Saling Mengenal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mereka sampai di rumah Arum, karena yang paling dekat dengan rumah Kamu. Mereka semua turun dan di sambut oleh Ayah Arum yang terburu-buru keluar. “Lho, Pak Sapto?” Darma kaget orang yang menyambutnya adalah orang yang bekerja di pabriknya sekarang.

“Lho Pak Darma, ada apa ke sini? Kok bisa bertemu anak saya?” Sapto bingung mendapati pemilik pabrik tempatnya bekerja datang bersama anaknya yang kecil.

“Oalah, Arum anakmu yang paling kecil ya? Ini cucuku, Kamu. Teman baru di sekolah Arum,” kata Darma.

“Mari masuk dulu, Pak,” tawar Sapto.

“Sudah tidak perlu, aku hanya mengantar Arum sekalian mengenalkan diri dan meminta ijin untuk hari Minggu ingin mengajak Arum untuk pergi ke Tawangmangu,” ujar Darma.

“Nggih, Pak silakan jika Arumnya berkenan,” balas Sapto.

“Baiklah. Nanti hari Minggu aku akan menjemputnya lagi. Baiklah, aku sekarang punya kegiatan untuk mengantar anak-anak,” seloroh Darma membuat Sapto tertawa.

“Monggo, hati-hati,” kata Sapto.

“Ayah kenal kakungnya Kamu?” tanya Arum setelah Darma pergi.

“Beliau adalah pemilik pabrik tempat Ayah bekerja. Itu anak baru yang kamu ceritakan?” tanya Sapto sambil berjalan masuk ke rumah.

“Benar. Dan itu pemilik rumah yang diledakkan di Jalan Kamboja yang menjadi bahan artikelku itu,” kata Arum.

Sapto mencoba mengingat, dia sendiri tidak pernah tahu rumah pemilik pabriknya, karena mereka memang sama sekali pernah menunjukkan di mana dan hanya sesekali datang ke pabrik. Bila pertemuan, maka akan dilakukan di tempat lain.

Biasanya itu untuk menjaga privasi mereka, orang di pabrik yang tahu siapa pemilik sesungguhnya juga hanya segelintir. Orang-orang yang ada di jajaran atas saja.

Darma kemudian menuju rumah Rin, letaknya lebih ke pinggir tapi dekat dengan rumah Arum. Mereka berhenti di rumah dengan pagar pendek dan minimalis. Seseorang keluar saat melihat mobil berhenti.

“Selamat sore, maaf Rin pulang agak sore. Perkenalkan saya Darma, Kakek dari Kamu, teman baru Rin di sekolah,” kata Darma memperkenalkan diri.

“Oh, tidak apa-apa, Pak. Saya Dani, ayahnya Rin. Mari masuk dulu,” tawar Dani.

“Tidak usah, Pak. Saya hanya mengantar Rin pulang sekaligus meminta ijin nanti hari Minggu mengajak Rin pergi ke Tawangmangu,” lanjut Darma.

“Oh, silakan. Jika memang sudah direncanakan, saya tergantung Rin saja,” kata Dani.

“Baiklah, Pak. Saya masih harus mengantar Jen pulang, jadi kami pamit dulu,” kata Darma.

Mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Jen yang letaknya paling jauh.

“Itu teman barumu?” tanya Dani.

“Iya, Ayah. Itu tadi kakeknya Kamu. Mereka baik sekali. Tadi di rumahnya diberi camilan enak,” lapor Rin membuat Dani tersenyum.

“Baguslah kalau mereka baik. Kakeknya juga baik mau mengantarkanmu pulang,” kata Dani.

Rin mengangguk setuju. Dia memang merasa bahwa Kamu dan keluarganya memang orang baik terlebih sudah mendengar cerita keluarga mereka tadi.

Jen menunjukkan rumahnya yang berada di pojok, rumah dengan gerbang tinggi. “Lho, kamu keluarga Rasa Warsita?” tanya Darma membuat Jen kaget.

“Kakung mengenal Kakek?” Jen bertanya dengan mata membulat.

“Siapa yang tidak kenal Rasa Warsita? Apa dia ada di rumah?” tanya Darma.

Jen kemudian menekan bel rumah, seseorang membuka gerbang setelahnya. “Non Jen baru pulang?” tanya orang itu.

“Mari Kung, bawa saja mobilnya masuk,” kata Jen sambil berjalan.

Orang itu membukakan gerbang lebar sehingga mobil Darma bisa masuk. Kamu menatap takjub rumah Jen yang besar. Sama seperti rumah Bintang.

“Siapa itu Rasa Warsita, Kung?” tanya Kamu penasaran.

“Orang berada di Solo yang memiliki banyak perusahaan dan dekat dengan keluarga keraton,” bisik Darma.

“Wow, dia ternyata tidak main-main,” desis Kamu.

Mereka turun dan mengikuti Jen yang membuka pintu rumah yang tinggi itu. Seseorang sedang duduk di kursi saat mereka masuk.

“Rasa Warsita, kebiasaanmu masih sama rupanya,” sapa Darma membuat laki-laki tua itu membetulkan letak kacamatanya.

“Darma Prana Jiwo! Apa yang kamu lakukan di sini?” Rasa bangkit dari duduknya dan menyambut Darma dengan pelukan hangat.

Jen hanya mengedikkan bahu saat Kamu menatapnya meminta penjelasan.

“Aku mengantar Jen pulang. Ternyata dia generasi ketiga Warsita?” Darma tertawa karena menemui sahabatnya dengan tak sengaja.

“Lalu ini siapa?” Rasa menunjuk Kamu yang terlihat bodoh.

“Ini Kamu, cucuku,” kata Darma.

“Anak Glagah?” Darma mengangguk sebagai jawaban.

“Jen cucumu dari siapa?” tanya Darma.

“Galang. Dia anak pertama Galang.” Rasa menepuk pundak Jen yang sama bodohnya dengan Kamu.

“Oalah, baiklah. Ternyata kita memang harus selalu dekat.” Darma terkekeh.

“Benar. Ayo duduk. Bukankah Glagah ada di Jakarta?” Rasa kemudian duduk kembali di tempatnya.

“Iya, cucuku sekolah di Yayasan Kartika. Bukankah Galih memiliki saham terbesar Kartika?” Darma duduk dan menarik Kamu untuk duduk di sampingnya.

“Prana Jiwo memang selalu tahu, ya,” kata Rasa kemudian terkekeh.

“Ya bagaimana lagi, informasi selalu masuk. Galang sekarang memegang bagian yang mana?” tanya Darma.

“Jen, ajak Kamu ke belakang sana. Obrolan orang tua ini,” kata Rasa.

Jen kemudian membuat gerakan tangan ke arah Kamu. Mereka kemudian ke belakang dan duduk di taman.

“Ternyata keluargamu sesuatu,” kata Kamu.

“Keluargamu lebih sesuatu lagi,” ledek Jen.

“Aku bahkan tidak tahu. Tapi seperti yang Kakung bilang, aku memang tidak mau tahu,” kata Kamu sambil memainkan kakinya.

“Yang aku tahu hanya keluargaku hanya memiliki beberapa perusahaan,” papar Jen.

“Dan aku menganggap keluargaku ya biasa saja. Aku pindah ke Solo juga karena aku nakal.” Kamu menatap langit di atas sana.

“Tapi kamu sama sekali tidak terlihat nakal,” kata Jen tak percaya.

“Aku tidak bisa diam. Itu saja,” jelas Kamu.

Mereka kemudian tertawa mengingat cara mereka bertemu. “Oh ya, besok langsung kumpulkan saja tugasnya, biasanya dalam soft file atau flashdisk. Aku besok akan menyerahkan dalam bentuk hard file dan soft file juga.” Jen menganjurkan pada Kamu.

“Baiklah. Aku suka dengan sekolah baru ini, tidak membuatku bosan karena berkutat dalam kelas, bisa menghabiskan energiku,” ujar Kamu.

“Iya, sekolah memang lebih menitikberatkan pada aktivitas kita, sehingga perkembangan kita seimbang,” balas Jen.

Setelah beberapa lama, pembantu Jen menyuruh mereka ke ruang tengah. “Ayo kita pulang, sudah mulai malam. Nanti utimu mencari,” kata Darma.

“Bukankah Sari tidak lupa kebiasaanmu pergi sampai lama?” ledek Rasa.

“Sudah tua. Waktunya istirahat,” kelakar Darma.

“Nanti, Minggu aku akan mengantar Jen ke rumahmu. Terlalu jauh jika harus ke sini menjemputnya,” balas Rasa.

“Baiklah. Terima kasih hari ini,” kata Kamu sambil membungkukkan badan.

“Ajaran Prana Jiwo memang terbaik,” kata Rasa membuat Darma terkekeh.

“Kita harus nguri-nguri¹ budaya, kan?” Darma membalas perkataan Rasa.

Laki-laki tua itu mengangguk-angguk setuju. Keluarganya sendiri tidak bisa menjaga pakem itu dengan baik. Keretakan terjadi perlahan.

Kamu berada di mobil dengan Darma. “Kung, keluarga Jen ternyata sangat berpengaruh, ya?”

“Benar. Jika mereka bisa mempertahankan apa yang mereka kerjakan, mereka adalah keluarga terkuat di Solo setelah Kesultanan. Ada perpecahan yang tak tampak di dalamnya,” kata Darma seolah berbicara dengan Glagah.

Mau tak mau, Kamu memang harus memahami bidang yang akan dia warisi sedini mungkin. Agar kelak saatnya, dia tidak kaget dengan dunia yang mereka tekuni. Terkadang baik dan buruk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro