11. Perhatian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mood lagi bagus-bagusnya buat nulis, tapi hanya untuk cerita ini saja, jadi nikmatilah part ini dan jangan nagih up cerita yang lain karena itu berat, seperti merindukanmu. Eyaaa ....

Jangan lupa tap bintang sebelum baca.
Terima kasih.



Sudah beberapa hari dapur di apartemen itu sepi tanpa sentuhan tangan dari sang pemilik. Terasa ada yang kurang jika tak ada aktivitas di sana seperti pagi sebelumnya. Pagi ini, pemandangan di dapur itu kembali hidup. Suara pisau beradu dengan sayur dan perkakas di atas kompor menambah kehidupan di ruangan itu.

Kejadian semalam membuat Dannis berpikir ganda, mempertimbangkan niatnya untuk menjauhkan Rista dari studio itu. Jika dia masih kukuh berusaha menjauhkan Rista dari studio itu, dia khawatir gadis itu akan bertindak lebih buruk dari kejadian semalam. Masalahnya dengan wanita bernama Deana belum selesai, lalu ditambah masalah Rista. Belum lagi masalah studio dan bisnisnya. Dia harus bisa menyelesaikan semuanya dengan aman.

Dannis meraih ponsel yang tergeletak di atas meja setelah menyelesaikan masakannya, berniat menghubungi Rista. Sejak semalam gadis itu belum makan dan mengalami demam karena terkena air hujan. Drama penolakan ke apartemen itu pun kembali terulang saat keduanya tiba di basemen. Dan pada akhirnya Dannis berhasil membujuk Rista meski dengan ancaman. Nomor Rista aktif, tapi tak ada jawaban darinya, membuat Dannis segera beranjak dari dapur untuk menuju kamar gadis itu.

Diketuknya pintu kamar Rista sebagai rasa menghargai. "Apa kamu sudah bangun?" tanyanya di sela mengetuk pintu.

Tak ada jawaban dari dalam sana meski dia sudah mengetuk pintu beberapa kali. Dannis menyentuh handel pintu, berniat untuk membukanya, tapi pintu itu terkunci. Helaan napas terlihat jelas pada rautnya. Dia beranjak dari posisinya untuk mengambil kunci cadangan.

Setelah mendapat kunci cadangan pintu kamar yang ditempati Rista, Dannis pun bergegas membuka pintu kamar itu untuk memastikan keadaan seseorang yang menghuni kamar itu. Tahu jika gadis itu masih marah dengannya perihal studio. Kamar yang dia masuki saat ini masih terlihat gelap tanpa sorotan lampu. Tirai jendela kamar itu pun masih tertutup rapat. Penerangan kamar itu hanya bersumber dari matahari yang menyelinap masuk melalui celah tirai yang tak tertutup rapat. Tubuh Rista masih terbujur di atas tempat tidur bergelung dengan selimut.

"Cepat keluar. Ada yang ingin aku bicarakan padamu," ucap Dannis sambil menatap ke arah gadis yang masih bergelung dengan selimut.

Tak ada jawaban dari Rista. Bergerak pun tidak. Enggan menanggapi ucapan Dannis meski dia mendengar ucapan laki-laki itu. Hatinya terlanjur kecewa.

"Aku ingin membicarakan masalah studio dan wanita yang mengirimmu bunga atas nama Gema. Hanya ada waktu lima menit untukku menunggu, karena pekerjaanku bukan hanya mengurus masalahmu dan wanita itu saja." Dannis beranjak dari posisinya setelah mengatakan hal itu.

Rista membuka mata, menatap ke arah Dannis yang sedang berjalan menuju pintu. Setelah kepergian Dannis, dia menyibak selimut, lalu beranjak duduk. Rasa pusing masih terasa di kepalanya. Entah kenapa dia menuruti perintah laki-laki itu, padahal sebelumnya mengatakan jika dia tak akan percaya lagi pada Dannis. Hanya lima menit waktu yang diberikan, membuat Rista tak sempat hanya sekedar mencuci wajah. Lagipula dia memang tak ada keinginan untuk bersiap saat menghadap laki-laki itu. Membiarkan penampilannya masih seperti bangun tidur. Baginya, penampilan saat ini tak berpengaruh dalam menghadapi Dannis.

Terlihat Dannis duduk di ruang makan, masih sabar menantinya untuk keluar. Rista mengayun langkah perlahan untuk menghampiri ruang makan. Sweter warna coklat dan celana hitam panjang  milik Dannis masih menghiasi tubuhnya. Karena semua pakaian Rista basah, Dannis meminjamkan pakaian untuknya. Meski terlihat kebesaran di tubuh Rista, tapi setidaknya pakaian itu bisa menghangatkan sekaligus pengganti selama pakaiannya dalam proses pengeringan.

"Duduk," perintah Dannis saat menyadari jika orang yang dia tunggu sudah berdiri tak jauh dari posisinya saat ini.

"Aku hanya butuh masalah penting mengenai studio milik Mas Gema," balas Rista tanpa ingin basa-basi.

"Bukankah studio itu bukan milik Gema atau kamu, melainkan milikku? Jika kamu kembali ke sana, maka itu atas kehendak aku, bukan karena Gema atau karena siapapun."

Terserah apa katamu. Rista membatin tak peduli.

"Dugaanku, Deana pernah memiliki hubungan dengan Gema," ungkap Dannis.

"Itu nggak mungkin. Aku lebih tahu hubungan mereka daripada kamu."

Dannis merogoh saku jas, menyerahkan beberapa lembar foto tanpa menatap gadis itu. Meski dia merasa ragu dengan firasatnya, tapi foto itu membuat keraguan dalam hati Dannis berubah menjadi kepercayaan. Rista menerima foto-foto itu dengan gerakan ragu. Terlihat sosok Gema sedang duduk berdua dengan Deana dalam posisi mesra. Rista menatap foto itu dengan raut tak percaya.

"Ini salah satu alasan kenapa aku ingin agar kamu belajar melepas kenangan-kenangan bersama Gema. Aku masih berusaha mencari bukti kuat dan membuat dia mengakui, tapi sepertinya membutuhkan waktu lama karena dia berusaha menghindariku. Bunga itu memang sengaja ditujukan untukmu. Dia hanya mengaku jika bunga itu dari Gema, tapi aku curiga jika dia mengirim bunga itu karena motif lain," jelas Dannis.

"Nggak mungkin. Mas Gema nggak mungkin ngelakuin ini ke aku."

"Sebelum Gema meninggal, wanita itu pernah menjenguk Gema. Tepat di hari saat Gema mengembuskan napas terakhir."

"Apa kamu sengaja menjebak aku agar benci sama Mas Gema? Kenapa kamu ngelakuin ini?"

"Aku sedang tidak menjebakmu. Jika kamu tidak percaya, kamu bisa tanya pada Tio untuk membuktikan. Jika info yang aku berikan padamu salah, sudah pasti aku tak akan mau mengeluarkan banyak uang untuk mencari bukti semua ini hanya demi kamu," sindir Dannis sambil menatap gadis yang kini ada di sampingnya. "Lalu sekarang aku mendapat tuduhan buruk darimu. Kebodohan yang sudah aku lakukan adalah percaya dan membantu wanita yang tak memiliki rasa terima kasih." Dannis beranjak dari kursi setelah mengatakan hal itu. Sudah cukup dia menahan kesabaran untuk wanita yang tak mau menghargai usahanya.

Rista masih bergeming, menatap tak percaya foto yang ada di tangannya saat ini. Tak percaya jika Gema pernah memiliki hubungan dengan wanita itu.

"Satu lagi." Dannis menghentikan langkah. "Aku berniat menawarkanmu untuk menjadi brand Ambasador produk di perusahaanku sebagai ganti pengunduran dirimu sekaligus kesempatan untukmu kembali ke dunia model. Tapi aku memiliki firasat jika kamu akan menolak, jadi aku meminta staf untuk black list kamu dari project ini, dan mengganti dengan model lain. Sekarang, aku tak akan lagi ikut campur dengan masalah kamu bersama Gema. Kamu ingin kembali ke studio Gema pun terserah. Masih banyak pekerjaan penting yang menunggu selain mengurus masalah kalian. Sudah cukup selama ini kalian merugikan waktu dan uangku." Langkahnya kembali terayun setelah menjelaskan cukup panjang pada gadis itu.

Semoga penjelasanku kali ini membuatmu terbuka, Queen. Setidaknya kamu percaya padaku kali ini, maka hidupmu akan lebih baik ke depannya. Percayalah. Dannis membatin sambil berjalan menuju kamarnya.

Foto di tangan Rista terjatuh di atas lantai. Dia terduduk lemas di atas kursi yang sebelumnya Dannis duduki. Masih berusaha tak percaya akan isi di dalam foto itu. Selama ini, dia hanya tahu jika Gema dan Deana tak memiliki hubungan khusus. Tapi penjelasan Dannis dan bukti foto itu membuat kepercayaan dalam hatinya perlahan luntur. Manakah yang harus dia percaya?

***

Rista mengempaskan tubuh di atas tempat tidur setelah cukup lama merenung, memikirkan masalahnya bersama Gema, Dannis dan Deana. Kehadiran Dannis dalam hidupnya membuat rencana yang dia susun berantakan. Tapi kedatangan Dannis pun atas permintaan Gema. Semua terasa kusut di dalam pikiran Rista. Tak percaya pada Dannis, tapi selama ini laki-laki itu yang selalu menolongnya.

Aku harus menemui Tio dan wanita itu untuk memastikan kebenaran ucapan Dannis. Tapi, apa dia mau bertemu denganku dan berterus terang, sedangkan dengan Dannis saja tak mau terus terang?

Deringan ponsel membuyarkan pikiran Rista. Perhatiannya teralih pada benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Rista segera meraih benda itu untuk memastikan seseorang yang menggubunginya. Nama April terlihat menghiasi layar ponsel.

"Ada apa, Pril?" tanya Rista sekaligus menyapa.

"Rencana kamu selanjutnya apa? Masih maksa buat balik ke studio lagi? Aku gabut nggak ada kerjaan."

"Aku masih berusaha biar dia balikin studio itu. Termasuk pergi ..." Rista menggantungkan kalimatnya karena keceplosan. Selama ini, April tidak tahu jika dia tinggal di apartemen Dannis.

"Pergi dari mana, Ta?" tanya April memastikan.

Pergi dari kehidupan dia lah, Pril," kilahnya.

"Kenapa kamu nggak turuti saja maunya dia? Lagian itu juga maunya Gema. Dia ngelakuin ini biar kamu itu move on dari Gema. Maksud dia baik, kok, kenapa kamu ngotot buat pertahanin studio itu padahal bukan bidang kamu."

"Kenapa kamu jadi belain dia?"

"Karena aku juga nggak mau lihat kamu kayak gini terus. Sadar nggak sih kalau selama ini kamu banyak berubah. Sekarang kamu pesimis, nggak bahagia kayak dulu. Kamu yang sekarang gampang baper dan marah."

"Kalau kamu nggak sabar, silakan cari pekerjaan lain biar kamu nggak gabut. Sekarang aku memang sudah berubah, bukan Rista yang dulu lagi. Kamu juga berhak cari sahabat yang bisa bikin kamu nggak susah. Aku minta maaf kalau selama ini sudah bikin kamu repot." Rista mematikan sambungan telepon setelah mengatakan hal itu pada sahabatnya.

Beban dalam pikirannya kembali bertambah. Saat dia sedang di atas, banyak orang yang memujinya, memanfaatkan uang serta namanya. Kini semua itu berubah. Apa yang dia miliki semuanya pergi. Orang tercinta, ketenaran, sahabat, semua menghilang dari kehidupan Rista. Entah kepergian mereka sementara, atau justru selama-lamanya. Takdir Tuhan tak pernah ada yang tahu. Layaknya roda yang berputar. Bisa saja hari ini orang berada dalam posisi suskses, lalu suatu hari dia akan berada dalam posisi sulit. Bagaimana orang itu bisa bersikap saat dua posisi itu datang bergantian.

***

Sudah beberapa hari dia tak datang ke tempat itu setelah mendapat surat pengunduran diri dari pemilik bangunan tersebut. Kedatangannya ke tempat itu untuk melepas rindu sekaligus ada yang ingin dia temui. Dia tak ingin berdiam diri tanpa melakukan apa pun untuk memecah masalah yang membelenggu.

"Kak Tata," sapa seseorang saat melihat Rista berdiri di depan studio.

Sapaan itu membuat Rista membalikkan tubuh. Senyum dia sungging saat melihat Tio menghampirinya. Obrolan ringan pun tercipta membahas kabar dan kondisi keduanya serta perkembangan studio.

"Masuk, Kak. Kak Dannis pasti senang lihat Kakak datang," ajak Tio.

"Nanti saja. Kakak mau ngobrol masalah penting sama kamu. Kamu ada waktu sebentar nggak?" tanya Rista.

Tio menatap jam di pergelangan tangannya. "Duh, sebentar lagi mulai pemotretan, Kak. Kak Dannis pasti sudah nunggu. Gimana kalau setelah pemotretan selesai?"

"Ya sudah, kamu kerja saja dulu, Kakak bisa nunggu, kok."

Obrolan mereka berakhir karena Tio harus segera masuk ke dalam. Rista hanya menatap kepergian pemuda itu untuk masuk ke dalam karena harus kembali bekerja. Suasana di studio itu cukup sepi. Dia memberanikan diri untuk masuk ke dalam karena rasa rindu yang tak tertahan. Beberapa karyawan menyapa Rista saat sudah di dalam studio. Kabar pengunduran dirinya sudah diketahui oleh semua karyawan, termasuk anak panti yang kini ikut kerja di studio itu. Hal itu disampaikan langsung oleh Dannis selaku pemilik sah tempat itu.

Rista menginjakkan kaki di ruang pemotretan. Suasana di ruangan itu terlihat tamaran. Samar, terlihat Dannis sedang menatap layar kamera untuk memastikan hasil tangkapan foto yang dilakukan oleh Sandi. Dia hanya bisa menyaksikan semua itu dari arah jauh. Semua orang di ruangan itu terlihat serius pada pemotretan.

Tak sengaja, Dannis menangkap sosok Rista yang sedang berdiri di ujung ruangan. Menyadari jika Dannis mendapati sosoknya, Rista bergegas keluar dari ruangan itu.

Ada apa dia datang ke sini? tanya Dannis dalam hati, masih sibuk pada pekerjaan.

Pemotretan pun selesai sesuai jadwal. Semua kru berpencar untuk melanjutkan tugas selanjutnya. Dannis pun meninggalkan ruang pemotretan untuk menuju ruangannya. Ayunan langkahnya memelan saat melihat Rista sedang berbimcang dengan Tio. Kini dia tahu alasan wanita itu datang ke studio. Perkataan yang dia ucapkan membuat gadis itu penasaran. Dannis tersenyum miring, kembali mengayun lanhkah menuju ruangannya, membiarkan gadis itu menggali kebenaran yang pernah dia ucapkan.

Sudah tiba waktunya jika Rista harus percaya pada Dannis. Apa yang Dannis lakukan semata-mata untuk kebaikannya. Untuk kebaikan hidupnya ke depan. Sudah cukup selama ini Rista mengorbankan hidupnya hanya demi mempertahankan kenangan bersama Gema. Biarkan Gema tenang di sana dan Rista harus belajar menjalani hidup tanpa bayang-bayang Gema.

Sudah waktunya Rista membuka mata. Sudah cukup selama ini dia tenggelam dalam bayang masa lalu sampai mengorbankan apa yang sudah dia usahakan selama ini. Ada kebahagiaan yang harus dia raih ke depan. Dannis masih terus berusaha mencari informasi tentang hubungan Gema dan Deana. Dia pun tak yakin sepenuhnya jika sang sahabat akan menyembunyikan masalah besar darinya.

***

Cepat move on, Queen.
Masa depanmu masih panjang.
Betul nggak, Gaes?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro