14. Lari dan Spasi Tak Tergapai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Time is at a standstill
Standing on this road

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

Jika ditanya mengenai hari yang paling menyenangkan selama bersekolah, kisaran 92% anak SMANSABA akan menyatakan bahwa hari inilah jawabannya. Benar. SMANSABA Day. Event tahunan itu diadakan setiap tanggal 23 dan 24 Maret, setelah berakhirnya masa ujian tengah semester, sebagai suatu perayaan atas ulang tahunnya sekolah.

Mengapa kegiatan ini menjadi sesuatu yang teramat dinanti-nanti para pelajar? Bukan. Bukan karena rasa patriotisme tinggi terhadap sekolah, bukan pula didasari antusiasme atas berbagai perlombaan yang diselenggarakan pihak OSIS.

Semua kebahagiaan itu tak lain dan tak bukan disebabkan adanya kenyataan bahwa selama dua hari penuh ini, tidak akan ada mata pelajaran, tagihan tugas, ulangan dadakan, ataupun guru yang menceramahi siswa karena malah asyik berkelana di alam mimpi.

Ini hari kebebasan! Hari kemerdekaan siswa SMANSABA yang sesungguhnya. Namun, kenyataan itu pulalah yang membuat OSIS gencar melaksanakan razia dan patroli di masa-masa ini. Rentan.

Survei dan data-data dari senior yang mahabenar menyatakan bahwa kasus pelanggaran akan meningkat—setidaknya—62% dari hari-hari biasanya. Make-up, rokok, dan vape, adalah tiga serangkai yang akan menjadi primadona di antara barang sitaan lainnya di ruang OSIS.

Tak heran, ketika Tala dan Langit baru saja menginjakkan kaki di gerbang utama sekolah, mereka sudah dihadang oleh pasukan berjas abu-abu yang meminta izin untuk menginspeksi isi tas siswa. Tala dan Langit melewati proses penggeledahan tersebut dengan aman. Lagipula, apa yang mau Tala selundupkan selain buku paket yang sengaja disiapkannya untuk dijadikan bahan pelampiasan jika rasa bosan melanda?

Tala memasuki kelas lebih dulu. Akan tetapi, belum sempat ia menyimpan tas di bangkunya, seruan orang-orang di sekitarnya sudah lebih dulu mengambil alih keseluruhan atensi Tala. "Tala, perwakilan XI MIPA-2 buat tanding tim basket putri, ya!"

"Hah?" Tunggu, tunggu. Perwakilan? Mereka belum pernah membicarakan ini, sebelumnya. "Kapan? Emang ada tanding basket?"

Oh, ya. Alesha menepuk dahi, baru teringat sesuatu yang ia lupakan. "Waktu kamu dispensasi karena ada pembinaan buat KSN, anak OSIS masuk ke kelas buat kasih pengumuman soal SMANSABA Day. Hari pertama ini ada tanding basket sama gobak sodor, oh, ada lomba menulis puisi juga. Besok tinggal final basket sama pertunjukan seni setiap kelas. Kayak tahun kemarin, kelas sebelas bikin bazar."

Dihantam dengan berbagai informasi yang tidak diketahuinya sama sekali itu membuat Tala melotot tidak santai. "Demi apa? Kalian enggak ada yang ngasih tahu kita, sebelumnya?"

Mendengar kata 'kita' yang merujuk pada Tala dan dirinya, Langit pun membulatkan mulut, lantas ikut angkat suara. "Oh, aku udah tahu, sih. Aku mau tampil di pertunjukan seni besok. Udah disiapin, malah."

"Aku enggak dikasih tahu? Cuma aku?" Tala histeris, bergantian memandangi teman-teman yang ada di kelasnya dengan tatapan tak percaya. Tala menggeleng-geleng, hiperbola. Eh, tetapi sungguhan, lho! Acara sebesar ini ... oke, Tala memang ingat kalau ini SMANSABA Day, sejak melihat penjagaan ketat barikade anak OSIS di gerbang. Akan tetapi, Tala tak tahu kalau anak lain sudah mendapat pengumuman, tanpa memberitahunya!

Alesha menutup mulut, berusaha menahan ringisan rasa bersalahnya. "Ampun, Tal. Lagian enggak usah pakai diskusi sekalipun, kamu udah pasti maju buat basket, 'kan? Basketball is your life! No basket, no Tala!"

Jargon dadakan yang kelewat memaksakan itu hanya ditanggapi dengan dengkusan oleh Tala. "Aku enggak bawa baju olahraga, lho."

"Gampanglah itu! Tinggal pinjam ke anak kelas sebelah." Alesha mengedipkan sebelah matanya, tak lupa melintangkan cengiran lebar, tampak begitu puas. "Sepakat, ya. Lima belas menit lagi kita mulai. Di jadwalnya, kita tanding pertama."

Gila. Kalau begitu, dapat dipastikan bahwa Tala tidak punya kesempatan untuk membaca buku paketnya lebih dulu. Alesha langsung berlarian keluar, menjelajahi setiap relasinya yang tiada batas di SMANSABA ini untuk dimintai pinjaman seragam olahraga. Setelah merotasikan bola mata dan menyimpan ransel di bangkunya, Tala pun menghampiri Alesha yang baru kembali ke kelas dengan seragam olahraga lain di tangan.

Untunglah ini pertandingan basket, bukan sepak bola, sehingga Tala masih bisa menerimanya dengan lapang dada. Meski begitu, rasa kesal belum sepenuhnya sirna di setiap penjuru hati. Tala masih dendam karena tidak diberi tahu lebih awal. Menyebalkan! Tala menggantungkan kaus olahraga milik orang lain di atas kepalanya.

Mendapati betapa muramnya air muka Tala, kekehan kecil pun lolos dari mulut Langit. Tala langsung menatapnya dengan mata memicing, seolah mengisyaratkan kode bahwa dirinya sedang tidak ingin diganggu saat ini. Langit malah terbahak makin kencang. "Semangat!"

Sial. Kalimat positif begitu malah jadi terdengar menyebalkan di telinga Tala. Nasib baik, Tala sedang tidak ingin ribut dan baku hantam dengan orang lain. Mari kita selesaikan semua ini dengan cepat.

Setengah jam berikutnya, pertandingan sudah berlangsung. Tak dapat diragukan lagi, Tala Si Maniak Basket tampak merajai setiap sudut lapangan. Selisih digit di papan skor begitu besar. Tim lawan sudah kelelahan dan tak berniat lagi untuk melanjutkan pertandingan. Akan tetapi, di lima menit terakhir dari batas waktu, tim XI MIPA-4 mengajukan time-out.

Serentak, kedua tim menepi ke dinding di pinggiran koridor untuk beristirahat. Anggota cadangan dan segenap anak kelas lainnya menyerahkan air minum untuk mengganti setiap tetes peluh yang meluncur deras. Tala mengelap bibirnya yang basah karena cipratan air minum salah arah. Sembari mengamati tim lawan yang tampak berdiskusi di seberang lapangan, Tala berpikir keras.

Anak XI MIPA-4 pasti berharap dapat mengacaukan ritme permainan tim Tala, demi menciptakan momentum mereka sendiri. Ya. Kalau berada di posisi mereka, Tala juga akan melakukan hal yang sama. Mereka belum benar-benar berniat kalah.

Akan tetapi, sebenarnya, mereka sudah tahu bahwa kekalahan sudah menanti di depan mata. Mereka tahu. Hanya saja, mereka ingin menampilkan yang terbaik. Setidaknya, mari mencetak skor untuk kalah dalam posisi yang lebih terhormat!

Di akhir waktu permainan ini, tim lawan begitu serius. Salah satu anggotanya menggiring bola basket ke dekat ring. Sebelum sempat masuk ring, tim Tala berhasil merebutnya. Tala sudah bersiap di area three points. Akan tetapi, tiga anak perempuan lain mengunci setiap pergerakan Tala. Penjagaan macam apa ini? Tampaknya strategi mereka memang ingin mematikan serangan Tala.

Bukan apa-apa, tetapi ... yang benar saja? Di sudut lapangan, Alesha berlari menyambut umpan bola dari temannya dengan mulus. Senyuman lebar tercipta di kedua sudut bibirnya. Alesha bisa lebih leluasa melakukan penetrasi ke area lawan, karena penjagaan mereka difokuskan pada Tala. Alesha menggiring bola ke dekat ring. Hanya ada satu anggota lawan di sana. "Kalian terlalu meremehkan kami. Anak kelas XI MIPA-2 bukan Tala aja, lho!"

Dengan lay-up manis, Alesha berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Skor tim mereka bertambah, bersamaan dengan peluit panjang yang menandakan berakhirnya pertandingan kali ini. Akan tetapi, suara jeritan juga terdengar di salah satu sisi lapangan.

Alesha. Anak itu mendarat dengan posisi kaki yang salah. Kini, Alesha jatuh terduduk di atas permukaan lapangan. Tala langsung sigap menghampirinya bersama salah satu anak PMR. Setelah menopang Alesha untuk menepi ke pinggir mengingat lapangan yang masih akan digunakan untuk pertandingan selanjutnya, anak PMR tadi meminta Tala mengambilkan es di ruang UKS. "Tanya aja sama anak yang jaga di sana."

Tala mengangguk cepat. Dengan lari-lari kecil, Tala memasuki UKS, lantas melongo sejenak begitu mendapati seseorang yang tak asing di dalamnya. Itu Mega, adik Langit, yang terlihat sedang melamun panjang. Penasaran, Tala mengikuti arah pandangnya. Manik cokelat terang Tala pun terjatuh pada poster tentang penyakit leukemia yang ditempel di dinding. Meski begitu, Tala lebih tertarik pada sosok di hadapannya ini. "Mega?"

Kaget, Mega tersentak kecil. Ia mengerjap seraya menoleh pada Tala. "Kak Tala? Maaf. Ada apa?"

Sebentar. Kenapa Mega tampak tidak seterkejut itu? Maksudnya ... Tala dan Mega berbeda dua tahun, 'kan? Kenapa dia sudah masuk SMA, di saat Tala masih kelas sebelas? Baiklah, belum saatnya membahas itu. Tala berdeham. "Ada es? Temanku cedera."

Tak perlu waktu lama, Tala sudah kembali ke lapangan dengan termos es di tangan. Setelah keadaan Alesha baik-baik saja dan Tala berniat memeriksa bazar kelas mereka, Tala berpapasan dengan Langit. Serta-merta, Tala langsung teringat dengan tanda tanya yang sudah mengganjal di pikirannya. "Lang! Mega sekolah di sini?"

"Kenapa?"

"Kok udah SMA aja? Beda dua tahun, bukannya?"

Anggukan singkat mengiringi jawaban Langit selanjutnya. "Waktu SMP kemarin, dia ambil akselerasi." Teringat kenyataan tersebut, Langit tertawa kecut. "Dia enggak mau punya penyesalan kayak kakaknya, nanti."

Meski tak begitu paham dengan maksud kalimat Langit, Tala hanya mengacak rambutnya sendiri, lantas lebih tertarik untuk menuntaskan keganjalan di kepalanya. "Tapi ... kok aku belum pernah lihat Mega di sini, sebelumnya? Kenapa kalian enggak pernah berangkat bareng? Parah banget!"

"Ya ... Mega suka pesan ojek online atau diantar Papa. Aku, kan, naik angkot." Langit sok mengalihkan tatapannya pada stan bazar mereka di depan koridor kelas, padahal niatnya hanya untuk menghindari netra cokelat terang Tala. Langit menipiskan bibir, berusaha menetralisir sensasi panas yang menjalari pipinya. "Sama kamu."

Tala mengikis jarak antara kedua alisnya. Kalau memang satu arah dan diantar Papa, mending berangkat bersama saja, 'kan? Menghemat ongkos pengeluaran! "Nanti aku coba ajak pulang bareng, ah!"

"Dia enggak suka naik angkot, banyak ngetemnya."

"Enggak semua, kok!" serobot Tala, tak terima. Anak itu berkacak pinggang, sudah seperti juragan angkot. "Ada Mang yang asyik kebut-kebutannya!"

"Maksa banget, sih. Berdua kayak biasa aja!"

"Makin banyak, makin ramai!"

"Makin sesak! Nanti bau masam Tala makin mengudara!"

"Jahat banget, Langit!" Detik berikutnya, Tala sudah bernafsu memburu Langit sampai menabrak kerumunan berkali-kali. Totalitas sekali. Bahkan mengalahkan kecepatan anak OSIS yang mengejar siswa yang ketahuan membawa benda terlarang ke sekolah. "Langit Maharaja, jangan kabur, kamu!"


Ya. Hingga ujung perjalanan ini, lelaki itu memang selalu paling ahli melarikan diri. Bedanya, Tala tak akan pernah mampu lagi untuk benar-benar meraihnya.

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

Even the wind
Pauses waiting for you still

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro