2. Laki-laki Misterius

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rista mengedarkan pandangan saat tiba di studio. Tak ada siapa pun atau sosok laki-laki yang ingin bertemu dengannya. Apa laki-laki itu sudah pergi sebelum Rista tiba?

"Di mana orang yang ingin bertemu denganku, Pril?" tanya Rista pada April yang baru saja keluar dari ruang pemotretan.

"Udah pergi. Dia cuma nitipin kartu nama ke aku. Kamu disuruh menghubungi dia." April menimpali.

"Aku nggak akan hubungi dia. Biarkan dia ke sini lagi mencariku. Dia yang butuh. Lagipula aku nggak akan jual studio ini ke siapa pun."

"Kemungkinan dia yang akan menghubungi kamu." April tersenyum lebar.

Rista mengembuskan napas, beranjak dari posisinya untuk masuk ke dalam ruangan Gema. Buket bunga di dalam ruangan itu kembali mengusik pikirannya. Masih penasaran dengan sosok pengirim bunga itu.

Deringan ponsel memecah keheningan. Rista merogoh tasnya untuk meraih benda pipih itu. Terlihat nomor baru menghubunginya. Dia menggeser ponsel, lalu menempelkan pada telinga.

"Halo," sapanya pada seseorang di seberang sana.

"Dengan Nona Arista-"

"Saya sendiri." Rista memotong ucapan laki-laki di seberang sana.

"Bisa atur waktu pertemuan denganku untuk membahas studio itu?" tanya laki-laki itu.

"Saya tidak akan menjual studio itu pada siapapun. Maaf, saya sibuk." Rista memutus sambungan telepon tanpa mendengar balasan dari lawan bicaranya. Tak ingin membuang waktu hanya untuk menanggapi masalah tak penting. Studio Gema adalah kenangan terpenting dalam hidupnya bersama orang tercinta. Dia tak akan menjual studio itu pada orang lain meski dengan bayaran mahal sekalipun.

***

Instrumental love story dari sebuah piano yang dimainkan oleh seorang gadis di ujung panggung mengalun merdu, menghipnotis pengunjung di acara pesta pernikahan. Dia diminta salah satu mempelai untuk berpartisipasi dalam pernikahannya dengan cara memainkan piano. Tahu jika gadis itu mahir dalam memainkan alat musik itu. Gadis itu tak bisa menolak karena sang peminta adalah orang terdekatnya.

Gadis bergaun hitam itu terlihat anggun sambil menekan not piano dengan seksama, menghayati nada yang keluar, mewakili hatinya yang penuh akan kerinduan. Rindu akan sosok laki-laki tercinta yang tak akan pernah lagi dia lihat di dunia ini. Dia menahan air mata agar tidak jatuh karena sadar banyak pasang mata menuju ke arahnya.

Gemuruh tepuk tangan menggema saat gadis itu mengakhiri pertunjukannya. Dia beranjak dari kursi, mengangguk pada tamu yang memberi tepuk tangan untuk penampilannya di atas panggung. Gadis itu berlalu dari panggung karena tak kuat menahan air mata. Bulir bening itu akhirnya mengalir, mengiringi langkahnya turun dari panggung.

Gadis itu mengusap air mata saat melihat berpasang mata menuju ke arahnya. Dia menyungging senyum, menghampiri segerombol orang yang menatapnya. Seorang lelaki di dalam gerombolan itu memandangnya seksama. Kali kedua melihat gadis itu.

"Kak Rista memang yang terbaik. Nggak salah kalau Mas Fadil minta Kakak buat main piano di acara pernikahannya," puji seorang gadis muda pada Rista.

"Rista. Kenalkan, ini Dannis, teman dekat Gema saat mereka masih di panti." Seorang wanita paruh baya mengenalkan Rista pada teman dekat Gema, Dannis Zachrias. Wanita paruh baya itu adalah Ratih, pemilik sekaligus ibu asuh panti di mana Gema dan Dannis dibesarkan saat itu.

Rista mengulurkan tangan pada Dannis.

Akhirnya aku bisa berhadapan langsung dengannya. Dannis membatin sambil menjabat tangan gadis itu.

"Rista," ucap Rista mengenalkan diri saat tangannya dijabat Dannis.

Dannis pun mengenalkan diri, sama seperti Rista, hanya singkat. Rista menarik tangannya, mengakhiri jabat tangan setelah Dannis mengenalkan diri. Laki-laki itu masih mencuri pandang pada gadis yang Gema cintai. Persahabatan Dannis dan Gema terjalin sampai keduanya dewasa meski pernah terputus karena jarak dan komunikasi. Mereka kembali bertemu saat Dannis mengunjungi panti asuhan untuk mencari info tentang orang tua kandungnya. Di saat yang sama Gema sedang kunjungan rutin yang biasa dia lakukan saat hari Minggu.

"Aku minta maaf karena baru bisa kembali ke Indonesia dan mengunjungi makam Gema. Kabar kepergian Gema baru aku ketahui satu bulan setelah dia meninggal, dan saat itu aku sedang dalam tahap akhir tugas militer. Aku terpaksa menunggu waktu kosong untuk pulang ke Indonesia." Dannis membuka obrolan pada Rista perihal ketidakhadirannya di hari kepergian Gema.

Jadi dia sahabat Mas Gema yang tinggal di Swiss dan sering diceritakan olehnya padaku? tanya Risa pada diri sendiri.

"Iya. Aku bisa mengerti," balas Rista dengan senyum tipis.

Sambutan ritual pernikahan menjeda obrolan mereka. Pembawa acara mengambil alih keadaan untuk memandu jalanannya prosesi. Dannis menggeser langkah agar merapat di samping Rista. Gadis itu masih bergeming, fokus pada acara yang sedang berlangsung. Dannis memerhatikannya sesekali, meneliti gadis itu. Jauh seperti apa yang Gema ceritakan padanya. Gadis itu terlihat pendiam, kaku, dan seperti gadis pada umumnya.

Apa yang membuat Gema jatuh cinta dengannya? Dia biasa saja, bahkan terlihat acuh. Sangat jauh dari apa yang Gema ceritakan padaku mengenainya.

Setelah prosesi selesai, semua tamu kembali duduk di kursi masing-masing. Dannis dan Rista berada dalam satu meja bersama Ratih. Mereka menikmati minuman dan makanan ringan yang sudah tersaji.

Deringan ponsel memecah keadaan. Suara itu bersumber dari arah dompet Rista yang tergeletak di atas meja. Gadis itu bergegas meraih dompet, memastikan seseorang yang menghubunginya. Dia bergegas menggeser layar, menempelkan pada telinga.

"Iya, Pril," sapanya pada April di seberang sana.

Ratih dan Dannis hanya menjadi pendengar setia obrolan Rista bersama asistennya.

"Nggak masalah. Nanti aku bisa pesan taksi online." Rista menimpali ucapan April karena tak bisa menjemputnya.

"Thanks, Ris. Aku tutup, ya."

Rista meletakkan ponsel di atas meja setelah mengakhiri sambungan telepon bersama asistennya. April tak bisa menjemputnya karena ada acara keluarga.

"Apa mau pulang bareng Ibu? Daripada sendirian naik taksi online?" Ratih menawarkan. Tahu jika April tak bisa menjemput Rista.

"Nggak apa-apa, Bu. Rista bisa naik taksi online. Nanti Ibu kemalaman pulangnnya kalau harus antar Rista dulu." Rista menolak halus.

"Biar aku yang antar Rista."

Tatapan Rista dan Ratih mengarah pada Dannis yang bersedia memberikan tumpangan pada mantan kekasih Gema.

"Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri." Rista kukuh menolak.

Keras kepala.

"Aku tidak merasa direpotkan. Hanya mengantar, dan lagipula masih di area Jakarta, tidak akan membuang bahan bakar banyak."

Rista bergeming. Mencari alasan halus untuk menolak tawaran Dannis.

"Dan ada yang ingin aku tanyakan padamu," lanjut Dannis.

Kepala Rista terangkat, menatap sosok laki-laki di seberang meja. Dannis pun menatapnya. Kepala laki-laki itu mengangguk lemah. Rista menyungging senyum tipis, menganggukkan lemah padanya tanda setuju.

Ratih mengulas senyum karena Dannis berhasil membujuk Rista. Sejak kepergian Gema, banyak perubahan terjadi pada gadis itu. Tahu bahwa Gema adalah separuh hidupnya. Berharap gadis itu kembali menemukan separuh hidupnya dari laki-laki lain yang tulus mencintainya dan lebih baik dari Gema. Semoga.

***

"Boleh aku bertanya mengenai Gema?" tanya Dannis pada Rista membuka obrolan setelah cukup lama hening di dalam mobil. Gadis itu terpaksa setuju diantar olehnya karena mendapat bujukan dari beberapa orang.

"Iya," balas Rista singkat tanpa menatap lawan bicara.

"Apa Gema sering menceritakan tentang aku padamu?"

"Pernah."

Dannis menoleh sekilas ke arah wanita di sampingnya. "Apa saja?"

"Kalian berteman sejak kecil. Kamu diadopsi oleh pengusaha dan tinggal di Swiss. Dan kamu memiliki kekasih cantik sekaligus seksi."

Senyum mengembang di bibir Dannis saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Rista. Membenarkan jika dia pernah menjalin hubungan dengan beberapa wanita cantik dan seksi. Bahkan sampai saat ini pun masih menjalin hubungan dengan wanita berparas sempurna. Memiliki kekasih berparas cantik adalah kebanggaan bagi kaum adam.

"Dia banyak cerita tentang kamu saat terakhir kali kami bertemu. Aku pernah muak padanya karena selalu memujimu saat kami sedang membicarakan masalah kekasih. Apa keistimewaanmu sehingga dia memujimu seperti tanpa kekurangan? Dan ternyata sosoknya bisa aku lihat saat ini," jelas Dannis. Entah kalimatnya pujian atau ejekan, tapi terkandung dua unsur kalimat tersebut.

Tak ada jawaban dari gadis di sampingnya, membuat Dannis kembali menatap sekilas ke arah wanita yang dicintai sahabatnya. Bibir gadis itu mengembang senyum samar.

"Apa aku membuatmu tidak nyaman karena membicarakan masalah-"

"Nggak. Aku nggak masalah kalau kamu mau bahas Mas Gema atau mau nanya tentang dia." Rista memotong ucapan Dannis.

"Aku sangat menyesal karena tidak bisa melihatnya untuk yang terakhir kali." Dannis terdengar sendu.

Aku lebih menyesal karena nggak bisa lihat dia saat mengembuskan napas terakhir, atau minimal saat tubuhnya akan dimasukkan ke pemakaman. Maafkan aku, Mas.

"Woah ... sepertinya aku merusak keadaan yang harusnya bahagia karena Fadil sudah menikah. Maaf, Ris."

Rista hanya bisa tersenyum paksa menutupi hatinya yang mendung. Keadaan kembali kikuk karena keduanya bingung akan membahas masalah apa. Hanya tentang Gema alasan mereka bisa saling berkomunikasi.

Mobil yang mereka naiki memasuki halaman apartemen tempat tinggal Rista. Dannis menatap bangunan tinggi di depannya dari balik kaca mobil. Dia cukup tahu siapa orang tercinta sahabatnya. Tapi dari penampilan gadis itu tak menunjukkan bahwa dia model. Di luar dugaannya.

"Terima kasih sudah mau mengantar aku," ucap Rista saat mobil yang dia tumpangi tiba di lobi.

"Tidak seberapa." Dannis. menatap wanita di sampingnya yang sudah siap untuk turun. Senyum miring mengembang di bibirnya.

Senyum kikuk nampak jelas pada paras Rista. Dia akan membuka pintu mobil, tapi gerakannya terhenti sebelum pintu terbuka karena cekalan mendarat di lengannya. Rista menatap tangan yang masih mencekal lengannya, lalu beralih pada pemilik tangan itu.  Dannis sontak melepas cekalannya saat sadar telah membuat Rista risih.

"Aku hanya ingin meminta nomor teleponnmu. Boleh?" pinta Dannis.

Rista membuka dompet, meraih kartu nama, lalu diberikan pada Dannis. Laki-laki itu menerima kartu nama tersebut, menatapnya seksama kertas kecil di tangannya bertuliskan nama lengkap Rista beserta nomor telepon.

"Sekali lagi terima kasih untuk tumpangannya," tutur Rista, lalu beranjak turun dari mobil itu.

Dannis menoleh ke arah Rista, dan di saat yang sama pintu mobil tertutup. Dia akan keluar dari dalam mobil, tapi suara klakson mengusiknya. Terlihat Rista melambaikan tangan padanya. Terpaksa dia harus meninggalkan lobi karena beberapa mobil sudah mengantri di belakangnnya.

Arista Ratu Cantika. Jadi dia pemilik studio itu saat ini?

***

Terima kasih buat yang sudah setia sama cerita ini.
Semoga kalian nggak ikut baper di part ini. Hehehe ...

Terima kasih buat yang sudah tap bintang. ♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro