21 || Lepas Perlahan, Ringan Bersama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Melihat Bang Jun menangis untuk pertama kalinya—dan hampir 20 menit sendiri tangisannya itu memenuhi ruang konsultasi—aku tidak sampai hati untuk menanyakan apa yang saat ini ia pikirkan. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa sikap Bang Jun pada Tamtam, yang juga berdampak padaku, memiliki alasan yang sebenarnya menjadi alasan yang kuharapkan.

Bang Jun tidak ingin kehilangan aku.

Hanya saja, aku masih tidak habis pikir kalau caranya mengungkapkan rasa tidak ingin kehilangan Larasati adalah dengan bersikap dingin dan lebih peduli pada si kucing hitam. Astaga, emangnya Bang Jun nggak mikir, ya, kalo istri dicuekin suami, istri juga bisa kabur ke cowok lain? Mana kemarin Kevin tiba-tiba kembali datang tanpa diundang. Sekali lagi, persis seperti jailangkung.

Ya, sudahlah. Setidaknya sekarang aku tahu alasan dibalik perilaku Bang Jun yang selalu kukeluhkan selama ini. Mendengar bahwa kehilangan Tamtam mungkin menyakitkan, tetapi tidak akan semenyakitkan kehilangan aku saja, sudah berhasil meluluhkan segala kemarahan dan kecemburuan yang ada dalam diriku. Walaupun begitu, aku juga nggak mau kehilangan Tamtam. Akhir-akhir ini, aku mulai sayang sama si kucing hitam nan garang itu. Dia sudah mulai mau ndusel-ndusel ke kakiku. Entah kesambet setan kucing dari mana. Eh, malaikat kucing, deng.

Setelah tangisan Bang Jun mereda, aku mulai melonggarkan pelukanku dan mengelus-elus punggungnya. Mas Chandra kembali mengambil alih sesi konsultasi setelah sekian lama ia berdiri, menepikan pembatas ruangan, duduk, dan berdiri lagi di pojok ruangan.

"Mas Juni, mungkin saat ini lelah karena sudah mengeluarkan emosi yang sejak sekian lama ditahan. Jika ada yang ingin disampaikan kepada saya atau ada hal-hal yang dirasa kurang nyaman, bisa disampaikan, ya."

Aku menatap Bang Jun yang masih menunduk dan berusaha mengatur napasnya.

"Coba sekarang tarik napas yang dalam dulu... Iya, satu, dua, tiga, empat. Tahan sebentar dan embuskan lewat mulut." Mas Chandra memandu Bang Jun untuk mengatur napas selama beberapa putaran.

Aku, yang ternyata dari tadi juga menahan napas dan tidak bernapas dengan benar, akhirnya refleks ikut menarik napas panjang, dalam, dan mengembuskannya seperti itu adalah napas terakhirku. Wah, baru ini aku merasakan bernapas begitu menenangkan dan melegakan. Kulihat, Bang Jun pun sudah mulai teratur dan bernapas seperti biasa. Ia mengusap sisa-sisa air mata di sudut matanya. Rasanya, aku ingin mengusap itu dengan penuh kelembutan, tetapi aku terlalu takut. Aku masih takut Bang Jun tidak nyaman dengan apa pun yang kulakukan. Terlebih lagi, aku baru tahu bahwa Bang Jun khawatir ia akan bergantung dengan ungkapan sayang yang kulakukan lewat perilaku maupun ucapanku.

Padahal, siapa juga yang mau ninggalin abang ganteng nan penyayang (kucing, on the way sayang aku beneran). Rugi banget kalo ninggalin pas lagi sayang-sayangnya. Iya, nggak, sih? Iyain aja, deh. Aku juga penasaran habis ini apa bakal ada perubahan dalam diri Bang Jun—dan aku mungkin?

"Sepertinya, cukup dulu, Mas."

Tiba-tiba suara serak-serak seksi punya Bang Jun keluar setelah sekian lama. Terakhir kudengar suara ini waktu dia bangun tidur dan kecapekan tingkat dewa selepas resepsi pernikahan kami. Mendengar suaranya itu, tiba-tiba jantungku berdebar lebih cepat.

"Baik, lelah juga, ya, habis melakukan hal yang sebelumnya sangat menakutkan untuk dilakukan. Mungkin kita cukupkan dulu sesi untuk hari ini dan bisa kita jadwalkan proses berikutnya di hari lain, ya?"

Saat Bang Jun mengangguk dengan lemas, rasa penasaranku tidak bisa kutahan lagi. "Jadi, apa pertemuan berikutnya akan seperti ini lagi, Mas Chandra?"

Sebenarnya, di balik pertanyaan itu aku ingin bilang kalau aku juga mau menyampaikan banyak hal ke Bang Jun. Aku tidak yakin bisa menyampaikannya ketika kami berdua saja. Jadi, barangkali seperti Bang Jun yang bisa menyampaikan seluruh uneg-unegnya dengan didampingi oleh Mas Chandra, aku pun ingin melakukan hal yang sama.

"Bisa iya, bisa juga tidak. Kita lihat progresnya nanti, Mbak Laras. Ada yang ingin ditanyakan sepertiniya, ya?"

Aku berpikir keras dan menimbang-nimbang apakah perlu kusampaikan maksudku dengan sejelas mungkin. Hanya saja, dalam rentang waktu setelah konsultasi ini sampai konsultasi berikutnya, pasti ada hal baik yang akan terjadi, kan?

"Nggak, Mas. Saya ikut prosesnya saja."

Kulihat Mas Chandra tersenyum dan mengangguk. "Setelah ini, mungkin Mas Juni dan Mbak Laras akan merasa canggung atau bahkan bisa menjadi lebih terbuka untuk membicarakan hal-hal yang belum bisa dibicarakan sebelumnya. Jika ada kekhawatiran terkait respons dari pasangan, coba diingat proses tadi, ya. Siapa tahu bisa membantu dan menjadi salah satu cara yang bisa digunakan juga di rumah."

"Kami nggak punya pembatas ruangan, Mas," celetukku refleks dan aku langsung merutuki diri karena ... Ya, ampun, kan bisa pakai cara lain. Satu di balik dinding kamar, satunya di balik pintu misalnya? Astaga, Laras. Malu-maluin banget, ih.

"Pasti ada cara lain, seperti yang satu ada di dalam kamar, satunya di balik pintu misalnya. Namun, jika sudah melakukan proses itu, alangkah lebih baik setelahnya Mas Juni dan Mbak Laras duduk bersama untuk mendiskusikan persoalan dengan lebih terbuka, ya."

Aku dan Bang Jun hanya mengangguk-angguk ringan. Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Mas Chandra itu sudah kurasakan sejak sekarang. Aku canggung. Banget!

Ini kami pulang naik motor, boncengan berdua. Saat berangkat saja canggung, apalagi saat pulang setelah semua hal yang terjadi di ruang konsultasi? Aduh, aku harus bersikap gimana? Haruskah aku bertanya pada Bang Jun tentang penjelasan lebih jauh soal apa yang ia katakan di ruang konsultasi? Atau aku yang perlu bercerita lebih dulu soal perasaanku? Gimana kalau Bang Jun malah risih karena ditanya-tanya dengan kondisinya yang masih sensitif?

"Larasati."

Aku sedikit tersentak saat mendengar Bang Jun memanggilku. Hampir saja helm di tanganku lepas dan tidak jadi terpasang di kepala. "Hm?"

"Kalau mau ada pertanyaan, nanti kita ngobrol dulu aja, ya. Di jalan, aku nggak mau ngomong dulu."

Mataku berkedip berulang kali dengan cepat. Ini beneran Bang Jun? Wah, dia ngajak ngobrol duluan setelah sekian lama? Dia tahu kalo aku banyak pertanyaan? Ya, ampun, Abang. Kayaknya aku jatuh cinta ulang ke kamu, Bang.

Sebegitu gugupnya aku sampai Bang Jun harus menepuk lenganku sebagai tanda aku sudah bisa naik ke jok motor bagian belakang. Ya, iyalah. Ya kali duduk di jok depan. Kayak bocah aja nanti ngebonceng di depan. Haha, Laras, kayaknya kamu kepincut Bang Jun sampai jadi rada hilang kewarasan gini.

Mau bilang nggak kepincut lagi juga gimana, ini Bang Jun tiba-tiba auranya jadi tampan menawan sejagad pangeran kahyangan. Beda banget dengan saat kami datang ke ruang konsul tadi. Agak berlebihan kalau aku bilang Bang Jun jadi makin wangi. Bahaya. Saat ini, aku sangat tidak ingin ada orang lain yang kepincut sama suamiku yang paling tampan menawan sejagad kahyangan ini.

Aku menuruti kemauan Bang Jun untuk diam selama perjalanan. Semua aman, tenang, damai, tentram, sampai saat kami tiba di halaman rumah kopi. Seorang lelaki tinggi dengan kemeja putih dan celana hitam bak salesman berdiri dengan kedua tangan terlipat dan kepala yang tertunduk. Mobil Alphard hitam juga terparkir di sana. Aku turun dari motor dengan ragu. Rasa-rasanya, aku kenal ini siapa. Tapi, masa iya, Kevin?

"Ah, Sasha!"

Astaga, aku ingin mengumpat. Benar saja. Mau ngapain Kevin dateng lagi ke sini? Aduh, tolonglah, aku sama Bang Jun ini baru saja mau baikan dan kembali menjalin hubungan yang hangat. Kenapa utusan Frozen malah dateng? Gimana kalo suasananya membeku lagi dan rumah kopi jadi kerajaan es?

"Sha, aku nungguin kamu dari tadi." Kevin menghampiriku dan Bang Jun. Matanya melirik ke arah Bang Jun sekilas dan aku bisa merasakan sengatan listrik yang hampir menimbulkan korsleting dari kedua lelaki itu.

"Nungguin?" tanyaku dengan datar, tapi ada sinisnya sedikit. Males banget kalo gara-gara ini mantan satu, aku sama Bang Jun jadi ada problem lagi.

"Iya. Em, ini kalian ... Baikan?"

Aku menaikkan alis. "Maksudmu?"

"Bukannya kemarin sempet ribut kayak orang mau cerai?"

"Hah?" Hah-ku ini benar-benar seperti orang yang membuang sisa napas terakhir dan seperti orang yang berteriak di tepi tebing. Gila. Bisa-bisanya Kevin ngomong begitu di depan Bang Jun.

Namun, belum sempat aku menjawab, Bang Jun maju dan berdiri di depanku. Sepertinya, ia melipat kedua tangannya ke depan karena dari belakang kelihatannya, sih, begitu.

"Ada urusan apa sama istri saya?"

Oh, wow! Bang Jun nyebut istri saya? Kok aku jadi semakin berdebar-debar. Ini suasananya seperti ayam mau adu jotos.

"Oh, enggak. Kayaknya, nggak jadi cerai, ya."

Aku nggak mau ge-er, tapi ini mukanya Kevin kenapa kayak orang kecewa banget?

"Emang nggak ada kata laknat itu dalam kamus kami. Anda ngapain?"

Kevin mendengkus. "Okelah, kalau gitu. Saya mau nyampein sesuatu aja ke Sasha. Boleh?"

Bang Jun diam selama beberapa saat sebelum akhirnya menggeser tubuhnya ke samping kiri. Ia memberi kode dengan anggukkan kepala ringan pada lelaki berbaju salesman tajir melintir itu.

"Sasha, aku nggak bohong kalau aku masih sayang sama kamu. Mungkin lebih dari suamimu yang sekarang. Dulu, aku pergi tanpa pamit karena aku harus kemoterapi di luar negeri. Ada kanker dalam tubuhku, turunan dari orang tua, dan perlu diatasi sebelum memburuk. Aku nggak mau kamu khawatir, jadi ... Aku pergi."

Ya, Tuhan. Badanku tiba-tiba gemetar.

"Sekarang, aku sudah sembuh total berkat pengobatan yang kulakukan beberapa tahun terakhir. Tapi, karena kamu sudah bersuami, mungkin aku memang perlu melepas kamu. But, kalau suamimu ini nyakitin kamu lagi, bilang, Sha. Aku bakal jemput kamu dan kamu nggak akan pernah ngerasa sakit lagi."

Sepertinya, dia memang utusan Frozen. Dia berhasil membuatku beku di tempat dan mataku lekat menatapnya. Sejujurnya aku takut Bang Jun melihat, tetapi aku tidak bisa menahan kumpulan air yang membuat mataku berkaca-kaca.

"Semoga kamu bahagia, ya, Sha." Kevin memegang pundakku dan menepuknya lembut. Lalu, ia berlalu.

Aku bisa melihat Bang Jun kembali berdiri di hadapanku, menghadapku. Kepalanya melongok menyaksikan kepergian Kevin di belakangku. Sedangkan aku, tentu saja tidak membalikkan badan. Perasaanku terlalu campur aduk. Pikiran-pikiran tentang dibuang, ditinggalkan, diabaikan, dan kasih sayang yang dulu Kevin berikan tiba-tiba mengisi otakku.

Tidak...

Aku sudah punya Bang Jun. Aku nggak boleh seperti ini.

"Larasati?"

Tidak, aku benar-benar tidak boleh merasakan kebimbangan ini karena Bang Jun pun sangat menyayangiku. Dengar, suaranya memanggil namaku saja sangat lembut, bahkan lebih menyejukkan dibandingkan cara Kevin memanggilku.

Di saat aku hampir oleng, Bang Jun mendekapku dan memelukku dengan erat. Pelukan pertama kali dari Bang Jun setelah sekian lama. Dan air mataku tumpah ruah di dadanya, juga untuk pertama kali setelah sekian lama.

***

~1668 words~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro