19 || Tolong, Berhenti Berpikir!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepanjang malam, aku tidak bisa tidur. Apakah hanya aku saja yang merasa aneh? Bagaimana bisa Bang Jun tertidur pulas setelah membuat kejutan dengan keinginannya menjalankan konsultasi pasangan?

Meski aku berusaha tidur dengan memejamkan mata, pikiran-pikiran liar terus muncul dan saling bersahutan. Berbagai dugaanku tentang alasan di balik keputusan Bang Jun pun muncul tanpa bisa dikendalikan.

Jangan-jangan, Bang Jun berhasil terbujuk oleh ucapan-ucapan Mas Chandra yang selalu tepat sasaran. Kalau benar ini kemungkinannya, sungguh, aku akan sangat berterima kasih pada Mas Chandra dan membelikannya sate padang terenak sepanjang jalan kompleks rumah. Sate padang di sini nggak boleh dilewatkan. Bumbu kentalnya yang penuh rasa, ketupatnya yang lembut, dan tentu saja daging sapinya yang meleleh di lidah. Entah berapa lama dimasak sampai bisa meleleh sebegitu enaknya.

Kan, jadi laper malem-malem.

Atau jangan-jangan, Bang Jun sebegitu cemburunya sampai mau bikin keributan dengan dalih konsultasi pasangan. Tapi, sepertinya tidak mungkin, sih. Wajah lelahnya saat meminta dijadwalkan konsultasi bukanlah wajah seorang yang sedang memendam marah. Lebih ke ... apa, ya? Putus asa? Tapi, kenapa? Apa Bang Jun sudah putus asa dengan rumah tangga kami? Apa sudah tidak bisa diselamatkan lagi?

Astaga.

Aku bergidik ngeri memikirkan kemungkinan ini. Bagaimana bisa otakku sampai ke pikiran itu? Padahal, Bang Jun yang kukenal bukanlah seorang laki-laki yang bisa dengan mudah melepaskan sesuatu yang sudah jadi miliknya. Ah, apa karena itu dia putus asa dan ingin memperingatkan Mas Chandra supaya tidak mengusikku? Ah, tidak. Tidak mungkin. Tega sekali aku berpikir buruk tentang suamiku sendiri. Apa ini dampak dari kurang kasih sayang dan kalah saing dengan kucing?

Aku jadi ingat. Sudah lama aku tidak meminum caramel macchiato khas Bang Jun. Manis, tapi tidak terlalu manis. Kopinya wangi dan sangat terasa menyegarkan pikiran. Pahit pun tidak terlalu pahit. Ya, gimana mau pahit kalau aku minumnya di depan Bang Jun yang tersenyum manis.

Tapi, itu dulu.

Sudah lama juga nggak lihat senyum manisnya Bang Jun.

Aku memutar posisi badanku. Tadinya membelakangi Bang Jun, sekarang aku menghadapnya yang membelakangiku. Punggung yang lebar itu, rasanya ingin kupeluk, tetapi kerenggangan ini membuat lenganku hanya bertahan di udara tanpa menyentuh punggung Bang Jun. Aku takut. Dan aku bingung kenapa aku takut.

Aku takut Bang Jun tidak nyaman karena hubungan kami masih belum sepenuhnya baik. Belum ada kontak fisik berarti selain aku yang membantunya bangun atau memapahnya ketika ia kesulitan dengan gips di kaki. Kalau ada istri yang berbakti dengan membantu suaminya mandi ketika suaminya kesulitan bergerak sendiri, aku bahkan hanya diizinkan mengantar Bang Jun ke kamar mandi, memberikan kursi untuknya duduk, lalu dia menyuruhku keluar.

Astaga.

Sepertinya waktu hari pertama kami menikah, Bang Jun oke-oke saja. Bahkan menawarkan untuk mandi bersama. Hanya, akunya masih malu jadi saat itu kutolak. Sekarang, aku menyesali keputusanku yang menolak tawarannya waktu itu. Memang, tidak ada yang tahu bagaimana takdir membawa hubungan rumah tangga ini. Aku pun menghela napas panjang dan kembali berputar membelakangi Bang Jun.

Saat aku melihat ke jendela kamar, entah bagaimana ingatan tentang cerita teman-teman di kampus membuat pikiran paling liar dan parah muncul.

Jangan-jangan, Bang Jun mau menceraikanku, jadi dia butuh surat keterangan hasil konsultasi ke psikolog. Dia ingin menunjukkan bahwa aku bukanlah istri yang baik karena tidak sebaik dirinya dalam merawat Tamtam. Atau karena aku terlalu sibuk bekerja dan kurang memberikan waktu untuknya. Tapi, bukannya dia yang lebih banyak memberi perhatian pada Tamtam? Setiap aku bekerja di rumah kopi pun, dia jarang menemani dan menghiburku seperti awal kami berkenalan. Harusnya, kalau mau minta cerai, aku dong yang berhak menuntut cerai!

Ah, tidak-tidak. Amit-amit. Punya anak saja belum, jangan sampai cerai astaga. Ya ampun, Tuhan, belum ada setahun kenapa pernikahan ini sudah banyak ujiannya, sih? Gimana dengan tahun kedua, ketiga, dan seterusnya? Kata orang, lima tahun pertama pernikahan adalah tahun-tahun penuh tantangan yang akan merekatkan atau justru merenggangkan hubungan pernikahan. Banyak juga yang cerai di usia pernikahan kurang dari lima tahun hanya karena perbedaan karakter.

Astaga. Aku baru sadar aku terlalu sering bilang Astaga.

Ya, tapi, kan, perbedaan karakter ada untuk setiap pasangan menemukan titik temu dan kompromi. Seperti aku dan Bang Jun saat ini, kurasa kami sedang dalam proses untuk itu. Namun, entahlah. Apakah ini akan berakhir damai atau ... Amit-amit, nggak boleh mikir begitu, Sha. Ayo, perjuangan pernikahan ini. Toh, Bang Jun sudah diajak konsultasi pasangan, kan? Siapa tahu dia memang ingin berubah bersama, berproses bersama, dan siapa tahu memang dia pun ingin mempertahankan pernikahan ini bersamaku.

Oke. Aku mencoba untuk tenang dengan menarik napas panjang dan mulai tertidur perlahan. Entah berapa lama aku tertidur—tapi, rasanya baru sepuluh menit—aku terbangun karena ada suara-suara kesibukan di dekatku. Seperti suara angin besar, tapi aku sadar aku sedang tidak di pantai yang punya suara angin sebesar itu. Mataku masih terasa berat untuk dibuka. Sepertinya, matahari sedang bahagia karena sinarnya yang masuk ke jendela sangat cerah sekali. Sebegitu cerahnya sampai aku menggunakan ungkapan hiperbolis.

"Jadi konsul?"

Konsul? Pisang susu? Kenapa aku malah terbayang pisang susu? Sebentar, aku harus mengumpulkan kesadaranku.

"Larasati?"

"Hm." Aku menjawab sekenanya sambil berusaha keras membuka mata. Namun, tiba-tiba seperti ada yang menarik lenganku. Rasanya seperti melayang dari kasur dan aku bisa merasakan tubuhku sudah tidak lagi menempel di benda berkapuk empuk itu. Ada yang hangat di lenganku dan bisa kupastikan ini bukan setrikaan. Oh, ya, aku ada tanggungan baju yang harus disetrika hari ini. Gara-gara Bang Jun di rumah, aku jadi menunda-nunda karena kupikir cucian baju akan sedikit.

Nyatanya, semakin menumpuk dan menggunung.

"Larasati, ayo. Jadi konsultasi, kan?"

"Hm? Konsultasi apa, ya?" Mulutku bergerak begitu saja.

Saat kumembuka mata bulat-bulat, aku seperti halusinasi. Bang Jun ada di hadapanku, menggenggam lenganku, dan kalau tidak salah aku tadi mendengar ia tertawa kecil. Langsung aku tersentak dan kesadaranku terkumpul dengan utuh.

Aku berkedip beberapa kali dan mengusap muka dengan tangan kosong. Barulah aku bisa benar-benar melihat dunia dengan lebih terang.

Namun, sepertinya aku memang berhalusinasi. Bang Jun yang tadi kulihat ada di depanku sambil menggenggam lenganku, sekarang ada di depan lemari baju dan sedang memilih pakaiannya.

"Kayaknya tadi aku denger kata konsultasi-konsultasi itu apa, ya?" gumamku pada diri sendiri yang sepertinya terlalu keras untuk disebut sebagai gumaman.

"Konsultasi pasangan. Aku sama kamu."

"Oh, iya! Ya ampun. Maaf, Bang. Aku semalem nggak bisa tidur, jadi ...."

"Hm. Bolak-balik terus di kasur."

Lho, Bang Jun tahu?

"Hehe. Aku mandi dulu. Sebentar, kok. Cepet!" ujarku dan langsung berlari menyabet handuk, masuk kamar mandi, dan bersiap dalam sepuluh menit. Sungguh persiapan paling kilat sepanjang masa hidupku. Aku pun tidak menyangka. Tapi, sepertinya memang semua bisa terjadi ketika dalam hati ada harapan dan ekspektasi yang tidak ingin dihancurkan hanya karena kesalahan sepele.

Aku dan Bang Jun pun berangkat ke biro konsultasi Mas Chandra. Kami janjian dengan Mas Chandra di siang hari dan aku baru bangun satu jam sebelum waktu janjian. Pertanyaannya, selama apa aku tidur? Padahal aku merasa baru sepuluh menit, tapi tiba-tiba sudah siang. Aneh. Ditambah lagi aku lupa dengan agenda konsultasi hari ini. Astaga. Bisa-bisanya overthinking membuat pikiran liarku lebih menguasai dibandingkan ingatan terkait agenda paling penting dalam hidup pernikahan kami.

Sepanjang perjalanan, dengan motor kesayangan Bang Jun, tidak ada obrolan yang terjadi antara aku dan lelaki berjaket hitam ini. Hingga kami tiba di biro dan disambut dengan seorang perempuan berbaju batik yang mengenalkan diri sebagai asisten biro, kami masih diam. Bahkan duduk di sofa menunggu dipanggil masuk pun, akhirnya kami sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Selamat siang, terima kasih, ya, sudah menunggu."

Aku dan Bang Jun refleks berdiri saat mendengar dan melihat Mas Chandra muncul di depan kami. "Siang, Mas," jawabku sedikit canggung sambil melirik Bang Jun yang wajahnya datar-datar saja.

"Oh, ya, sebelum kita mulai sesinya berdua, saya perlu sesi untuk masing-masing dulu, ya. Siapa yang mau duluan?"

Aku dan Bang Jun lirik-lirikkan dan Bang Jun terlihat menggeleng pelan.

"Kami ikut Mas Chandra saja baiknya gimana."

"Oke, kalo gitu, boleh saya ngobrol sama Mas Juni dulu?"

"Hah?"

Aku pun sama kagetnya dengan Bang Jun yang hampir menjatuhkan ponsel yang mau ia masukkan ke saku celana. Tapi, ya, karena itu permintaan Mas Chandra yang, menurutku, lebih tahu kebutuhan untuk proses ini, aku pun tidak menanyakan alasannya.

Setelah Bang Jun dan Mas Chandra masuk ke ruangan berpintu putih di ujung ruangan, aku kembali duduk dan memainkan ponselku. Hanya saja, kondisi itu tidak bertahan lama.

Mataku beralih dari ponsel dan menatap pintu putih di ujung sana dengan pikiran-pikiran liar mulai menguasai.

Mengapa Mas Chandra meminta Bang Jun duluan? Mengapa aku tidak boleh tahu apa yang mereka bicarakan? Mengapa harus pisah-pisah dan tidak langsung bersama? Apa Mas Chandra jadi memihak ke Bang Jun dan akan menyalahkanku atas semua hal yang terjadi?

***

~1433 words~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro