Epilog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Abis cerita ini, jangan lupa mampir ke ceritanya Cecil&Kafka yaaa...
Cari aja di profilku judulnya
Mr. Boss & Ms. Secretary
😘😘😘😘

Enjoy!

Ini gimana sih, yang hamil siapa, yang sensi siapa.

-Dyvette-

Dua tahun kemudian...

"Kok yang kecil ngga diajak?" Dendi bertanya.

Caesar dan Deana datang ke Jakarta karena permintaan Dendi gara-gara Dendi lagi bête sama istrinya.

"Riweuh kalo kebanyakan anak kecil," jawab Deana. "Bang Dendi aja udah kaya bayi."

Dendi lagi super duper cranky karena istinya lagi hamil anak ke dua, tapi yang ngidam malah dia, yang mual-mual malah dia. Pokoknya kaya dia yang hamil. Sedangkan Dyvette yang hamil beneran, santai-santai aja. Ngga ngidam apa-apa, ngga mual-mual, malah nafsu makannya tinggi banget.

Terus yang bikin bête itu Dyvette lebih mencurahkan perhatian ke anak pertamanya yang masih berumur satu tahun dan ke kehamilannya dibanding ke Dendi.

Ini bulan ke tujuh usia kehamilan Dyvette, tapi yang bingungnya Dendi masih rempong dan sensitif. Dendi masih ngidam dan masih susah makan.

Padahal biasanya ngidam kan di tiga bulan pertama, walaupun tiap kehamilan beda-beda sih ya.

"Aku pusing ngadepin Mas Dendi, kaya anak kecil." Dyvette mengadu pada Caesar dan Deana.

Dendi disebelahnya mendelik sebal. "Kan kamu mah gitu, nyebelin." Ia melipat tangannya di depan dada.

Dendi makin sebal waktu Caesar dan Deana menertawai kelakuannya. Dia bahkan ngga sadar dengan perubahan moodnya. Yang dia tau, dia jadi gampang sebel dan nangis.

"Den, ini karma tau." Caesar dengan santainya mengatakan itu.

Dendi melotot. "Karma gimana maksud lo?"

"Ya karma, dulu kan lo bilang istri gue nyebelin, lebay pas hamil, nah sekarang kejadian ke lo."

Deana melotot ke Dendi, dan dibalas pelototan yang lebih galak lagi.

"Mas Caesar kalo mau bawa Mas Dendi ke Bandung, bawa aja deh, aku mau kehamilanku yang sekarang ini damai."

Dendi mencebikkan bibirnya. Menatap istrinya kini mengelus perut besarnya dengan sebal. "Kamu mau kita cerai?"

Dyvette yang duduk di sebelah Dendi dengan cepat menyentil mulut sembarangan suaminya.

"Amit-amit, Mas, awas ya kalo Mas ngomong sembarangan gitu lagi."

"Abis kata kamu tadi Mas disuruh bawa aja ke Bandung."

Dyvette tertawa, ia menarik suaminya ke dalam pelukannya, lalu mengusap punggung suaminya lembut. "Bercanda Mas Dendi sayangnya Avi, jangan baperan dong."

Dendi menenggelemkan dirinya dalam pelukan Dyvette. Ngga memedulikan kehadiran Caesar, Deana dan anak mereka yang masih ada di ruang tamu.

"Kamu musti janji ke Mas ya, jangan tinggalin Mas, even Mas senyebelin apa pun."

Dyvette melepas pelukan, ingin menatap mata suaminya. "Mas yang musti janji jangan ninggalin Avi yang nanti jelek sama gendut abis ngelahirin."

Dendi kembali memeluk istrinya, seperti anak kecil memeluk ibunya. "Ngga, ngga mau ninggalin."

"Uncle D kaya cewek deh."

Dendi menoleh ke anak kecil itu, dan bibirnya berhasil manyun karena omongan anak kecil itu.

"Sarden, anak lo ngomongnya kok gitu?" Dendi menangis. "Jahat banget."

Udah dibilang kan, selama Dyvette hamil yang perasaannya super sensitif itu malah Dendi.

Deana dan Caesar ngga memedulikan aduan Dendi, ia lebih fokus ke anak kecil yang kini duduk di pangkuan Deana – anak Dendi dan Dyvette yang pertama.

"Den, ini anak kedua kebobolan apa sengaja?"

"Bobol." Dendi cemberut. "Kirain waktu itu udah lewat masa subur, eh taunya jadi."

Dendi bingung mau seneng apa sedih waktu tau istrinya hamil anak kedua. Soalnya di satu sisi kasian anak pertamanya – Estelle – yang masih nyapih musti berenti sebelum dua tahun, terus kayanya dia belom siap kalo rumahnya diramein dua anak kecil yang nangis bersamaan.

Estelle umurnya baru satu tahun satu bulan sekarang, hobinya nangis. Kebayang ngga, dua bulan lagi bakal ada satu bayi lagi yang nangisnya bakal barengan. Ngga tau bakal seribut apa itu rumah.

"Uncle D, dedenya ikut ke rumah Daffin aja ya." Daffin berucap dengan binar mata berharap.

"Eh, jangan, nanti kamu kecil-kecil udah pacaran sama dede lagi."

Ya, walaupun Dendi ngga kebayang kehidupannya dua bulan lagi gimana jam tidurnya, kesehatan telinganya dan segala-galannya, tapi tetep aja dia ngga mau jauh dari anaknya.

"Kenapa? Daffin di TK juga udah punya pacar."

Dendi melotot ke Daffin lalu menuntut jawaban dari kedua orang tua yang duduk di depannya. Gila aja, anak masih TK kok udah punya pacar? Mau nikah umur berapa? Sahabatnya aja yang waktu TK ngga pacaran nikah umur dua satu, gimana kalo dari TK udah pacaran?

"Bercandaan doang, Bang," Deana yang menjawab.

Daffin langsung berlari ke arah Deana, memasang wajah cemberut, lalu memukul tangan Deana pelan. "Beneran Buya, ngga bercanda."

Satu tangan Deana digunakan untuk menahan tubuh Estelle, dan satunya lagi digunakan untuk mengelus rambut anaknya. "Iya sayang, beneran."

"Nama pacarnya siapa, Daffin?" Dyvette bertanya sambil mengusap perut besarnya.

Daffin menaikkan bahu. "Lupa Aunty, nanti Daffin tanya waktu masuk sekolah ya."

Dendi, Dyvette, Deana dan Caesar cuma bisa tertawa menanggapi kepolosan anak umur enam tahun – yang selalu ngaku kalo udah gede dan boleh pacaran.

Daffin duduk di sebelah Deana, ia memberi kecupan di pipi Estelle yang membuat anak perempuan itu senyum girang.

"Uncle, Daffin juga suka kiss pacar Daffin loh."

Dendi melotot lagi. "Bahaya ni anak."

"Fanya Dafania Paquita." Dyvette menyebutkan usulan untuk anak keduanya. Perempuan lagi.

Anak pertama – Estelle – kan udah nama dari suaminya, sedangkan dia kepengen anak keduanya ini nama dari dia. Inisialnya FDP karena anak pertamanya EDP.

"Bagus sih, Mas setuju kok."

Dyvette mengangguk senang. Selama kehamilan anak keduanya ini, Dyvette dan suaminya sering bahkan hampir setiap hari beda pendapat. Bahkan sampai dua jam sebelum anak keduanya lahir, suaminya masih super sensitif.

Dyvette yakin sekarang sensitif suaminya udah ilang, buktinya nama yang dia usulkan langsung diterima.

Suster menuliskan nama tersebut di papan nama.

"Saya mau liat bayi saya dong sus."

Suster itu tersenyum. "Sebentar ya Pak, bayinya lagi dibersihkan dulu."

Dendi mengangguk. Lalu matanya menjelajah ke ruangan ini, dan matanya berhenti ke sofa yang ada di belakangnya. Disana ada Estella yang duduk dengan wajah sedih. Ia langsung menghampiri anak pertamanya itu.

"Anak Ayah kenapa?" Dendi mengusap rambut hitam anaknya.

Dendi minta dipanggil Ayah juga, supaya mirip Caesar. Motivasinya ya cuma kepengen samaan aja sahabatnya itu. Kan dia ngefans banget.

Estelle memeluk Dendi, menenggelamkan wajahnya di pelukan Dendi – menyembunyikan tangisannya.

"Ayah..."

Dendi menarik anaknya ke dalam pangkuannya.

"Da ... yang..."

Dyvette hamil waktu Estelle umur enam bulan, selama kehamilan itu Dyvette mencoba memberi perhatian lebih banyak ke Estelle dibanding ke suaminnya karena takut anak pertamanya itu merasa ngga disayang – kata orang-orang begitu.

Tapi semenjak kehamilan itu, Estelle menjauh dari Dyvette, dia lebih sering main sama Dendi, tidur pun inginnya di peluk Dendi. Mereka sih mikirnya, anak pertamanya ini tau kalo sebentar lagi mau ada saingan buat dapet perhatian.

"Ayah sayang kok sama Estelle."

Estelle memperlihatkan wajahnya, Dendi pun bisa melihat anaknya itu menangis.

"Ndah ... da ... yang ..." Bibir kecil Estelle mengerucut.

Dendi udah dapet briefing-an dari kakaknya yang memiliki nasib yang sama dengan istrinya yang hamil anak kedua waktu anak pertama masih bayi banget.

"Musti bagi dua Ga, waktu nanti Avi sibuk sama yang bayi – lo yang musti nemenin Estelle, gitu juga kebalikannya." Cecil menceramahi.

"Pokoknya jangan ditinggal aja, biasanya anak kecil tuh cemburu kalo ada adeknya, nanti kalo lo sama Avi fokus ke adeknya, dia ngerasa ngga disayang lagi." Kafka menimpali.

"Bunda juga sayang sama Estelle."

Dyvette memberi kode untuk suaminya membawa Estella ke dekatnya.

Dendi membaringkan anak perempuannya untuk tidur di kasur yang sama dengan istrinya.

Sisa air mata Estelle yang masih ada pun diusap oleh Dyvette. "Siapa bilang Bunda ngga sayang sama Estelle? Bunda tetep sayang kok, Estelle kan princessnya bunda."

Bibir Estelle yang mengerucut pun perlahan-lahan mengukir senyuman. "Yang?"

Dyvette mengangguk. Ia pun memberi senyuman meyakinkan ke anak pertamanya ini. "Nanti Estelle sayang juga ya sama dedenya?"

Estelle mengangguk pelan sekali. "Yah."

✖  T A M A T 

Terakhir nih, isi dong..

Dear Dendi...

Dear Dyvette...

✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖

Huhuhu, aku terharu sekaligus seneng cerita ini selesai.
Thankyou buat kalian yang namanya ngga bisa aku sebutin satu per satu yang udah ngeramein lapak ini..

Maafin kalo cerita ini ngga sesuai ekspektasi kalian😆

Jangan apus cerita ini dari library kalian ya, karena nanti bakal ada cerita anaknya Dendi😊


27/07/2019
Ta💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro