01. Ini Bukan Awal Perjalanan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Time is at a standstill
Standing on this road

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

Pernahkah kau merasa, bahwa eksistensimu di muka bumi ini tak sekadar menjalankan peran sebagai suatu substansi yang hanya datang, pergi, tergantikan, lalu dijemput ketiadaan makna semata?

Tala merasakannya. Panggilan semesta yang bergema di setiap peredaran tubuhnya.

"Aku, aku!" Di tengah keheningan siswa lain yang takut ditunjuk, Tala mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Menyadari tidak ada lagi yang berminat menjawab, Tala tersenyum lebar. Puas sekali. "Jawabannya 1.1 m/s."

Beberapa anak mengembuskan napas lega, merasa terselamatkan. Raut ketegangan mulai pudar. Atmosfer kelas terasa tidak semengerikan sebelumnya. Syukurlah. Meski menyebalkan, sering mengingatkan tugas pada guru, dan acap kali bertanya di kelas sampai korupsi waktu istirahat, setidaknya Tala bisa diandalkan dalam kondisi begini.

Tanpa perlu diminta, Tala sudah kembali angkat suara. "Ini materi fluida dinamis dari semester sebelumnya. Tinggal dihubungkan sama rumus debit aja." Jari telunjuk Tala bergerak lincah di udara, menuliskan angka-angka tak terlihat. "Ini, kan, sudah diketahui volume dan waktunya, ya. Nah, kita tinggal cari debit sama luas permukaannya."

Berbanding terbalik dengan Tala yang begitu antusias membahasakan cara pemecahan soal di kepalanya, anak-anak lain justru sudah menguap berkali-kali sambil melirik jam dinding tiada henti. Satu-dua siswa di pojok belakang mulai menunduk, terkantuk-kantuk. Sementara itu, anak di barisan tengah sedang bersusah payah menahan kedua matanya tetap terbuka dan tidak berkedip terlalu lama. Jam istirahat masih di mana, ya? Belum kelihatan juga.

"Volumenya dibagi dengan waktu. Rumus debit itu kecepatan dikali luas permukaan. Jadi, jika debitnya sudah diketahui, tinggal bagi saja dengan luas permukaan untuk menghasilkan kecepatan."

Di depan kelas sana, Bu Yanti bertepuk tangan satu kali. Kedua sudut bibirnya mengembangkan senyuman bangga. "Sudah, sudah. Jangan bikin temanmu makin bingung, Bentala." Wanita yang berusia kepala tiga itu menyodorkan spidol di tangan. "Langsung kerjakan saja di papan tulis, sini."

Kedua manik cokelat terang milik Tala membulat, dengan binar-binar yang tak lekang menghiasi. Lekas saja Tala maju ke depan kelas. Tak lama, papan tulis itu sudah dipenuhi perhitungan dari rumus turunan. Selesai. Tala berdiam diri sejenak untuk mengamati hasil pengerjaannya sendiri. Setelah mengangguk dan dirasa tidak ada kesalahan, Tala kembali ke bangkunya.

Bu Yanti bertepuk tangan, mengapresiasi. Cukup terdengar ganjil karena keadaan kelas yang sunyi senyap. "Bagus. Tahun ini mau coba ikut KSN, Tal?"

Kompetisi Sains Nasional. Itu tujuan Tala sejak lama! Tahun lalu, ia tidak terpilih untuk menjadi delegasi SMAN Persada Bandung. Selama angannya belum tercapai, mana mungkin Tala berhenti di tengah jalan, 'kan? Spontan saja, Tala mengangguk cepat. "Pasti, Bu!"

Perlahan-lahan,Tala melirik anak lelaki pemilik bangku yang persis di sebelah kirinya, dekat jendela. Ketika laki-laki itu menoleh ke arahnya, Tala langsung memasang seringaian menyebalkan dengan lidah yang terjulur ke luar. Dikira, cuma kamu yang bisa? Begitu maksud tatapan mencemooh milik Tala.

Lelaki dengan name tag bertuliskan Langit itu hanya bisa menahan tawa sambil mengangkat bahu. Biasalah.

Bel tanda jam istirahat sudah berbunyi nyaring memenuhi setiap penjuru SMANSABA. Sesi PELAKOR, Pecahkan Latihan Soal dan Raih Skor, teknik pembelajaran khas dari Bu Yanti itu pun otomatis diakhiri. Tepat setelah guru fisika tersebut melangkahkan kaki keluar kelas, anak-anak di sana langsung ribut bersorak girang.

Tala mengempaskan upil yang baru diburunya ke sembarang arah, lantas meregangkan pundak yang terasa pegal. "Lang, ke kantin, yuk!"

Seperti biasanya, Langit hanya tersenyum simpul, lalu bangkit dari duduknya. Tanpa kata, tanpa bahasa.

Sebelum benar-benar pergi, Tala mengambil sebuah buku dari dalam tasnya terlebih dahulu. Tala terus mendekap buku tebal itu sambil berdesakan di koridor. Nasib baik, mereka berhasil menemukan kursi yang masih kosong di food court. Tala mengibas-ngibaskan tangan di depan muka. Gerah! Cuaca hari ini sedang sensitif sekali, sepertinya. "Mau pesan apa, Lang?"

Ditanyai begitu, Langit menggeleng singkat. "Enggak usah. Tala aja."

"Oke. Dah!" Tala langsung lari meninggalkan Langit seorang diri, berbaur dengan lautan manusia yang menyesaki kantin.

Tak peduli meski bersikutan dengan siswa lain, Tala berteriak, "Mang Dod, Mang Dod, mi ayam pangsit satu!" Gadis itu tiada henti merusuhi Mang Dod untuk segera menyelesaikan pesanannya. Jangan lupakan buku biologi di tangan yang acap kali diliriknya. "Leukosit itu sel darah putih, fungsinya membinasakan patogen asing seperti ... Mang Dod, aku dulu!"

Apa daya, penguasa food court di seluruh tanah SMANSABA itu malah menyerahkan semangkuk mi ayam pada anak kelas sepuluh lebih dulu.

Tala keki setengah mati. Meski begitu, ia tetap meneruskan hafalannya. "Bakteri hijau-biru disebut cyanobacteria. Ada yang uniseluler seperti Chrococcus dan Anacystis. Ada yang membentuk koloni seperti Merismopedia, Nostoc, dan Microcystis. Ada pula yang berbentuk benang, seperti Oscillatoria, Microcoleus, dan Anabaena."

Pening dengan suara cempreng Tala juga betapa hebohnya anak itu ketika mengabsen jenis-jenis bakteri dalam volume tinggi, Mang Dod pun menyerahkan mangkuk selanjutnya pada Tala. Tak apalah. Demi kemaslahatan mental dan telinga.

Demi mendapati semangkuk mi ayam dengan kuah kari yang masih menguarkan asap hangat itu, Tala nyengir lebar. Anak itu kembali berlarian menuju bangku kantin di pojokan. Detik berikutnya, Tala sudah asyik dengan dunianya sendiri.

"Tiga kelompok archaebacteria meliputi metanogen, halofil, dan termoasidofil. Empat filum protozoa ...." Lupa. Tala mengintip buku paketnya sekilas, lantas menutupnya kembali secara anarki dan beringas. Dengan bibir bergerak-gerak melafalkan materi yang diingatnya, Tala menumpahkan sesendok penuh sambal ke dalam mangkuknya, lantas menjejalkan sesuap mi ke dalam mulut.

Di hadapannya, Langit tak mampu lagi menahan tawa. Apalagi ketika Tala mangap lebar kepedasan, sudah seperti mau menyedot keseluruhan alam semesta saja. Oh, salah. Hanya perasaan Langit yang malah jatuh, mungkin? Oke. Sudah. Mulai tidak jelas. Langit menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran yang tidak seharusnya ada. "Hafalin apa, deh, Tal? Bakteri? Itu, kan, materi tahun kemarin."

"Iya. Biasalah. Aku sempat pengin coba KSN Biologi." Tala baru menambahkan kecap ke dalam mangkuknya. Akan tetapi, karena terlalu manis, Tala kembali menambahkan sambal. Kepedasan. Lagi, tambah kecap. Kemanisan. Lagi, tambah sambal. Begitu saja siklusnya dari tadi. "Siapa tahu nilai biologi di rapotku bisa membaik. Hancur parah!"

Langit mengedikkan bahu. "Totalitas banget, ya."

Satu suapan besar itu terhenti di udara. Tala menjeda kegiatan makannya sejenak karena ada emosi yang lebih dulu menjalari setiap sel tubuh. "Hei! Mohon maaf, nih, ya. Aku bukan Mr. Effortles macam seorang Langit Maharaja yang bisa terus dapat nilai sempurna di semua mata pelajaran, meski tanpa perlu usaha."

Dipuji secara tidak langsung begitu membuat Langit mesem-mesem kelewat senang. Lelaki itu tidak akan pernah lupa bahwa tujuan utama hidup Tala adalah mengalahkannya. Langit mengangkat bahu. "Aku sengaja, sih. Kalau aku usaha juga, bisa-bisa kamu makin susah kejar aku, 'kan? Takut kejauhan. Jadi enggak apa-apa, lah. Semangat!"

Muka narsistik nan songong itu! Tala melotot tidak terima. Sungguh. Kalau saja tidak ingat bahwa dirinya mengeluarkan uang untuk ini, rasanya ingin sekali Tala menumpahkan kuah mi ayam di mangkuknya tepat di atas kepala lelaki menyebalkan itu! Tidak tahu diri!

Tiba-tiba, Tala teringat sesuatu, lantas tersenyum miring. "Halah. Masa, sih? Kayaknya, besok-besok, kamu harus mulai usaha total, deh, Lang. Udah mulai lemah. Tadi aja, di sesi PELAKOR-nya Bu Yanti, kamu enggak jawab sama sekali, 'kan? Ow, sayang sekali. Itu gampang padahal. Apalagi bagi seorang Langit, 'kan?"

Senyuman tengil Langit memudar sejenak. Ya ... aku cuma mau istirahat, Tal. "Enggak. Aku tadi diajak ngomong sama semut di meja, masa aku malah sibuk sendiri buat hitung jawaban, 'kan? Sebagai manusia penyayang dan punya sopan santun terhadap seluruh spesies di muka bumi, aku balas semut aja, dong. Menghargai. Jadinya aku kasih kesempatan buat kamu, deh." Langit mencondongkan badannya ke arah Tala. "Gimana rasanya aktif di kelas? Asyik, 'kan?"

"Banget!" Tala menyeruput kuah kari yang tersisa di mangkuknya sampai tandas. "Eh, enggak usah banyak alasan, ya, soal semut itu. Semut juga mikir, lah! Mana mau dia ngomong sama orang sinting."

Sama-sama tidak terima, Langit mengangkat kedua alis tebalnya. "Buktinya, aku yang diajak semut ngomong, bukan Tala." Sebelum Tala sempat menyanggah kembali, Langit langsung mengalihkan topik pembicaraannya. "Tal, kamu enggak malu? Sama orang-orang ...."

Jeda sesaat. Tala segera mengerjap sebelum telanjur makin tenggelam dalam pikirannya sendiri. Netra cokelat terang itu melirik ke sana-sini, mendapati tatapan anak lain yang berbingkai kerutan tidak ramah dan menyorotkan keanehan. Begitu bertemu dengan mata Tala, beberapa di antaranya langsung mengalihkan pandangan, ngeri.

Menyadari adanya perubahan pada air muka anak di hadapannya, Langit lekas-lekas kembali menyunggingkan cengiran lebar dan berkata dengan santai, "Kamu aneh, sih!"


Ya. Langkah mereka memang sudah terseret-seret mengguratkan kisah sejak awal.

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

Can’t believe it yet
I took it all for granted

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro