04 || Bukan Istri, Tapi...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sempat didiamkan Bang Jun selama tiga hari sejak Tamtam berulah. Setiap aku pulang, Bang Jun masih berdiam di rumah kopi dan sekarang Tamtam lebih sering dibawa menemaninya bekerja. Sempat kudengar sorakan dan suara-suara genit perempuan-perempuan pengunjung rumah kopi yang cari perhatian ke Bang Jun dengan menanyakan Tamtam. Sesungguhnya, aku kesal. Suamiku itu ganteng, murah senyum, penyayang (binatang), dan jiwa pelayanannya luar biasa pada pelanggan. Nggak mungkin nggak ada yang baper sama dia. Dia sadar nggak, sih, keramahannya itu bikin aku khawatir?

"Abang masih marah?" tanyaku saat, akhirnya, kami bisa makan malam bersama. Sebelumnya, dia selalu makan di rumah kopi dan mungkin pulang setelah aku tertidur. Bahkan sepertinya dia sudah di rumah kopi sebelum aku bangun karena pernah ada hari-hari aku tidur sendiri, bangun pun sendiri.

"Marah kenapa?" tanya Bang Jun balik tanpa melihat ke arahku. Ia sibuk memilah-milah irisan cabai di telur dadarnya.

"Ya, nggak tahu. Habis kayaknya ngediemin aku terus. Ini aja nggak mau liat mukaku."

Setelah aku bilang begitu, Bang Jun mengangkat kepalanya dan menatapku. Kosong, tanpa senyum.

"Senyum, dong, biar ganteng," rayuku dengan suara sedikit merajuk.

Bang Jun tersenyum kecil, lalu kembali berwajah datar dan berkata, "Puas?" sambil menyantap sarapannya lagi.

Ada sesuatu yang menusuk di dadaku mendengar satu kata keramat itu. Sepanjang aku kenal dengan Bang Jun sampai kami menikah, sekalinya ia mengatakan itu adalah saat aku kekeuh minta americano 4 shots, padahal aku habis minum kopi hitam sachetan di kantin kampus. Waktu itu, aku ngantuk banget sedangkan banyak revisian harus kukerjakan karena semuanya punya tenggat waktu di hari itu. Hanya berbeda jamnya saja.

Aku ingat percakapan kami yang sangat berbeda dengan kondisi sekarang.

"Kalo ngantuk, ya, tidur. Kenapa kamu malah minum kopi padahal dadamu udah sakit gitu?" Raut wajah Bang Jun saat mengatakan ini tidak begitu jelas kulihat karena aku sibuk dengan laptop. Hanya, dari suaranya, aku menangkap ada kekhawatiran dalam dirinya. Mungkin aku ge-er, tapi, bodo amat.

"Pelanggan adalah raja. Suka-suka aku, dong, mau pesen apa. Tugas Abang, kan, cukup bikinin pesanan. Udah. Risiko kutanggung sendiri."

"Tapi, Laras—"

Aku mendengkus dan menatap Bang Jun dengan kesal. "Kamu mau ngerjain laporanku biar aku bisa tidur? Hah?"

Kami pun bertatapan selama beberapa saat dan aku menyadari bahwa dahi Bang Jun berkerut. Tampaknya, tadi aku tidak ge-er karena mata lelaki ganteng di hadapanku ini benar-benar menyampaikan bahwa dirinya khawatir. Namun, sisi lain diriku mempertanyakan, untuk apa dia khawatir pada orang yang bukan siapa-siapanya?—iya, ini waktu kami baru kenal sebulan kurang.

Bang Jun mendesah dan melengos pergi. Sepertinya, sih, dia mengalah karena ucapanku memang benar. Pelanggan adalah raja.

Namun, tak lama berselang, segelas americano 4 shots disajikan di samping laptopku. "Puas?" Kata ini diucapkan penuh dengan kekhawatiran dan mungkin kekesalan padaku karena aku bandel.

Berbeda dengan saat ini. Entah mengapa, aku merasa kata puas yang diucapkan Bang Jun tidak memiliki emosi apa pun selain kesal. Iya, berarti dia masih kesal denganku.

"Apa segitu keselnya sama aku, Bang? Aku dicakar Tamtam juga, loh." Aku masih berusaha merajuk.

Bang Jun menghentikan aktivitasnya dan meletakkan sendok. Ia menatapku dengan tatapan yang membuatku rasanya ingin mundur dan menjauh tanpa mendengarkan segala yang akan terucap. Tapi, mana bisa?

"Larasati, kamu tau kan gimana perjuanganku buat Tamtam? Dia yang hampir nggak bisa jalan karena kakinya hampir patah, dia yang dateng ke aku berdarah-darah, sampai sekarang jadi sosok yang nemenin aku dari awal banget aku buka usaha sampai sekarang. Tamtam berharga banget buat aku. Kamu tahu itu, tapi kamu sama sekali nggak peduli sama Tamtam."

"Aku peduli, Bang. Kemarin itu—"

"Kalo kamu peduli, kamu bakal memperlakukan Tamtam seperti aku memperlakukan dia. Kalo sama Tamtam kamu aja kayak gitu—lebih prioritasin dosenmu dibanding Tamtam, gimana dengan aku? Pasti aku juga jadi nomor dua, kan, walaupun aku udah jadi suami kamu?"

"Tapi, kamu juga nomor duain aku setelah Tamtam. Kamu sadar nggak, sih, Bang?" Dadaku mulai sesak dan seperti akan meledak.

Bang Jun sedikit tersentak dan menatap ke meja. "Bukannya kamu yang minta jadi ibunya Tamtam?"

"Itu karena aku mau hidup sama kamu dan aku tahu kamu itu penyayang, Bang. Aku cuma butuh sayangnya kamu dan yang pertama sebelum Tamtam."

"Laras, kamu, kita ini manusia. Apa-apa bisa sendiri. Sakit bisa ke dokter sendiri, makan juga bisa langsung beli sendiri. Tamtam itu kucing. Masa kamu iri sama kucing? Aku bukan perhatian dan sayang ke perempuan lain, tapi ke kucing. Kalo bukan kita, manusia, yang ngerawat kucing, gimana caranya kucing ngobatin diri sendiri? Apa kamu lebih milih aku sama perempuan lain?"

Aku tahu itu pertanyaan retoris, tapi aku tetap tidak bisa untuk tidak melawan. "Tapi di rumah kopi kamu juga mau aja digoda sama perempuan-perempuan genit itu!"

"Mereka nggak genit, Larasati. Mereka pelangganku. Mereka perhatian sama Tamtam juga. Nggak mungkin, kan, aku nyuekin pelanggan-pelangganku? Apalagi yang mereka tanyakan itu Tamtam, bukan aku."

"Tapi kamu nyuekin aku!"

"Laras, kamu sendiri yang minta buat jadi ibunya Tamtam, nemenin aku ngerawat Tamtam. Kamu nggak lupa, kan, pembahasan ini sebelum kita menikah?"

"Jadi, kamu cuma anggep aku ibunya Tamtam, bukan istri kamu yang juga butuh diperhatikan dan butuh dinomorsatukan?" Mataku mulai panas dan rasanya ingin kubanting semua barang di hadapanku.

"Aku cuma nurutin kemauanmu. Dan ... Aku saat itu juga senang karena kamu bilang kayak begitu karena aku pun butuh."

"Butuh aku atau butuh ibu buat kucingnya Abang?"

Bang Jun terdiam. Ia berkedip beberapa kali dan sebelum dia berbicara lagi—karena aku sudah tidak ingin mendengar pembelaannya untuk Tamtam—aku mendahuluinya untuk berbicara. "Kalo dulu aku minta buat jadi istri kamu dan bukan ibunya Tamtam, apa semua bakal berbeda."

"Iya."

Gila, cepat sekali Bang Jun menjawab. Tanpa jeda, loh!

"Bedanya?" tanyaku dengan tenggorokan yang serak.

"Kita ...." Bang Jun menatapku ragu. Ia membereskan makanannya dan berdiri. "Kita mungkin nggak akan menikah."

Aku terdiam di tempat, membeku, terlebih melihat suamiku langsung pergi begitu saja setelah mengatakan hal yang sungguh membuat hatiku rasanya teriris-iris.

Aku paham maksud Bang Jun. Aku tahu dia sayang sama Tamtam yang sudah menemani dia dari awal sampai sekarang. Berbeda denganku yang baru dikenalnya setelah usaha rumah kopi berjalan. Tapi, ini tidak masuk akal. Aku tidak bisa menerima bahwa aku dibandingkan dengan kucing. Aku tidak bisa menerima bahwa ternyata aku hanya dinikahi karena aku bilang ingin jadi ibunya Tamtam.

Apa dia tidak mengerti bahwa itu sekadar kode supaya dia tahu bahwa aku ingin jadi pendamping hidupnya? Apa seharusnya aku bilang bahwa aku ingin jadi istrinya tanpa menjadi perawat kucing? Emangnya dia mau melepas Tamtam demi perempuan?

Ujungnya, kurasa dia akan tetap memilih kucing hitam itu.

"Mmreeaw."

Argh!

Aku benci suara itu.
Aku benci melihat si bulu hitam ada di hadapanku dengan wajah mengejek.
Aku benci gara-gara dia, aku bertengkar dengan Abang.

Kalau boleh, aku ingin dia menghilang dari hidup Bang Jun dan cukup aku saja yang ada dalam hidup suamiku!

Mataku yang panas karena menahan tangis, menatap sinis si bulu hitam dalam diam sampai dia berlalu, menghilang dari pandanganku.

***

~1143 words~


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro