Persona-13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


___

Ara dan Della keluar dari ruang Kepala Sekolah. Lebih dari lima belas menit mereka berdua duduk di masing-masing kursi yang ada khusus untuk tamu Kepala Sekolah SMA Negeri Unggulan Akademi. Tentunya, baik Ara maupun Della sama-sama memasuki ruangan itu untuk yang pertama kalinya. Ara masih ingat dulu, saat dirinya melihat beberapa anggota Pramuka yang saling menunjuk untuk memulai mengetuk pintu dan dia tak begitu memedulikan. Namun, beberapa menit lalu dia sudah merasakannya sendiri. Untungnya Della berani memulai mengetuk pintu.

"Kayaknya gue nggak ambil, deh, Ra." Della berjalan dengan langkah santai begitu juga dengan Ara di sampingnya.

Tadi Kepala Sekolah memang membahas mengenai dua beasiswa yang diperuntukkan kepada Ara dan Della, dua siswi yang paling terkenal dengan prestasi mereka di sekolah itu. SMA mereka bekerjasama dengan salah satu Universitas di Jepang yang terkenal dengan jurusan Kedokteran yang terbaik di sana. Ara jelas bahagia mendengar kabar itu. Walau tetap saja semuanya masih butuh banyak proses untuk mengurusnya sampai dia tiba di Jepang nanti.

Dari perkataan Della barusan, Ara sudah menebak kenapa dia akan menolak. Seperti yang Della ceritakan kemarin dengan Ara mengenai cita-cita di masa depan nanti. Della tak mau masuk di Jurusan itu.

"Sayang banget. Padahal, seandainya lo mau kita bisa bareng nantinya." Ara menoleh pada Della. "Pasti orangtua lo bangga, anaknya dapat prestasi hebat di sekolah."

"Tapi, tetep aja kan gue udah terlanjur nggak baik. Pasti Bokap dan Nyokap gue udah pernah denger gue kayak gimana." Della tertawa tipis. Bukan berarti dia senang mengatakan hal demikian. "Makanya nggak nyari gue lagi. Padahal dulu gencar ngehubungi gue buat balik ke rumah."

Keduanya diam lagi. Sama-sama tak saling bicara ketika masing-masing di antara mereka bingung ingin mengatakan apa lagi. Ara juga tak berani lagi untuk berbicara. Dia memfokuskan matanya ke koridor yang dia lalui. Siswa-siswi sedang duduk-duduk di bangku yang ada. Ada juga beberapa yang berdiri dan saling bercerita sampai tertawa terbahak. Dia tiba-tiba merindukan saat-saat seperti itu, namun sayangnya sudah tak pernah lagi terulang di bangku SMA. Terakhir kali kebersamaan dengan siswi lain itu pada hari kelulusan SMP. Dia masih ingat ketika teman-temannya menariknya ke lapangan dan mewarnai baju putihny. Padahal ingin dia sumbangkan pada yang lebih membutuhkan seperti saran dari mamanya sejak lama. Alhasil, dia juga kena amarah dari guru yang melihat kejadian itu.

"Gue mau ke kantin. Lo mau juga?" tanya Della ketika dia akan membelok ke koridor lain.

"Enggak, Del. Mau langsung ke kelas," jawab Ara sambil melambaikan tangan ketika Della kembali berjalan tanpa mengucapkan kata-kata lagi, hanya melambaikan tangannya pada Ara dalam waktu dua detik lalu kembali fokus menuju tempat yang dia tuju.

Saat di ruang Kepala Sekolah tadi, Ara sudah sangat berharap ketika Della berkata untuk memikirkan dulu tawaran itu, dia pikir Della ingin memikirkannya matang-matang, berhari-hari sebelum akhirnya memutuskan jawabannya. Namun ternyata tetap saja perempuan itu menolak ketika sudah berada di luar ruangan. Padahal Ara benar-benar berharap Della mau dan mereka bisa mengurusnya bersama-sama nanti. Lagi pula menurut Ara, Della akan terhindar dari hal-hal buruk jika disibukkan dengan rutinitas kuliah di Jepang nanti. Apalagi dengan pada Jurusan itu.

Mata Ara menyipit ketika melihat Tama berjalan ke arahnya sambil tersenyum semringah. Ara refleks berhenti dan saat Tama sudah di dekatnya, laki-laki itu berhenti melangkah. Di tangannya terdapat sebuah amplop cokelat yang terlipat dua sedangkan ada kamera yang talinya menggantung di leher.

"Lo mau apa?" tanya Ara bingung.

"Nih." Tama menyodorkan benda persegi panjang yang sekarang terlihat persegi karena sengaja dia lipat. "Lo pasti nggak amnesia kan waktu gue pegang kamera?"

Ara diam. Dia hanya menatap benda di tangan Tama tanpa berniat sama sekali untuk menyentuhnya.

"Ambil!" seru Tama pelan. "Titipan dari Elvan. Mana mau gue cetakin foto ini buat kalian berdua dengan suka rela. Kalau gue nggak dipaksa, ya mana mau."

Kata-kata dari Tama itu sontak membuat Ara terdiam cukup lama hingga akhirnya kepalanya mendongak untuk menatap Tama yang saat ini menahan tawa. "Maksud lo?"

Tama memajukan wajahnya pada Ara dan membuat perempuan itu mundur satu langkah. Namun, Tama kembali maju hingga bibirnya terarah di samping telinga Ara. "Elvan ngasih hadiah foto kalian berdua. Sebagai hadiah yang nggak sempet Elvan kasih ke elo waktu ulang tahun," kata Tama. Setelah itu dia kembali menarik dirinya dan berdiri tegak.

"Tapi dia udah kasih-" Ara langsung membungkam bibirnya sendiri ketika tersadar dia sedang berbicara dengan orang lain. Kalung pemberian Elvan waktu itu masih terpasang di lehernya. Tak pernah dia lepas bahkan ketika mandi.

"Nih!" Tama kembali menyodorkan benda di tangannya itu. saat itu juga Ara mencoba mengambil dan saat amplop berisi foto itu berpindah ke tangan Ara, Tama kemudian melanjutkan, "kata Elvan, pajang di kamar. Supaya kalau lo rindu tinggal lihat foto kalian pelukan aja."

Ara pikir Tama hanya mengada-ngada. Ara bahkan yakin itu, tetapi mengenai foto bisa saja apa yang Tama sampaikan memang benar. Tatapan Ara kini terfokus pada sebuah kamera yang menggantung di leher Tama. "Lo ... nggak masuk ekskul Jurnalistik?"

Tama mengangguk beberapa kali. Sebenarnya tak berniat menjawab pertanyaan Ara. Laki-laki itu sejak tadi sebenarnya ingin mengambil gambar di sekolah, seruan dari pembina OSIS. Namun karena dia memegang amplop untuk dia berikan pada Ara, makanya laki-laki itu memilih mengalungkan kameranya di leher.

Tama mengambil kameranya. Mengatur lensa dan kemudian mengarahkannya pada Ara yang berdiri di jarak hampir satu meter di depannya. Saat itu juga Ara mengangkat tangannya untuk menghalau apa yang ingin Tama lakukan. "Turunin nggak!"

"Cuma dapet foto cewek yang lagi nutupin muka." Tama tertawa. "Tapi, gue yakin Elvan tetep bakalan ambil sebagai koleksinya di kamar atau nggak dia ngoleksi foto-foto lo di folder yang judulnya my love."

"Dari tadi lo bahas Elvan mulu."

"Kenapa?" tanya Tama sambil tertawa. "Ya, kalau kenyataannya gitu."

Ara mengembuskan napas pelan. Dia mengusap lengannya ketika teringat sesuatu hal kemarin saat istirahat. Sebelum Tama pergi, Ara memanggil laki-laki itu. Tama mengangkat alisnya, bertanya, "Kenapa?"

"Gue boleh tanya sesuatu hal?"

"Apa?"

"Apa cita-cita lo pengin jadi fotografer?"

"Gue rasa enggak." Tama tersenyum smirk. "Tapi..., kalau gue jadi fotografer buat motret model di perusahaan pakaian dalam, gue dengan senang hati ngelakuinnya."

Ara mengembuskan napas panjang. "Kayaknya gue salah bertanya," kata Ara lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas. Dia tak peduli lagi dengan Tama yang melihat Ara dengan tatapan penuh bingung.

***

"Gue habis tanya temen-temennya Elvan tentang cita-cita dan jawaban mereka beda-beda. Maksudnya, ada yang absurd ada yang malah ngeselin banget."

Farah mengangkat kedua bahunya. Dia tertawa pelan ketika membayangkan bagaimana Ara ketika berhadapan dengan Danny dan Tama. "Waktu ngomong sama Danny, lo nggak kena tampar, kan?"

Ara tertawa mendengar pertanyaan itu. "Ya enggak lah. Tapi, gue nggak pernah denger dia nampar atau mukulin cewek."

"Pernah," kata Farah dan saat itu juga membuat Ara menoleh padanya dengan mata membelalak karena kaget. Setelah mendapatkan respons seperti itu dari Ara, Farah kemudian terbahak. "Bercanda kali."

Ara memukul lengan Farah. "Lo udah bikin kaget aja. Ngeri kalau dia beneran pernah gituin cewek. Kan kasian."

"Berdoa aja sih, enggak. Mana tahu kan kalau emang bener di luar sana? Gue kan nggak pernah denger yang sebenarnya kayak gimana."

"Iya juga, sih." Ara mengangguk-angguk. Dua orang itu berhenti di koridor saat melihat seseorang yang bersandar di atas meja yang biasanya digunakan sebagai tempat menaruh piala dari juara lomba siswa-siswi setiap Senin pagi. Danny sama sekali duduk dengan santai. Tanpa merasa takut akan mendapatkan teguran dari guru yang lewat.

Saat Farah menarik lengan Ara untuk segera menjauh, Ara menolak. Dia memilih untuk menyuruh Farah pulang lebih dulu karena memang jemputan Farah sudah tiba saat keduanya masih berada di dalam kelas, mengatur alat tulis yang berserakan di atas meja mereka.

"Kenapa?" tanya Farah bingung. Dia melirik ke arah Danny. "Tuh, berani lo lewat sana?"

Ara menggeleng pelan. "Gue mau ngomong sama dia."

"Buat?"

"Udah." Tangan Ara bergerak mendorong Farah menjauh. "Nggak apa-apa kok. Lo mending keluar cepet. Kasihan sopir lo nungguin lo dari tadi."

"Ah, lo mah suka gitu," kata Farah agak kesal. Ketika dia menatap ke arah Danny, saat itu juga Danny tak sengaja menatapnya. Laki-laki itu sedang mengunyah permen karet. Kaki kirinya tertekuk di atas meja dan lututnya ia jadikan sebagai sanggahan untuk lengannya. Sedangkan punggungnya dia sandarkan ke dinding. Farah berdecak pelan. "Pose yang bener-bener sopan."

Ara tertawa. "Udah sana...," katanya sambil mendorong Farah untuk segera pergi dari tempatnya berdiri sekarang ini.

"Hati-hati, Ra!" teriak Farah. Dia lega ketika merasa Ara belakangan ini sudah terlihat seperti baik-baik saja. Dia pikir, mungkin saja Ara sudah melupakan apa yang pernah terjadi. Walau Farah tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ara sampai sahabatnya itu tak berangkat ke sekolah dan menangis ketika dia menelponnya.

Ara memerhatikan Farah yang mulai menjauh. Ketika sahabatnya itu sudah melewati koridor menuju gerbang utama sekolah, saat itu juga Ara memberanikan diri untuk melangkah ke arah di mana Danny sedang duduk. Danny yang sejak tadi memang memperhatikan gerak-gerik Ara dan Farah, hanya bisa mendengus pelan. Dia terus memerhatikan Ara yang berjalan ke arahnya dan saat perempuan itu berhenti setengah meter dari meja yang dia duduki, Danny mulai bersuara. "Kenapa lo?"

"Gue masih mau tanya tentang kemarin," kata Ara. Matanya tak sengaja tertuju pada luka goresan yang ada di jidat kiri laki-laki di depannya itu. "Waktu kecil, lo bercita-cita pengin jadi apa kalau udah gede?"

"Spiderman."

"Gue serius kali." Ara mengembuskan napas pelan. Dia kemudian bersandar di dinding sambil memegang dua buku paket yang ia bawa hari ini.

"Lagian ngapain masih bahas yang kemarin?" Danny mengeluarkan permen karetnya yang ada di saku baju. Permen karet yang sebelumnya sudah dia buang ke tempat sampah yang ada tak jauh dari tempat di mana dia duduk. Dia menyodorkan satu permen karet yang ada di bungkusan yang sama. Sedangkan Ara menggeleng. Langsung sadar bahwa Danny berniat memberikannya permen itu. "Ya udah," kata Danny. Dia menaruh kembali permen karetnya dan mengambil 1 untuk dia masukkan ke dalam mulut.

"Maksud gue..., emang seriusan nggak ada yang lain apa selain Superhero?"

"Gue nggak pernah bilang Superhero, tapi spiderman."

"Iya, maksud gue gitu." Ara mengganti posisinya, kini dia kembali tak bersandar pada dinding. "Polisi, misalnya. Atau mungkin tentara. Atau mungkin juga dokter."

Danny menatap Ara, sedikit kesal karena pertanyaan perempuan itu yang membuat telinganya terasa berdengung. "Ngapain sih nanya-nanya?"

"Kan lo udah tahu gue mau apain?"

"Yaelah. Masih aja ternyata." Sebenarnya Danny bisa saja langsung pergi tanpa memedulikan Ara sama sekali. " Waktu gue kecil, gue mana mikir gituan. Ngelihat tentara aja nggak pernah, apalagi polisi. Kecuali polisi lalu lintas, kayaknya gue sering lihat de. Seinget gue. Waktu gue kecil penuh dengan mainan robot-robotan, mobil-mobilan, dan apalagi Spiederman. Jadi, wajar gue tahunya cuma itu-itu doang."

Danny menunjuk keningnya yang luka. "Lo lihat ini? Kebiasaan gue dari kecil gini. Dikit-dikit jatoh. Berdarah. Dikit-dikit mimisan. Hidung kepentok pintu aja sedetik kemudian darah udah ngalir. Dikit-dikit berantem sama tetangga karena rebutan mainan. Tapi, itu waktu kecil gue sering mimisan, sekarang enggak."

Ara menatap kening Danny yang luka itu. Dia tak ingin Danny berpikir lain-lain, makanya Ara tak mau keceplosan bertanya penyebab kenapa jidat laki-aki itu bisa luka.

"Gue punya plester luka. Kemarin gue beli buat dua dan yang satunya udah kepake," kata Ara. Dia berjalan ke arah meja dan menaruh dua buku paketnya di sana. Tas ranselnya dia arahkan ke depan untuk membuka kancing paling depan tasnya untuk mengambil benda itu.

Danny memerhatikan Ara yang sedang mengeluarkan sebuah plaster luka. "Lo yang pake?" tanyanya. Sedangkan Ara sudah memakai tasnya kembali seperti semula. Dia bergerak mendekat ke arah Danny tanpa memedulikan pertanyaan yang Danny lontarkan baru-baru ini.

Danny tertegun. Awalnya dia menjauhkan tubuhnya ketika Ara mulai mengangkat tangannya agar sejajar dengan jidat Danny yang luka. Karena laki-laki itu masih lebih tinggi dari Ara dengan posisi yang masih duduk di atas meja. "Kenapa lo baik sama gue?"

Pertanyaan itu keluar dari Danny tepat ketika Ara selesai memasang plaster itu. Dia kembali merapatkan sepatunya ke ubin dan menatap Danny dengan bingung. "Emang yang gue lakuin ini langsung ngebuat lo berpikiran kalau gue orangnya baik? Jadi, kalau misal hari ini gue ngebunuh orang terus besoknya gue nolongin orang, lo bakalan langsung cap gue sebagai orang baik?"

"Bisa. Kalau lo ngebunuh orang karena terpaksa dan lo nolongin orang dengan peduli sesama. Itu baik versi gue."

Ara mendengus pelan. Dia kembali memerhatikan plaster di jidat Danny yang tidak begitu rapi. Dan ketika perempuan itu kembali melangkah, Danny hanya bisa terheran. Namun, dia memasang senyum paling lebar ketika melihat Elvan datang dari arah berlawanan dengan posisinya duduk sekarang. "Hallo, Van! Cewek lo genit ke gue, masa?"

"Hah?" Ara menatap Danny dengan membelalak. Saat itu juga, dengan cepat dia menoleh ke belakang. Namun belum sempat dia bersuara, tangannya sudah ditarik oleh Elvan. Sedangkan tangan Elvan yang lain mengambil buku Ara yang ada di atas meja.

Ara bingung ketika Elvan menariknya dan terlebih lagi laki-laki itu menautkan jemarinya pada jemari Ara. Menggenggamnya begitu erat hingga tiba di parkiran khusus siswa.

"Van?" panggil Ara pelan. Dia ingin membahas kenapa laki-laki itu terlihat biasa saja menariknya sedangkan beberapa pasang mata tadi menangkap sebuah kejadian yang mungkin tak pernah mereka duga akan terjadi. "Nggak salah? Kita di sekolah."

"Nggak ada yang salah, kan?" tanya Elvan. Dia membuka mobilnya dan segera menyuruh Ara untuk masuk. Setelah memastikan Ara sudah duduk tenang di kursi penumpang, Elvan menutup pintu mobilnya kembali dan memutari bagian depan mobil untuk segera duduk di kursi kemudi.

"Kenapa kamu tiba-tiba dateng dan narik aku?" tanya Ara bingung. Dia melihat Elvan mendekat dan laki-laki itu menaruh bukunya di dashboard lalu dengan penuh kehati-hatian memasangkan Ara sabuk pengaman.

Elvan sudah selesai memasangkan Ara sabuk pengaman, namun laki-lai itu masih pada posisi mendekat ke arah Ara. Tatapan keduanya saling bertemu. Ara tak tahu sudah berapa detik dia terperangkap pada tatapan laki-laki yang sangat dekat dengannya sekarang ini.

Cup.

Ara tertegun ketika tiba-tiba saja bibir Elvan menyentuh pipi dan mengenai sudut bibirnya sebelum pada akhirnya Elvan kembali duduk ke posisi semula.

"Jangan deket dengan Danny lagi," kata Elvan yang menjadi kata-kata yang terakhir Ara dengar pada hari ini. Karena setelah kejadian di mana Elvan mencium pipinya, Ara tak pernah lagi mengeluarkan kata-kata bahkan saat dia turun di depan lorong menuju rumahnya.

Hati Ara berkecamuk. Itu adalah ciuman pertama yang Elvan lakukan padanya.

Dia tak yakin akan bisa tidur dengan tenang nanti malam.

***

a.n:

00:56 A.M

thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro