Bagian 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua pilihan ada dihadapanku: antara ikut ke Bali atau tetap di sini. Jika aku ikut ke Bali, bagaimana dengan pekerjaan dan hutang-hutangku dengan butik? Jika aku tak ikut, bagaimana dengan Dania di sana? Aku masih belum percaya pada Jordan dan Damian sepenuhnya. Tapi bukti-bukti itu dan penelusuranku di media sosial tentang mereka sangat kuat. Aku yakin jika Dania ikut bersama Jordan masa depannya akan lebih baik. Dan keputusanku adalah, aku tidak ikut ke Bali. Aku akan tetap di Jakarta untuk melanjutkan hidup sendirian. Membiarkan Dania hidup bahagia dengan ayahnya adalah pilihan terbaik.

Aku memasuki kamar, memastikan barang-barang Dania yang akan dibawa ke Bali. Semua sudah rapi dan masuk ke dalam koper. Aku tinggal menunggu Jordan datang. Dia sudah mengabari jika akan menjemput Dania pagi ini. Perhatianku teralih ketika mendengar ketukan pintu. Aku bergegas menuju pintu utama karena bisa dipastikan itu Jordan. Pintu kubuka lebar.

“Selamat pagi.” Jordan menyapaku sambil tersenyum ramah.

“Pagi. Tunggu sebentar. Aku sudah menyiapkan keperluan Dania.” Aku berlalu masuk.

“Tunggu.”

Langkahku terhenti, lalu membalikkan tubuh.

“Aku ingin bicara denganmu sebentar,” tukasnya.

Langkah kuayun untuk keluar, lalu duduk di kursi.

“Kamu yakin tak ingin ikut aku dan Dania ke Bali?” Jordan memastikan.

“Iya.” Aku tersenyum hambar.

“Apa alasanmu tidak mau ikut denganku dan Dania?” tanyanya lagi.

“Aku tidak bisa menjelaskan alasan itu pada Anda. Aku percaya dengan Anda. Aku yakin, Dania akan bahagia bersama ayahnya.”

“Apa kamu ada masalah di sini?”

Aku menggeleng. “Aku akan baik-baik saja di sini. Jika Dania ingin bertemu denganku sedangkan aku tidak bisa ke Bali, Anda bisa datang ke tempat kerjaku. Ini alamat butik tempat kerjaku.” Aku menyodorkan kartu nama atas nama butik tempatku bekerja.

Jordan menerima kartu nama yang kuberikan. “Baiklah. Aku tidak bisa memaksamu.” Dia memasukkan kartu nama itu, kemudian meraih sesuatu dari balik jasnya. "Ini untukmu." Amplop coklat dia sodorkan padaku.

“Apa ini?” tanyaku tak mengerti.

“Anggap saja ini rasa terima kasihku karena kamu sudah merawat Dania dan mengajarkannya banyak hal. Aku berterima kasih banyak padamu karena percaya padaku. Sabrina-, maksudku Diana. Dia tak sepertimu. Dia keras kepala dan tidak mudah percaya pada orang lain.”

“Aku ikhlas merawat Dania. Aku tidak berhak menerima uang ini. Mengenai Kak Diana, dia memang seperti itu. Mungkin dia trauma.” Aku kembali tersenyum.

“Tolong, terimalah.” Jordan membujuk.

“Maaf, aku tidak bisa,” tolakku kukuh. “Aku ambil dulu barang-barang Dania.” Aku beranjak dari tempat dudukku, lalu bergegas masuk ke dalam.

Berat rasanya merelakan Dania pergi dari sini walaupun dia pergi bersama ayahnya. Hanya Dania keponakanku satu-satunya. Aku menarik dua koper berisi barang-barang kesukaan Dania ketika tiba di kamar. Semoga Dania betah di sana.

“Ini semua barang-barang kesayangan Dania.” Aku meletakkan dua koper berisi keperluan Dania di samping Jordan.

“Masih ada lagi?” tanya Jordan.

“Masih. Tinggal satu koper dan beberapa boneka kesayangan dia.”

“Apa butuh bantuan? Biar Alex membantumu.”

“Tidak perlu. Aku masih bisa sendiri.” Aku kembali masuk ke dalam.

Semua barang-barang kesukaan Dania sudah keluar. Jordan langsung menyuruh Alex untuk memasukkannya ke dalam mobil.

“Dania sudah dijemput Damian. Kita akan langsung ke Bali. Aku tunggu kamu di sana. Dania pasti akan mencarimu.” Jordan berpamitan padaku.

“Doakan saja semoga aku bisa menjenguk Dania di sana. Bilang saja padanya jika aku sedang sibuk kerja.”

“Aku pamit. Jaga dirimu baik-baik. Jika kamu butuh sesuatu, segera hubungi aku.”

Kepalaku mengangguk lemah.

Jordan pun berlalu dari hadapanku.

Aku hanya menatap kepergian mobilnya dari halaman  rumah ini.

Dania. Maafkan Bunda, Nak. Maaf jika Bunda tidak bisa ikut bersamamu. Semoga kamu betah di sana.


***

Dua minggu kulalui tanpa Dania. Hidupku terasa hampa tanpa adanya Dania dan Kak Diana. Aku pun masih belum niat untuk mencari pendamping hidup.

“Sabrina. Ada orang ingin bertemu denganmu.”

Pandangan kualihkan pada sumber suara.

“Tamu?” tanyaku pada Rio, rekanku di butik ini.

“Bukan. Dia laki-laki. Apa dia calonmu?” tanya Rio.

Aku tersenyum lebar. “Aku belum punya calon,” balasku sambil berlalu dari hadapannya.

“Lalu kenapa kamu menolakku?”

“Jangan bercanda, Rio. Aku ke depan dulu sekalian pulang. Daah.” Aku melambaikan tangan pada Rio.

Rio sering mengatakan hal itu padaku. Aku tahu dia suka padaku, tapi ada wanita lain yang menyukainya dan dia adalah teman kita.

Langkahku terhenti ketika mengenali sosok yang kini berdiri tak jauh dari posisiku.

“Mas. Itu Mbak Ana.” Salah satu karyawati butik berkata pada Damian.

Rupanya Damian yang mencariku. Aku segera menghampirinya. Ada apa Damian mencariku? Apa ada masalah dengan Dania? Semoga Dania baik-baik saja.

“Ikut denganku.” Damian menarik tanganku.

Aku mengempaskan tangan Damian. "Ada apa ini?” tanyaku.

“Ikut denganku ke Bali sekarang!” Damian membentakku.

“Bisakah pelankan suaramu?” tanyaku heran. Cekalannya menimbulkan rasa nyeri pada lenganku.

“Dania-“

“Ada apa dengan Dania?” tanyaku memotong.

“Dania sedang dirawat di rumah sakit. Sejak pagi dia memanggil namamu.”

Mataku sontak membulat.

“Dania sakit? Dia sakit apa? Apa dia merindukanku? Apa dia-“

“Cepat ikut aku.” Damian berlalu dari hadapanku menuju pintu keluar.

“Bagaimana dengan pekerjaanku, Damian?” Aku mengikuti Damian.

Damian menghentikan langkah. Aku sontak menabrak punggungnya tanpa sengaja.

   Damian melotot padaku. “Kamu masih saja memikirkan pekerjaanmu? Apa Dania tidak penting bagimu?” Dia mengingatkan.

Aku menggigit bibir bawahku.

“Kamu tak perlu khawatir. Cepat masuk ke dalam mobil dan jangan buang-buang waktu!”

Lebih baik aku patuh pada Damian, masuk ke dalam mobil. Damian melajukan mobil ke arah bandara. Aku meraih ponsel untuk menghubungi Bu Dila, atasanku di butik.

“Iya, Na. Ada apa?” Bu Dila menyapaku.

“Bu. Sepertinya saya akan cuti beberapa hari. Dania sakit. Saya akan menemuinya di Bali. Saya minta maaf jika belum bisa melunasi pinjaman saya ke Ibu,” kataku padanya.

“Nggak masalah, Na. Aku percaya padamu.”

“Terima kasih, Bu.”

Aku memasukkan ponsel ke dalam tas setelah percakapan melalui telepon bersama Bu Dila selesai.

“Kenapa sejak awal kamu tidak bilang jika ada masalah dengan pemilik butik? Apa ini alasanmu tidak bisa ikut ke Bali untuk menjaga Dania?”

Pandanganku terlempar ke luar kaca. “Aku tidak mau merepotkan kakakmu.”

Damian hanya bergumam tak jelas. Entah apa yang dia gumamkan. Bisa jadi mengenai aku. Biarlah. Aku hanya memikirkan Dania.


***

Setibanya di bandara Ngurah Rai Bali, aku mengikuti Damian menaiki sebuah mobil mewah berwarna silver. Ini kali pertaamaku menginjakkan kaki di Bali, pulau yang terkenal dengan pantai indahnya.

Mobil yang kami naiki tiba di lobi rumah sakit. Aku pun turun dari mobil mengikuti Damian memasuki rumah sakit ini. Kami menaiki lift. Damian menekan tombol tiga. Aku pun hanya diam selama di dalam lift karena kami hanya berdua. Lift terbuka. Kami keluar dari sana lalu menuju ruang rawat Dania.

Damian menghentikan langkah. “Dania ada di dalam. Kamu masuk saja ke dalam,” katanya tanpa menatapku.

Aku mengangguk, mendekati pintu, lalu membukanya. Terlihat tubuh mungil Dania terbujur di atas ranjang. Mataku seketika berkaca. Ingatanku kembali pada saat Kak Diana terbujur di atas tempat tidur rumah sakit.

“Dania.” Aku berjalan cepat menghampiri Dania dengan mata berlinang.

“Sabrina.” Terdengar Jordan mengucapkan namaku.

Wajah Dania kubingkai, lalu kukecup pipinya bergantian. Air mata pun tak berhenti mengalir di pipiku. “Dania kenapa, Sayang? Kenapa Dania sakit? Apa yang terjadi dengan Dania? Bunda minta maaf tidak bisa menjagamu. Ini salah Bunda.” Aku kembali terisak.

“Tidak, Sabrina. Ini kesalahanku. Aku tidak bisa menjaganya. Aku lalai mengawasi Dania. Dia jatuh dari tangga.” Jordan menimpali ucapanku.

Sedih melihat kondisi Dania saat ini. Dia terlihat kurus. Wajahnya pucat.

“Bunda.”

“Sayang, maafin Bunda.” Aku mencium tangan mungil Dania sambil terisak.

Dania seketika memeluk leherku. “Bunda dari mana saja? Dania kangen sama Bunda. Kenapa Bunda tinggalin Dania?" katanya dengan nada sedih.

"Maafin Bunda, Sayang. Bunda janji nggak akan tinggalin Dania lagi. Dania tiduran saja, ya.” Aku mengusap kepalanya lebut.

Dania tak merespon ucapanku. Dia sangat erat memelukku. Apa dia trauma dengan semua ini?

Aku akan mengurai pelukannya, tapi Dania menggeleng.
“Naiklah ke atas tempat tidur Dania. Buatlah dia nyaman.” Jordan angkat suara.

“Dania mau Bunda peluk?” tanyaku pada Dania.

Dania mengangguk.

“Lepaskan dulu tangan Dania.” Aku membujuknya.

Dania melepaskan tangannya dari leherku.

Tatapanku terlempar ke arah Jordan. Dia mengangguk. Aku merebahkan tubuh di samping Dania, lalu memeluknya erat untuk memberikan ketenangan dan kenyamanan. Melihat Dania seperti ini, aku menyesal telah membiarkannya pergi bersama Jordan.

“Bunda janji nggak ninggalin Dania lagi?” tanya Dania.

“Bunda janji nggak akan ninggalin Dania lagi.” Aku mengecup kepalanya.

Dania semakin menenggelamkan kepalanya dalam pelukanku. Dia benar-benar merindukanku. Aku berulangkali minta maaf pada Dania karena tak ikut bersamanya.

“Sudah hampir satu minggu Dania tidak mau makan. Dania ingin bertemu dengan Ana dan kamu.”

Perhatianku teralih pada Jordan.

“Aku menyesal sudah membuatnya takut. Aku memarahinya karena dia tidak mau makan. Dia tidak mau sekolah di sini. Dia mau sekolah diantar kamu,” tambahnya.

“Dia tidak mau dipaksa. Sebelum makan, aku selalu menawarinya mau makan apa,” balasku.

“Sudah kulakukan, tapi dia mau makan jika ada kamu. Pangkal kakinya mengalami cidera. Untuk sementara, dia harus menjalani perawatan sampai kakinya sembuh. Aku mengusahakan agar dia mendapatkan perawatan terbaik di sini. Aku membutuhkan bantuanmu.”

“Iya. Aku akan membantumu. Tapi aku tidak bisa lama-lama di sini. Aku masih terikat dengan butik.”

“Semua hutang-hutangmu sudah dilunasi. Aku ingin kamu menjaga Dania. Hanya kamu yang Dania butuhkan. Aku akan bayar berapa saja yang kamu inginkan asal Dania sembuh dan mau kembali seperti semula.”

“Itu berlebihan.”

“Apa aku harus memohon padamu? Akan aku lakukan.”

Aku menatap Jordan. “Tolong jangan lakukan itu,” tegurku.

“Akan aku lakukan apa saja demi Dania. Dia yang kupunya saat ini.” Jordan terlihat sedih.

Dia benar-benar menyayangi Dania. Hanya saja caranya untuk mendekati Dania salah.

Perhatianku teralih ketika mendengar suara pintu terbuka. Seorang dokter dan suster menghampiri kami sambil membawa nampan berisi makanan untuk Dania.

“Apa Dania masih belum mau makan?” tanya sang dokter.

“Belum, Dok. Semoga dengan adanya dia, Dania mau makan.” Jordan membalas ucapan dokter.

“Saya ingin memeriksa Dania.” Dokter itu menatapku sambil tersenyum.

Aku menatap Dania. Dia terlelap tidur dalam pelukanku.

“Dia sedang tidur. Anda bisa ke sini nanti jika anakku sudah bangun.” Jordan menyambar.

“Satu jam lagi tugas saya selesai. Jadi Dania pasien visitasi terakhir saya.” Dokter itu mengulas.

“Saya bisa bayar Anda melebihi bayaran di rumah sakit ini. Silakan Anda datang lagi setelah anak saya bangun.” Jordan menimpali.

“Dok, silakan periksa Dania.” Aku menengahi.

“Sabrina. Dania-“

“Maaf. Ini sudah tugas dokter. Kita harus patuh pada peraturan rumah sakit selama pasien ditangani dengan baik.” Aku memotong ucapan Jordan.

Dia hanya diam, membiarkan dokter memeriksa Dania dalam keadaan tidur.

“Bagian mana saja yang perlu diperiksa?” tanyaku pada dokter.

“Hanya dada, mata, dan mulutnya. Jika masih tidur, saya hanya memeriksa dada dan memastikan suhu tubuhnya saja,” balas sang dokter.

Aku mengangguk, memberi ruang pada dada Dania untuk diperiksa. Dokter pun memeriksa tubuh Dania.

“Usahakan Dania makan untuk mengimbangi asupan gizi. Saya khawatir berdampak pada lambungnya jika dia masih belum mau makan,” ulas sang dokter sambil memeriksa.

“Akan saya usahakan.” Aku menyahuti.

Dokter pun selesai memeriksa Dania. “Dan usahakan agar kakinya tidak banyak bergerak. Itu akan menghambat proses penyembuhan di kakinya.” Dia menambahi.

Kepalaku kembali mengangguk.

“Kalau begitu, saya permisi.” Dokter pamit pergi.

“Kamu tidak seharusnya ikut campur dengan urusanku pada rumah sakit ini.” Jordan bersuara setelah dokter itu keluar dari ruangan ini.

Aku hanya diam tanpa ingin menanggapi ucapan Jordan.

“Aku ingin memberikan yang terbaik untuk Dania.”

“Tapi tidak dengan cara seperti tadi. Rumah sakit ini memiliki kewenangan. Jadilah orang tua yang baik selama peraturan rumah sakit ini tidak merugikan Anda.” Aku angkat suara.

Jordan kembali diam. Dia pun berlalu dari hadapanku. Jangan sampai kekuasaan membuatnya mengalahkan segalanya. Dia memang punya banyak uang, tapi peraturan rumah sakit tetap harus dia taati. Dan lagipula menurutku ini hanya masalah kecil.

Perhatianku teralih ketika Dania mengigau dalam tidurnya. Dania memanggil namaku. Aku mengusap pipi Dania lembut sambil menyebut namanya agar dia terbangun. Keringat terlihat membasahi wajahnya. Senyum kusungging ketika Dania membuka mata.

“Dania belum makan. Dania makan dulu, ya.” Aku membujuknya.

“Dania mau disuapin Bunda.” Dania menatapku.

Aku mengangguk, beranjak duduk, lalu meraih nasi dan sayur yang sudah disediakan oleh suster di atas nakas.

“Dania mau makan nasi goreng buatan Bunda.”

“Dania makan yang ini dulu, nanti kalau sudah sembuh, Bunda buatin nasi goreng kesukaan Dania.” Aku menjanjikan.

“Nanti kita pulang ke rumah 'kan, Bunda? Dania nggak mau pulang ke rumah Ayah. Dania nggak suka sama Ayah.”

“Dania nggak boleh bilang seperti itu. Ayah nggak marah sama Dania. Ayah cuma tegas sama Dania karena Dania nggak mau makan.” Aku menyuapinya.

“Tapi Dania nggak mau pulang ke rumah Ayah,” katanya setelah menerima suapanku.

Mungkin aku akan membujuknya nanti. Untuk sekarang, biarkan Dania menikmati masa-masa rindu bersamaku.

“Dania juga nggak suka sama Om Damian. Om Damian jahat. Om Damian yang menculik Dania ke sini.”

Dania masih ingat dengan penjemputannya. “Dania nggak boleh bilang begitu. Mereka orang-orang baik.” Aku menasehati.

Obrolan kami terpecah karena suara pintu ruangan ini terbuka. Seketika Dania memeluk tubuhku erat. Dia sepertinya takut pada Jordan.

“Dania kenapa?” tanyaku memastikan.

“Dania takut sama Ayah.” Dania berbisik padaku.

“Maafkan Ayah, Sayang.” Jordan akan menyentuh tubuh Dania, tapi Dania menggeleng.

“Dania butuh waktu,” kataku pada Jordan.

“Aku menyesal sudah membuatnya takut seperti ini.” Suaranya terdengar sedih.

“akan aku usahakan segera membuatnya kembali percaya pada Anda asal mau sabar.”

Dia mengangguk. “Aku senang dia kembali makan.”

Aku mengangguk sambil menyuapi Dania.

“Bunda. Nia nggak mau ada Ayah di sini,” bisik Dania.

“Dania nggak boleh begitu. Ayah baik, kok. Kemarin hanya bercanda sama Dania,” balasku berbisik.

“Ayah nggak bercanda. Ayah seperti singa kalau lagi marah.”

Tawaku tertahan saat Dania mengucapkan kata-kata itu.

“Anda tau Dania berkata apa?” tanyaku pada Jordan.

“Apa?” tanya Jordan ingin tahu.

“Katanya, jika Ayah Dania marah, wajahnya seperti singa.” Aku tak bisa menahan tawa setelah mengucapkan kalimat itu.

Jordan pun tersenyum menanggapi ucapanku.

“Kok Bunda ngomong sama Ayah, sih.” Dania menegurku.

"Supaya ayah Dania tau,” balasku.

“Tapi kan Dania nggak mau temenan sama Ayah,” dengusnya.

“Ayah janji nggak akan marah-marah lagi.” Jordan menimpali.

“Nggak! Dania nggak mau temenan sama Ayah. Ayah galak.” Dania menatap marah ayahnya.

“Dania nggak boleh begitu. Habisin makanan Dania, setelah itu minum obat biar Dania cepat sembuh. Dania mau pulang, 'kan?” Aku membujuknya.

Dania hanya mengangguk.

Malam ini, sepertinya aku akan tidur di sini. Dania benar-benar tak mau lepas dariku. Dia tak mau  aku tinggal walau hanya ke kamar mandi. Aku harus menunggunya tidur jika ingin ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh atau buang air kecil.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro