Persona-06

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


1 Februari

Seorang pelajar berusia 16 tahun menjadi korban percobaan pemerkosaan. Siswi yang bersekolah di sekolah unggulan yang tak ingin disebut namanya ini mengalami trauma berat. Kajidian ini terjadi Rabu malam di sekitaran gang yang ada di dekat rumah korban.

Ara menutup kaca mading dengan tatapan yang masih tertuju pada koran yang sudah dia gunting, menyisakan bagian yang menjadi apa yang ingin dia pajang di sana. Dia berdiri di antara siswa-siswi yang lalu-lalang pagi itu. Berjalan di koridor menuju kelas masing-masing, sedangkan Ara berhenti beberapa saat hanya untuk menempel kertas koran itu yang berisi berita.

Dia tidak tahu bahwa dari jauh ada Elvan yang berhenti melangkah. Laki-laki itu berdiam diri di tempatnya berhenti sambil mengamati apa yang sedang Ara lakukan di depan mading.

"Tepat hari ini, pelajar itu bukan remaja 16 tahun lagi." Ara menghela napas panjang. Dia menarik kedua sudut bibirnya, memaksakan diri untuk tersenyum. " Happy birthday, Ara."

***


Suasana koridor begitu ramai ketika baru beberapa detik bel istirahat berbunyi. Para siswa berjejer keluar kelas menuju kantin yang mulai padat. Ara memilih untuk duduk saja di bangku yang tersedia di koridor depan kelasnya. Walaupun begitu tetap saja di sepanjang koridor bagian kelas yang ada di SMA Negeri Unggulan Akademi terlihat masih ada yang sekadar berkumpul untuk bercerita.

Ara menautkan jemarinya sambil matanya menatap kosong ke depan. Dia sendirian duduk di bangku itu, memikirkan kata-kata Danny kemarin yang terus saja mengusik dirinya sepanjang malam. Bahkan tadi malam dia bermimpi buruk. Ketika Elvan menjauh darinya tanpa alasan, untuk yang kedua kalinya. Selama-lamanya.

"Ra?" panggil Farah. Baru saja perempuan itu duduk di bangku yang Ara duduki. Dia datang membawa dua gelas minuman yang dibelinya di kantin dan memberikan satu ke Ara yang mau tak mau Ara terima. "Lo kenapa? Ada masalah?"

Ara menggeleng sambil tersenyum tipis. "Enggak. Biasa aja."

Farah terkekeh. "Gue tahu lo bohong, Ra. Tapi kalau pun gue maksa lo buat jawab pertanyaan gue dengan jujur, tetep aja kan lo bakalan diem?"

Ara menatap sahabatnya itu yang meminum minuman hingga menyisakan setengah sebelum akhirnya Farah berbicara lagi.

"Cerita aja, Ra. Sebagai temen gue merasa bingung harus ngapain. Harus bantuin apa." Farah menatap Ara di sampingnya. "Gue udah nganggap lo lebih dari temen, gue anggap lo sebagai saudara gue sendiri."

Beberapa kali Farah meminta Ara untuk tinggal di rumahnya saja. Farah juga sudah sering menceritakan kondisi Ara kepada Ayah dan ibunya, juga dua kakaknya di rumah. Yang dengan senang hati keluarganya itu akan terima dengan senang hati, tetapi Ara menolak untuk itu. Dia tetap ingin sendirian, menjalani semuanya tanpa menerima tawaran Farah yang bisa saja akan menyulitkan keluarga Farah.

"Ngapain tadi di tata usaha rame banget?" tanya Ara penasaran. Pagi tadi dia memang sempat melihat beberapa guru yang mencoba masuk ke dalam ruang Tata Usaha, tetapi Ara tidak begitu peduli karena biasanya memang tak ada masalah besar. Namun, karena saat di jam pelajaran kedua Ara disuruh ke ruang guru, dia lagi-lagi mendengar sebuah cerita yang sebenarnya butuh waktu lama untuk Ara mengerti.

"Bu Herwit katanya kena kasus."

Ara cepat menoleh. "Kasus?"

"Korupsi katanya. Gue nggak tahu." Farah memilih untuk diam saja. Dia memang pernah mendengar cerita dari beberapa organisasi yang akan berangkat ke perlombaan, namun kas yang diberikan tak sesuai dengan permintaan yang ada di proposal yang diajukan. Bisa dibilang uang kas yang diberikan hanya satu per empat dari keperluan organisasi itu. Padahal, sekolah itu terkenal dengan dana yang tidak main-main, apalagi untuk keperluan perlombaan akademik dan non-akademik.
  
Hanya saja, perlombaan akademik di sekolah itu lebih diutamakan dibanding perlombaan non-akademik yang hanya dianggap sebelah mata. Tidak begitu dipedulikan.

"Gue mana ngerti gituan," kata Farah kemudian, membuat Ara menunduk dalam. Dia mengamati ponsel milik mamanya yang bergetar.

Pak Wijaya : oya, ra. Tadi saya telpon kamu yang di nomor satu, yang angkat cowok dan dia malah nanya-nanya gak jelas gitu

Pasti Elvan, pikir Ara dalam hati.

Paramita E. : Iya, pak. Itu temen saya. Kenapa pak?

Pak Wijaya : Ini saya mau bahas berita harian lagi

Paramita E. : oh iya pak

Pak Wijaya : coba kamu buat beritanya. Ada di sma negeri unggulan akademik. Tadi denger di kantor, lagi rame dibicarin. Kamu sekolah di sana kan?

Ara termenung menatap kata-kata yang tertera di layar ponsel itu. dia mengembuskan napas panjang sampai-sampai Farah menatapnya dengan cepat. Bingung.

"Lo kenapa, Ra?"

Sahabatnya itu hanya membalas dengan gelengan kepala. Jemarinya kembali bergerak mengetikkan kata-kata di atas layar.

Paramita E. : Iya, pak. Nanti malam saya kirim lewat email

Pak Wijaya : oke

"Masih nulis berita?"

Pertanyaan itu entah sudah berapa kali Ara dengar dari Farah.

"Masih."

"Emang boleh nulis berita pake nama lain?"

Namun, Ara tak mampu untuk menjawab. Dia tidak tahu bagaimana aturan seperti itu karena saat berpikir untuk mengirim tulisannya ke redaksi, dia hanya mencari tahu apa yang harus diperhatikan jika ingin menulis berita. Pak Wijaya, seorang redaktur, waktu itu menerima berita yang pertama kalinya Ara kirim. Ara juga tidak hanya menulis berita, tetapi juga cerita pendek yang selalu dimuat di beberapa koran, walaupun terkadang cerpen yang dia kirim tidak diterima saat awal-awal memulai mengirim naskah ke redaksi koran harian.

Dia juga menjadi penulis artikel lepas. Kesehariannya hanya menulis dan belajar untuk sekolah. Karena part time di kafe atau semacamnya tidak akan cukup untuknya membagi waktu. Makanya dia hanya berdiam diri di kamar, di depan sebuah laptop hasil dari yang dia dapatkan setelah lolos olimpiade ke tingkat Nasional.

Itu adalah alasan Ara untuk menyemangati hidupnya sendiri. Dengan menulis. Dia tak hanya menuangkan pikirannya lewat ketikan keyboard laptop karena dia juga menulis menggunakan pena, menulis semua kesehariannya dalam bentuk buku jurnal.

"Ra?" panggil Farah pelan. Dia melihat minuman Ara sedikit pun belum berkurang.

Ara berdiri dari bangku dan menyodorkan minuman pemberian Farah tadi kembali. "Gue ke toliet dulu, ya?"

"Gue temenin?"

"Nggak usah," jawab Ara kemudian.

***

Seorang laki-laki tersudut di tembok, melindungi kepalanya sendiri dari pukulan yang diberikan oleh Danny beberapa kali. Dia adalah siswa kelas X yang tiba-tiba saja dicari oleh Danny dan membawanya ke tempat di mana mereka sekarang berada, belakang sekolah.

"Jawab yang jujur!" seru Danny dengan penekanan di setiap katanya. Dia memukul kepala siswa itu sekali lagi. "Jujur aja geblek apa susahnya, sih? Emang minta ditabok lo berkali-kali? Hah?"

Elvan mendengus. Kepalanya menggeleng-geleng melihat tingkah Danny yang sudah beberapa kali kelewat batas. Temannya yang satu itu sangat suka membuat orang lain menderita. Berbeda dengan Tama yang nyaris tak pernah memukul orang, dia hanya seperti mengikuti apa yang biasanya Danny lakukan. Tentunya, Tama tidak akan memukul orang.

"Banci nih anak satu," kata Danny sambil menegakkan punggungnya. Dia mengarahkan kaki kanannya yang terbungkus sepatu untuk menendang siswa itu yang masih menangis sesenggukan dengan kedua lengan yang berusaha ia jadikan sebagai pelindung agar kepalanya tak terkena dengan keras oleh pukulan Danny.

"Eh, gue minta lo jujur aja, anjing!"

"Dan?" panggil Elvan. Dia tidak tahu apa yang ada di pikiran laki-laki itu. Dia bahkan pernah berpikir bahwa Danny mempunyai alter ego atau bahkan sifat psikopat, namun itu hanya pikiran anehnya saja. "Berhenti gue bilang!"

Danny berdecak kesal. Sekali lagi dia menendang sepatu siswa itu. "Terakhir gue tanya lo, ya, sebelum gue ninju lo lagi! Lo kan yang ngelaporin gue ke guru karena habis ngerokok?"

Namun, siswa itu masih bergeming.

"Udah, Dan. Kasihan," kata Tama yang memang sangat tidak tega melihat siswa tak bersalah itu.

"Anjing! Lo tinggal ngangguk atau gelengin kepala apa susahnya sih, banci!"

"Dan, lo nggak takut dapat keturunan banci kalau udah gede?" tanya Elvan dengan suaranya yang pelan, namun membuat Danny melampiaskan kekesalannya dengan sekali lagi menendang siswa kelas X itu.

Danny menatap Elvan sambil berkacak pinggang. "Gue nggak bakalan nikah."

Elvan menahan tawa.

"Ngangguk nggak?" Danny menunjuk siswa itu dengan telunjuknya. "Ngangguk nggak?"

"I—iya, Kak. Saya yang lapor," kata siswa itu sambil menahan suaranya yang terdengar serak.

"Nah, gitu dong. Orang gue mau tahu jawaban doang." Danny menempeleng pipi siswa itu yang sudah dia tarik untuk berdiri. "Udah sana! Awas ya kalau lo ngelaporin gue lagi!"

Tak ada yang tahu apa yang ada di pikiran seorang Danny Indrawinata.

"Heran dah gue," kata Tama sambil menggelengkan kepalanya. Bingung dengan sifat aneh temannya itu. "Tobat, Dan! Tobat!"

Danny mencibir pelan. Dia ikut bersandar di tembok, tepat di samping Elvan yang sejak tadi merenung. Laki-laki itu menarik keluar sebatang rokok dari bungkusannya yang dia ambil dari kantung belakang celana.

"Apa cantiknya Ara?" tanya Danny sambil mengepulkan asap rokoknya ke udara. Dia kemudian memberikan rokoknya kepada Tama yang meminta. Berbeda dengan Elvan yang entah kenapa kali ini memilih untuk tidak merokok dulu.

"Gue nggak ngelihat dari cantiknya fisik cewek buat bilang kalau gue cinta sama dia."

"Apa? Cinta?" Tawa Danny keluar dengan cepat, menggema tanpa takut terdengar oleh orang lain. "Hah, omong kosong," kata Danny. Laki-laki itu kembali mengisap ujung rokoknya dalam-dalam. Memejamkan mata. Menikmati saat-saat ketika asap rokok keluar dari mulut dan hidungnya.

Elvan menarik napas dan mengembuskannya pelan. Saat tangan Danny yang memegang bungkusan rokok terarah ke depannya, dia menolak pelan. "Thanks."

"Kenapa?" Danny menyimpan kembali bungkusan itu ke dalam saku celana. "Kenapa gue bilang omong kosong?"

Elvan menatap Danny bingung. "Kenapa?"

Begitu juga dengan Tama.

"Kalau emang gitu, kenapa gue dibuang ke panti asuhan di saat gue butuh ASI dan kasih sayang dari orangtua kandung gue sendiri?" tanya Danny. Dia tertawa mengingat kehidupannya selama ini. "Gue diadopsi sama keluarga kaya raya disaat mereka nggak bisa punya anak. Tapi disaat perempuan itu hamil, dia seolah ngebuang gue sampe gue nggak betah dan akhrinya gue milih buat kabur dari rumah waktu gue masih SMP. Sebagai anak belasan tahun, gue udah tahu kalau selama ini mereka nggak dengan senang hati ngerawat gue sampai gue bisa bicara, sampai gue bisa ngerangkak, sampai gue bisa lari-larian. Sayangnya, gue malah ketemu sama orang yang hidupnya salah." Danny tiba-tiba saja mengingat laki-laki yang dia temui saat mengamen di depan sebuah ruang makan. Saat itu Danny dimarahi karena mengambil tempat kekuasaan Joni, namun akhirnya mereka bisa akrab. Dan karena Danny sudah bercerita tentang keadaannya, ternyata mereka sama-sama tak punya keluarga. "Tapi seburuk-buruknya orang, tetep ada sisi baiknya. Buktinya, dia tetep ngurus sekolah gue sampai gue bisa ada di sini."

Elvan merenung menatap bangunan tak jauh darinya.

"Kalian berdua nggak usah pake topeng segala buat nutupin aslinya kehidupan kalian di luar sana kayak gimana."

Elvan membenarkan dalam hati, namun dia tidak mungkin akan mengangkat suara ketika dengan gampangnya Danny membuka kenyataan kehidupannya selama ini.

"Ya, begitulah," kata Tama sambil tertawa. "Omong kosong, ya? Ngapain nikah kalau ternyata kedua orangtua gue nggak saling cinta. Ujung-ujungnya cerai. Hancur, Dan."

Namun, Elvan memilih untuk tidak bersuara saja.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro