Persona-09

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

___

tungguin aja rombongan sekolah gue nyerbu ke sekolah lo

Danny membaca pesan berisi satu kalimat itu dari nomor yang tidak dikenalinya, tetapi dari gelagatnya saja Danny sudah tahu siapa. Pasti salah satu siswa SMA yang merupakan musuh sekolahnya. Bagaimana pun predikat SMA Negeri Unggulan Akademik, tetap saja sekolah itu sudah dibangun lama dan dari tahun ke tahun beberapa akan ada perselisihan ketika lomba akademik maupun non-akademik akan tidak mereka terima ketika merasa ada yang curang. Sekolahnya juga tidak sepenuhnya berisi siswa-siswi rajin dan berprestasi, contohnya dirinya sendiri yang dia rasa tak memiliki kemampuan khusus.
 
Ah, Danny pernah ikut klub karate sekolah, tetapi dia dikeluarkan karena melanggar janjinya untuk tidak mempergunakan keahliannya itu dengan sembarangan, seperti setahun yang lalu ketika dia masuk ruang BK karena telah menghajar kakak kelasnya sampai terbaring di rumah sakit. Beruntung karena tak ada tuntutan sama sekali. Danny juga tidak diikutkan ke kejuaraan Internasional di Malaysia beberapa bulan yang lalu gara-gara kejadian itu. Padahal dia sudah ditunjuk untuk ikut seleksi sebelum keberangkatan beberapa bulan kemudian.

"Kenapa?" tanya Elvan bingung. Laki-laki itu menaikkan kedua kakinya di atas meja.

"Gue nggak pernah mancing si Yufa sampai-sampai dia ngirim SMS ke gue kayak gini." Danny rasanya ingin mengumpat berkali-kali dengan suara keras, tetapi dia sadar jika melakukan itu maka akan berdampak pada dirinya sendiri.

Elvan menyipitkan mata. Tatapannya tertuju pada layar ponsel Danny. "Nggak ada namanya."

"Tapi gue yakin ini dia."

"Ya udah." Elvan menjawab tak peduli. "Biarin aja."

Danny rasanya ingin memukuli laki-laki yang diajaknya berbicara itu, namun dia sendiri bingung kepalan tangannya padahal sudah terbentuk, tinggal dia berikan bogeman di pipi Elvan berkali-kali, seperti apa yang Elvan sering lakukan padanya ketika dia punya salah.

"Untung gue sayang lo."

Elvan mendengus pelan. Kepalanya beralih ke arah lain. "Najis."

Tiga laki-laki yang membolos itu kini duduk bersisian di meja siswa yang dibiarkan tergeletak di luar ruangan. Elvan sendiri bingung kenapa pihak sekolah masih belum maksimal memperbaiki sekolah favorit itu. Dari apa yang dia dengar ketika di luar sana, sekolahnya itu terkenal dengan siswa-siswinya yang pintar, rata-rata mempunyai ekonomi orangtua yang serba kecukupan, beasiswa yang bertebaran, beberapa siswi yang juga merupakan model, dan masih banyak lagi. Tapi tetap saja, di pikiran Elvan, masih saja ada yang seperti dirinya, Danny, Tama, dan beberapa teman seangkatannya, siswa kelas XII bahkan kelas X.

Danny turun dari meja ketika nomor yang mengirimkannya pesan tadi tertera di layar, meneleponnya. Danny tak perlu berpikir panjang untuk menerima panggilan itu atau tidak. Saat dia berjalan menjauh menuju bagian gerbang belakang, suara deruman motor terdengar banyak dan memekakkan telinganya. Bukan hanya lewat perantara sambungan itu, tetapi juga berasal tak jauh dari tempatnya berdiri.

Ketika dia ingin berkata, sebuah batu mengenai bahunya. Menyebabkan ponselnya jatuh tergeletak di atas tanah yang semalam dibasahi oleh air hujan.

***

"Kalian berdua saling kenal?"

"Gue nggak kenal dia."

Lebih dari satu tahun yang lalu, Ara mengajukan sebuah permintaan pada Elvan untuk merahasiakan hubungan mereka dari siswa di sekolah. Jangan sampai ada yang tahu mereka punya hubungan seperti hubungan antara Farah dan mantan pacarnya waktu itu, yang pernah menjadi bahan bercandaan siswa-siswi di kelas. Ara tak mau itu terjadi padanya di kelas. Risih.

Dia kembali mengingat kejadian kemarin. Saat dia mendengar kalimat yang kaluar dari bibir Elvan, di depan Della, membuatnya merasa sakit hati. Rasanya dia ingin mengobrol lebih lama. Dia ingin bercerita, ingin bertanya, dan ingin meluapkan semua yang pernah dia rasakan.

Perempuan itu berdecak. Dia tak fokus pada materi yang disampaikan oleh Bu Tika, guru Biologi yang saat ini menjelaskan poin-poin yang tertera di layar proyektor yang tersambung dengan laptop. Tangannya bergerak memutar pulpennya dengan pelan. Tatapannya tak terfokus di satu titik.

"Ra?" bisik Farah sambil menyenggol lengan Ara yang masih saja melamun. "Fokus. Entar Bu Tika ngelihat lo."

"Gue denger kok," balas Ara. Dia menghela napas panjang dan kembali matanya tertuju pada dinding.

"Dari kemarin lo kayak gini mulu." Farah menatap Ara dengan serius. Volume suaranya ia kecilkan, takut Bu Tika akan tahu dia sedang tidak serius sekarang ini.

Ara memperbaiki letak kacamatanya sambil menggeleng. Dia tak bersuara dan kali ini memilih untuk lanjut untuk mencatat hal penting dari apa yang Bu Tika ucapkan, walau beberapa yang tidak sempat dia tulis karena melamun.

Kelas itu sangat sepi. Semuanya tahu Bu Tika lebih suka semuanya tertib. Tidak boleh ada suara yang bisa saja membuat Bu Tika berhenti dari aktivitasnya menjelaskan di depan kelas. Namun, saat suara bising terdengar dari keluar kelas, membuat semua orang yang ada di dalam kelas XI IPA 3 menoleh keluar pintu. Bu Tika melangkah keluar dan bertanya pada salah seorang guru yang lewat. Saat dia mendapatkan jawaban, dia kembali melangkah ke dekat pintu. Tangannya menarik kenop pintu kelas sambil menatap siswa-sisiwi.

"Jangan ada yang keluar! Mengerti? Ibu mau keluar dulu," katanya sambil menarik pintu dan menutupnya rapat-rapat. Meninggalkan seisi kelas yang kebingungan.

Dari sini, Ara yakin, sesuatu hal terjadi di luar sana. Dia mendengar keributan itu, begutu juga sebagian temannya yang kini ribut karena penasaran.

"Kalau Bu Tika balik, izinin gue, ya?" Ara berdiri. Dia bersiap melangkah lagi sebelum Farah membalas pertanyaannya.

"Mau ke mana, Ra?"

Ara hanya menunjuk ke pintu. Setelah itu dia tidak mengucapkan apa-apa dan memilih untuk membuka pintu. Dia tidak peduli apa yang terjadi ketika matanya menangkap beberapa siswa dan siswi yang keluar dari kelas, sedang menonton ke arah di mana gerbang utama yang jaraknya lumayan jauh dari koridor kelas XI di lantai paling bawah.

Dia menunduk saat melewati siswa-siswi di kelas lain yang berjejer di koridor. Dia mencari Elvan. Pasti laki-laki itu sedang bersama Danny dan setahu Ara, Danny punya banyak musuh di sekolah lain.

Ara tak ingin membohongi dirinya ketika pikirannya mengatakan bahwa dia tidak sedang mengkhawatirkan laki-laki itu.

Saat dirinya berada di koridor di mana dia tak bisa lagi melihat bagian luar sekolah, dia melangkah pelan. Tatapannya tertuju pada Elvan yang duduk di bangku.

Beberapa detik setelahnya, Elvan menatap Ara yang makin mendekat. Ara tak tahu mengapa dia berani melakukan ini, namun sepatunya sudah menyentuh kaki bangku yang Elvan duduki.

"Kamu...." Ara membasahi tenggorokannya. Matanya tertuju pada goresan kecil di dahi laki-laki itu. "Ikutan tawuran?"

Elvan menarik tangan Ara agar perempuan itu duduk di sampingnya. Dia tak tahu, Ara sangat gugup sekarang. "Maaf yang kemarin," katanya. Dia sama sekali tidak mengindahkan apa yang Ara tanyakan padanya tadi.

Ara menoleh. "Yang mana?"

"Karena aku pura-pura nggak kenal kamu." Elvan tersenyum. Tangannya bergerak naik menyentuh pipi Ara. Dia tak peduli lagi jika saja ada orang yang akan lewat di koridor itu dan menatapnya sedang ingin melakukan apa. "Karena aku pernah janji, 'kan?"

"Harusnya kamu nggak ngelakuin ini." Ara sudah menjauhkan tangan Elvan dari pipinya, namun laki-laki itu kembali menyentuhnya.

"Kenapa?" tanya Elvan. Dia benar-benar merindukan saat-saat di mana dia bisa duduk lama berhadapan dengan Ara, tetapi apa yang dia lakukan sekarang lebih berani. Dia seolah tak peduli pada apa yang pernah dia iyakan. Laki-laki itu kembali mengusap pipi Ara juga sudut bibir perempuan itu dan dia mendekat. Membuat Ara menahan napasnya. "Aku pernah minta ini sekali," katanya sambil mengusap pelan bibir Ara.

"Van...." Dia menjauhkan tangan Elvan lagi.

"Tapi kamu nolak," kata Elvan kemudian. Dia tidak bermaksud apa-apa ketika membahas apa yang terlontar di bibirnya tadi. Dia hanya ingin kembali melihat bagaimana ekspresi perempuan itu. "Kamu beda dari yang lain."

Ara berusaha untuk tersenyum. Ada rasa senang ketika sadar dia dan Elvan duduk di bangku yang sama, dalam waktu yang lebih lama ketika berbulan-bulan tak saling bicara.

"Kamu udah 17 tahun." Elvan tersenyum hangat. "Belajar yang makin rajin."

Mendengar itu membuat Ara ikut menarik kedua sudut bibirnya. Saat dia menoleh, dia mendapati Elvan mengambil sesuatu di kantung baju. Tangan laki-laki itu tanpa berpikir dua kali bergerak menyelipkan anak rambut Ara ke belakang telinga kanan dan kiri secara bergantian.

"Aku nggak pake kotak kalung karena kegedean." Elvan maju beberapa senti meter. Mendekat. Dia menarik kedua bahu Ara juga lalu setelah itu kepalanya maju untuk memerhatikan kedua tangannya memasang kalung itu. "Jangan ditolak lagi. Pake terus aja," kata Elvan kemudian dia menarik diri dari Ara. "Jangan sampai dilepas."

Ara tak tahu harus mengatakan apa lagi. Keduanya diam selama beberapa saat lalu Ara membuka suara. "Aku kangen kamu yang dulu."

Elvan mengembuskan napasnya sambil bersandar di dinding. Kedua tangannya mengusap wajahnya. Lelah. "Jangan bahas itu, Ra...."

"Berarti kamu pengin aku ngelupain semuanya? Gitu?"

"Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi."

Ara mengatupkan bibirnya kembali ketika tadi bersiap untuk menumpahkan semua yang ada di benaknya. Namun karena perkataan dari Elvan membuatnya mengeluarkan air mata. Elvan tak pernah mengungkapkan hal itu secara terang-terangan sebelumnya.

Dia berdiri, namun Elvan juga ikut berdiri. Laki-laki itu menariknya ke dalam pelukan. Memeluknya begitu erat sambil mencium rambutnya sesekali.

"Aku juga kangen." Elvan memejamkan matanya. "Kangen kamu yang dulu ... juga yang sekarang."

***

Ara tak menyangka kejadian singkat tadi membuatnya tak bisa fokus selama tiga mata pelajaran selanjutnya. Ara yakin, semuanya hanya terjadi di waktu itu saja. Semua akan kembali seperti kemarin, di saat dia dan Elvan tak saling bicara.

Namun, dia masih memikirkan kemungkinan antara hubungan Della dan Elvan. Jika saja perkiraannya benar, maka Ara akan berusaha melupakan semuanya. Walau tak segampang itu untuk melupakan. Rasanya aneh, ketika mempunyai teman yang punya hubungan dekat dengan orang yang disukai.

"Hei."

Perempuan itu berhenti melangkah ketika laki-laki yang bersandar di tiang menatapnya sambil memainkan sebuah kamera di tangan. Ara tak mengerti kenapa laki-laki itu masih ada di sekolah padahal sudah pukul empat sore, namun laki-laki yang Ara tak tahu namanya itu hanya tersenyum semringah.

"Enak ya pelukan sama Elvan?" tanyanya yang berhasil membuat jantung Ara rasanya ingin melompat. "Nggak perlu khawatir semuanya bocor. Gue temennya Elvan kok, ada di pihak kalian berdua tentunya. Jadi, tenang aja."

"Mau lo apa?" tanya Ara bingung.

"Gue pikir lo bisu." Tama tertawa karena selama ini dia tak pernah mendengar Ara. Dia mengangkat kameranya, menggeser layarnya berkali-kali hingga akhirnya menampilkan sebuah gambar yang membuat Ara membulatkan matanya. "Kayaknya gue berhasil ngambil gambar yang bagus."

"Hapus!" perintah Ara cepat. Badannya tiba-tiba lesu melihat sebuah foto dirinya sedang dipeluk oleh Elvan. "Siapa pun elo, gue minta hapus!"

"Lagian Elvan nggak masalah kok." Laki-laki itu kembali tertawa. Dia merasa senang membuat perempuan di depannya itu marah. "Justru dia pengin cetak yang gede banget kayak baliho buat dipajang di kamarnya."

Ara berdecak. Dia mendekati Tama dan berusaha mengambil kamera itu dengan tangannya yang bebas. "Mau lo apa sih?"

"Ya elah, lagian nggak apa-apa. Santai aja."

Ara tak tahu harus melakukan apa. Berusaha mengambil kamera itu juga tidak memungkinkan. Atau mengejar laki-laki yang tidak dia kenali juga tidak mungkin dia lakukan karena dia pikir semuanya juga akan sia-sia.

"Hai, Van?"

Ara refleks menoleh ke arah yang Tama pandangi. Dia langsung terdiam. Tak lagi berkata-kata terlebih ketika Elvan berhenti di dekatnya dengan sebelah tangan yang memegang tali tas yang tersampir di bahu kanan. Hanya menatapnya dalam diam.

Elvan kembali seperti kemarin dan Ara akan kembali seperti itu juga untuk tak saling menyapa di sekolah.

Mereka saling tatap dalam waktu dua detik sebelum akhirnya Elvan meneruskan langkah, diikuti oleh Tama di belakangnya.

Kejadian tadi pagi tak akan terulang lagi menurut Ara, tetapi perempuan itu berharap akan ada waktu di mana dia bisa berada di dekat Elvan lagi. Kecuali jika perasaannya sudah hilang, tak tersisa untuk laki-laki itu.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro