Penyesuaian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mereka tiba di rumah Solo dalam keadaan malam. Darma dan Sari sudah menunggu kedatangan mereka.

Mobil memasuki halaman rumah tanpa pagar itu. Seketika Darma turun dari teras dan menyam ut Laut dan Amira.

“Kamu tidur di kursi belakang, Paman,” kata Laut setelah menyalami Paman dan bibinya.

“Ya sudah, masuklah, biar aku yang membawanya,” kata Darma karena dia sudah kangen dengan cucunya itu.

Laut menurunkan koper-koper mereka dan membawanya masuk. Sementara Sari membawa Amira masuk ke rumah.

Darma membuka pintu belakang dengan pelan, tak ingin membangunkan Kamu. Setelah itu dia mengangkat tubuh cucunya itu dengan pelan-pelan.

Kamu menggeliat, tapi tidak terbangun. Darma mengendong tubuh jangkung Kamu dan membawanya langsung ke kamar yang akan ditempatinya.

“Dia sepertinya lelah,” kata Sari setelah Darma menutup pintu dan bergabung dengan mereka.

“Dia tak berhenti mengoceh sepanjang jalan selama terjaga, Paman,” kata Laut tampak lelah.

“Istirahatlah. Kamar sudah dipersiapkan tadi oleh bibimu ini,” kata Darma.

“Kami merepotkan, ya, Bi?” tanya Amira sungkan.

“Merepotkan apa? Kalian ini bukan orang lain. Wong ya Laut adalah keponakanku sendiri,” sergah Darma.

Mereka tertawa kecil. Akhirnya masing-masing masuk ke kamar untuk beristirahat.

Rumah besar yang bernuansa Jawa kuno itu memang menjadi rumah berkumpul bagi Prana Jiwo. Rumah yang dulu sempat porak-poranda diledakkan oleh Gita.

Setelah masa pembangunan kembali yang memakan waktu lama, pada akhirnya rumah itu kembali berfungsi sebagaimana mestinya.

Kamu terbangun menjelang pagi, dan menatap ruangan asing itu. Lalu dia sadar itu adalah rumah kakungnya di Solo.

Dia bangun dan menuju dapur karena bau wangi masakan. Utinya sudah berkutat di dapur sekarang.

“Uti,” katanya sambil menggelayut manja di lengan Sari.

“Cucu Uti sudah bangun? Lapar?” tanya Sari sambil meneruskan kegiatannya.

“Uti masak apa?” Masih dengan kesadaran yang belum penuh, Kamu bersandar pada tubuh Sari.

“Ka, mandi dulu, setelah itu sarapan. Barang-barangmu sudah Kakung letakkan di kamar semalam,” kata Darma yang masuk dari taman belakang.

Kamu bergerak menyalami Darma lalu memeluk laki-laki tua itu dengan penuh kerinduan.

“Iya, sana mandi dulu. Nanti kalau Paman Laut bangun kamu belum siap, kamu dimarahi,” kata Darma membuat Kamu gegas ke kamar dan mandi.

Darma menggelengkan kepalanya karena tingkah cucunya itu. Benar-benar seperti Glagah saat kecil.

“Bibi, maaf, aku bangun kesiangan,” kata Amira yang tiba-tiba masuk dengan tergesa.

“Sudah selesai, Ra. Santai saja,” kata Sari.

Amira kemudian menyiapkan meja makan, lebih tepatnya hanya merapikan.

“Kamu sudah bangun?” tanya Laut sambil duduk di kursi.

“Sedang mandi. Pagi-pagi sepertinya dia sudah kelaparan,” kata Sari.

Laut terkekeh. “Bagaimana keadaan di Solo, Paman? Aman?” tanyanya ke arah Darma yang sedang membantu Sari menaruh lauk di piring saji.

“Aman, sejauh ini perkembangan bagus. Tidak ada lagi huru-hara,” kata Darma.

Kamu datang saat mereka sudah siap di kursi masing-masing.

Setelah menghabiskan sarapan, mereka duduk di ruang tengah, sementara Sari dan Amira membereskan meja makan.

“Jadi, ada dua pilihan untuk sekolahmu, Diar sudah memberikan pilihan yang paling masuk akal. Satu, adalah sekolah yayasan yang cenderung sekolah alam,” kata Laut menunjukkan data sekolah kepada Kamu.

Sekolah dengan suasana yang lebih banyak kegiatan di luar sepertinya cocok dengan Kamu yang tidak bisa diam.

“Pilihan kedua adalah sekolah negeri yang lebih formal tapi sekolah unggulan. Dari segi akademik kamu tidak akan kesulitan untuk mengejarnya,” lanjut Laut.

Slide di tablet Kamu beralih ke sekolah kedua. Sekolah yang sama saja dengan sekolahnya yang di Jakarta.

“Yayasan Kartika terkenal bagus untuk pendidikan mereka. Sekolahnya juga menjadi sekolah favorit di sini,” kata Darma menambahkan.

“Hm ... sepertinya sekolah ini memang cocok untukku yang tidak bisa diam,” kata Kamu membuat Darma dan Laut menahan tawanya.

“Baiklah, kita akan melihat lingkungan sekolah sebentar lagi. Bersiaplah,” kata Laut.

Kamu beranjak ke kamar dan mengambil ranselnya. Memasukkan tablet ke ransel dan beberapa buku.

“Kita hanya berdua?” tanya Kamu kepada Laut karena Amira tidak tampak di halaman.

“Bibimu harus banyak istirahat, jadi dia di rumah,” kata Darma.

“Baiklah,” jawab Kamu sedikit enggan.

Laut sebenarnya tidak menyenangkan jika hanya berdua, karena dia serius. Tidak sama dengan Glagah dan Bintang yang lebih bisa bercanda, Laut adalah orang yang kaku.

“Paman, apakah waktu kecil Paman juga orang yang kaku?” tanya Kamu pada akhirnya karena sepuluh menit perjalanan mereka hanya diam.

Laut tertawa, “Kenapa?”

“Paman tidak mengajakku berbicara dari tadi,” keluh Kamu.

Laut semakin keras tertawa. Ternyata dia seburuk itu di depan Kamu. “Tidak, hanya Paman tidak tahu harus mengobrol apa denganmu,” kata Laut pada akhirnya.

“Paman bisa memulainya dengan menanyakan perasaanku, seperti yang selalu Mama tanyakan setiap pagi,” kata Kamu menyarankan apa yang dia ingat dari kedua orang tuanya.

“Hm ... begitu ya?” Laut menoleh untuk memastikan yang sedang berbicara adalah anak remaja tanggung berusia empat belas tahun.

“Iya. Lalu Ayah biasanya akan menanyakan soal sekolah, atau soal apa yang ingin kukerjakan hari ini,” lanjut Kamu.

Laut mengangguk-angguk. “Baiklah. Lalu, apa yang kamu rasakan sekarang?” tanya Laut.

“Aku sudah tidak sesedih kemarin. Setidaknya, di sini tidak ada Mama yang akan mengomel dan Ayah yang akan melotot kalau aku nakal,” kata Kamu.

“Tapi, ‘kan kamu juga harus tetap mengikuti aturan Paman,” kata Laut mengingatkan.

Kamu mendesah mengingat hal itu. “Aku tidak akan nakal. Nanti kalau nakal, Paman sepertinya akan lebih kejam dari Ayah,” kata Kamu membuat Laut tertawa.

“Aku tidak sekejam itu,” sanggahnya.

“Mana ada. Kalau sedang rapat dengan Ayah dan Paman Bintang, Paman Laut yang paling kejam mengutarakan pendapat,” bantah Kamu.

Mereka sampai di lingkungan sekolah negeri. Bangunannya memang identik dengan sekolah formal yang kaku, dengan pagar tinggi.

“Skip!” kata Kamu langsung tak tertarik dengan sekolah itu.

“Oke, kita ke Sekolah Kartika,” kata Laut men-setting peta digital di dashboard mobil.

“Kenapa kamu tidak bisa diam?” tanya Laut membuat Kamu menoleh tak percaya.

“Mana kutahu, Paman. Sepertinya Tuhan memberiku banyak energi untuk terus bergerak,” jawab Kamu kesal.

Dia sendiri saja tidak tahu kenapa dia tidak bisa diam, lalu pamannya itu bertanya seperti itu?

Setelah menyetir hampir tiga puluh menit, akhirnya mereka sampai di Sekolah Kartika. Gerbang sekolah yang terbuat dari pagar rendah, memperlihatkan banyaknya pohon di dalam lingkungan sekolah.

Gedung yang diwarnai dengan warna cerah dan terpisah-pisah membuat Kamu tertarik dengan sekolah itu.

“Paman, aku ingin sekolah di sini,” katanya antusias.

Dia sudah membayangkan saat jam sekolah dan kabur, dia bisa bersembunyi di balik pepohonan rimbun itu.

“Baiklah, besok kita akan mendaftar kalau kamu sudah memutuskan,” kata Laut setelah mereka mencapai kata sepakat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro