!

"Ini."

Bang Junpei menyodorkan segelas kopi yang ... "Ini bukan americano," ujarku refleks karena warna kopinya tidak hitam.

"Memang bukan."

"Abang becanda?"

"Ini caramel macchiato. Daripada bergelas-gelas americano, mending sekalian macchiato yang kandungan kafeinnya lebih banyak. Seenggaknya, dia masih diseimbangkan sama susu. Dan, lebih manis."

"Emang kenapa kalo lebih manis? Saya butuhnya yang pait."

"Hidup udah pait, Mbak. Dinetralin dulu sama yang manis-manis." Dia mengucapkan ini sungguh sambil tersenyum manis dan mendekatkan secangkir caramel macchiato ke hadapanku, lalu berlalu begitu saja. Tidak jauh, dia hanya ke belakang untuk mencuci beberapa peralatan karena aku masih bisa melihatnya dari tempatku duduk.

Rumah kopi ini bukan tempat yang besar, apalagi cozy. Hanya seperti rumah biasa yang ... ya, menyediakan kopi. Anehnya, setelah hari pertama menggila dengan bergelas-gelas kafein di rumah kopi ini, aku kembali keesokan harinya dan esoknya lagi dan esoknya lagi. Sampai aku dan Bang Jun mulai mengobrol dengan akrab selayaknya teman lama. Aku pun jadi tahu bahwa rumah kopi ini dirintisnya sendiri dengan uang tabungan yang ia kumpulkan kurang lebih 4 tahun dengan menjadi budak korporat.

"Kenapa nggak lanjut kerja kantoran aja?" tanyaku saat kami sudah semakin terbuka dengan cerita-cerita kehidupan. "Kan, uangnya lebih banyak daripada di sini."

"Aku lebih suka ngutak-atik kopi." Ya, kami sudah mengganti panggilan jadi aku-kamu dalam waktu kurang dari satu bulan sejak kenalan.

"Tapi, kayaknya aku jarang liat ada pengunjung lain selain aku dan pekerja lain selain kamu." Bukannya ingin menyinggung, aku hanya penasaran. Untungnya, Bang Jun tetap tersenyum dan mendongak sesaat sebelum menjawab pertanyaanku.

"Bukan soal seberapa banyak pengunjung, tapi seberapa cinta aku sama kopi."

Wah, aku speechless saat mendengar itu dan hanya bisa mengangguk-angguk sambil menyeruput caramel macchiato. Sepertinya, minuman favoritku berubah dari americano menjadi caramel macchiato buatan Bang Jun. Entahlah, di hari pertama meminum kopi buatannya itu, bukan sulap bukan sihir, hidupku jadi lebih manis.

Apa karena yang buat kopinya juga manis?

Sampai suatu hari, pembahasan kami mulai merambah ke ranah yang lebih personal. Tentang keluarga, tentang cinta, tentang jodoh.

"Kamu suka kucing?" tanya Bang Jun tiba-tiba di suatu hari saat aku sedang menyelesaikan revisi tesis sehari sebelum sidang magisterku.

"Kenapa emang?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, Bang Jun malah menghilang. Sepertinya, dia menghilang ke rumah belakang. Dia pernah cerita kalau rumah kopinya ini dia bagi dua—bagian depan untuk usaha kopi, bagian belakang untuk tempatnya tinggal. Tiba-tiba dia keluar menggendong seekor makhluk berbulu dominan hitam dengan kaki putih seperti memakai kaos kaki. Dan pertemuan itu sukses membuatku bersin-bersin.

"Eh, kamu ada alergi?" Wajah penuh senyumnya mendadak berubah cemas. Makhluk bulat berbulu dalam gendongannya itu masih diam, tapi menatapku galak. Entah memang mukanya segalak itu atau hanya persepsiku saja atau si bulu memang sedang mengawasiku.

Aku menggeleng sebagai respons dari pertanyaan Bang Jun. "Nggak tahu, aku nggak pernah deket-deket kucing sebelumnya."

"Takut?"

"Bukan. Hmm, geli?"

"Oh, sorry."

Baru saja Bang Jun mau membawa si bulu kembali ke dalam—kurasa tadinya dia mau mengenalkan si bulu padaku, tapi tidak jadi karena aku bersin-bersin—tiba-tiba kehancuran pertama terjadi.

Si bulu melompat dari gendongan Bang Jun, menginjak keyboard laptop dan memunculkan ggggjkfjjjjjjjkflfll di dokumen revisi tesisku karena mendarat persis 10 senti dari wajahku, lalu mengeong keras sambil mencakar wajahku yang baru saja selesai totok dan facial di salon pagi tadi.

"Astaga Tamtam!"

Serasa deja vu, tapi teriakan astaga Tamtam kembali terdengar di masa kini. Saat aku berjalan menuju Bang Jun di meja akad nikah, aku—dan sepertinya seisi gedung—mendengar ada suara kain sobek dari arah belakang. Suara sobekan yang sangat jelas karena prosesi mempelai wanita berjalan menuju mempelai pria tidak diiringi musik sama sekali demi kekhidmatan.

Mungkin, saking bahagianya, aku lupa kalau Tamtam, si bulu hitam yang dipakaikan pita putih di lehernya, dibiarkan oleh Bang Jun berkeliaran di gedung pernikahan dengan alasan, "Dia juga keluargaku."

Bukannya menghampiri dan menanyakan, atau paling tidak mengecek kondisi gaunku yang dihancurkan Tamtam, Bang Jun malah berlari ke arah si bulu hitam. Ia menggendong Tamtam dengan penuh kehangatan, tanpa sedikit pun melirik ke arahku. Suara hah, wah, dan semacamnya bisa kudengar dari daerah para hadirin di samping kanan dan kiri.

"Wah, kamu kalah sama kucing, Sha," bisik Nina, bridemaid sekaligus sobat sambat selama aku menjalani kuliah S2.

Aku tersenyum miris dan tertawa dalam hati.

Selamat datang kekacauan.

***

~1275 words~

pelakunya galak...

padahal udah secantik ini...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro