Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Hari libur adalah hari yang paling membahagiakan, aku menghabiskan waktu dengan berleha-leha di kamar. Untungnya mama tidak pernah protes ketika aku hanya keluar untuk makan saja. Ketika orang menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan ke mal, aku lebih memilih di kamar seharian, ini sudah termasuk liburan mewah bagiku.

Bayangkan saja, terkadang kami harus bekerja 24 jam, dengan waktu tidur yang tidak tentu, apalagi beberapa hari ini aku harus tertidur di dalam mobil, untungnya tubuhku sudah terbiasa. Berada di unit narkoba memang benar-benar menguras, pikiran, tenaga dan waktu, berbeda sekali saat aku masih di reskrimsus tahun lalu, hanya perlu berkutat dengan kertas dan berkas-berkas. Walaupun harus kuakui kalau pekerjaanku saat ini lebih menantang.

Bunyi ketukan pintu membuatku yang masih menutupi kepala dengan selimut langsung menyingkirkan selimut itu. "Masuk aja, nggak di kunci," ucapku.

"Belum mau bangun lagi?" tanya Ayuk Dina, kakak perempuanku satu-satunya.

"Ngantuk, Yuk," keluhku.

Yuk Dina mendekat dan duduk di pinggir ranjangku. "Nonton yuk sama anak-anak," ajaknya.

Aku bukannya tidak mau, tetapi aku lebih memilih mendekam di kamar saja, apalagi di luar cuacanya begitu panas. "Males ah."

"Ayolah Dil," bujuknya.

"Suami Ayuk ke mana?" sindirku.

Yuk Dina diam.

"Judi lagi?" sindirku.

"Udalah. Kamu tuh gimana mau dapet pacar kalau jam kerja nggak tentu, diajak keluar nggak mau. Mau jadi perawan tua?"

Seketika emosiku langsung memuncak. "Mending begitu daripada punya suami bisanya cuma minum sama judi!"

"Dila!" bentaknya.

"Udahlah, aku mau tidur lagi. Kalau mau pergi pake aja mobilku, kalau mobil kamu dipake sama dia."

Yuk Dina ingin menjawab ucapanku, tetapi aku langsung menutupi wajahku dengan selimut. Terlalu malas berdebat dengannya, aku bukannya tidak menghargainya sebagai kakakku, tetapi aku malas kalau dia sudah menyindir tentang diriku yang belum memiliki pacar hingga saat ini. Apa yang salah? Aku menikmati hidupku, tanpa harus menjadi slave of love seperti dirinya, hingga membuat akal sehatnya hilang entah ke mana.

Aku merasakan pergerakan Yuk Dina, tidak lama kemudian terdengar suara pintu kamarku dibanting. Aku menghela napas. Alasan lain kenapa aku tidak berani menjalani hubungan selain karena ayahku adalah pria yang berengsek juga karena kakakku yang buta. Dia dibutakan oleh cinta hingga memilih bertahan bersama laki-laki yang jelas-jelas tidak bisa menjadi suami yang baik untuk keluarganya.

Aku sering mendengar mereka berkelahi, hingga Yuk Dina lari ke sini. Masalahnya karena suaminya gila judi, rasanya aku ingin sekali meminta rekan kerjaku untuk menggrebek kakak iparku yang sering berjudi ini, biar saja dia di penjara, tetapi aku masih memikirkan nasib anak-anak kakakku. Entah apa yang dilihat Yuk Dina dari suaminya, baru-baru ini laki-laki itu dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja dan saat ini menjadi pengangguran, semua kebutuhan akhirnya ditanggung oleh kakakku. Jelas sekali kalau laki-laki ini tidak punya harga diri sama sekali.

Dan parahnya lagi, Yuk Dina masih cinta mati kepada laki-laki ini. Aku tidak tahu apa yang dipelajari Yuk Dina saat berpacaran dua tahun dengan suaminya dulu. Harusnya kalau sudah tahu dia bukan sosok yang baik, tidak perlu dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Tetapi lagi-lagi 'atas nama cinta' semua kebobrokan itu terlihat bisa dimaklumi di matanya dan menerima semuanya hingga membuatnya menjadi semakin bodoh.

Aku tidak mau itu terjadi padaku, cukup ibu dan kakakku saja yang buta karena cinta. Aku tidak mau ikut masuk dalam lingkaran setan itu.

*****

Aku memarkirkan motor matic-ku lalu mencari Ninja hijau di deretan motor lain yang terparkir, tetapi tidak ada di sana, artinya dia belum datang. Aku merapikan rambutku yang dipotong model bob, dan membuka jaket hitamku, hari ini aku mengenakan kaos hitam, celana jins dan sneakers hitam, salah satu yang aku sukai bekerja di unit ini, aku bisa berpakaian se-simple ini. Aku masuk ke dalam posko, beberapa orang sudah ada di balik meja masing-masing.

Aku berpandangan dengan Naufal yang duduk di depan mejaku. Hari ini dia mengenakan kaos berwarna biru dongker dan ripped jeans warna hitam, rambutnya di kuncir model top knot. Katanya itu model rambut favorit Harry Style.

"Udah sehat, Dil?" tanyanya.

"Udah."

Dia tersenyum dan ini membuatku bingung. Naufal tidak pernah beramah-ramah padaku, biasanya dia selalu berusaha untuk mengangguku, entah kenapa beberapa waktu ini dia menjadi lebih ramah, mungkin sejak pertemuanku dengannya di pernikahan Tio. "Eh, Hilman mana?" tanya Bang Rendra.

Aku mengangkat bahu, sedangkan Naufal buka suara. "Nganter pacarnya ke Bandara."

"Si Kanya?" tanya Bang Rendra.

"Emang pacar dia ada berapa?" tanya Naufal, "Wah kacau nih, Abang kita satu itu playboy juga," lanjutnya.

Bang Rendra tertawa. "Mana ada lah. Itu si Kanya temen istri si Hafiz."

Aku mencerna percakapan Bang Rendra dan Naufal. Kak Hafiz? Siapa yang tidak kenal dia, ketua umum leting Bang Rendra dan juga Bang Hilman dan aku tahu mereka bersahabat.

"Oh, dijodohin gitu?" tanya Naufal.

Bang Rendra mengangguk lalu menarik kursinya untuk duduk di sebelah Naufal yang artinya di depanku dan melanjutkan obrolan mereka. Siapa bilang hanya perempuan yang suka bergosip, laki-laki juga sama, tetapi mereka biasa mengatakan sesuai fakta bukan dibumbui seperti yang banyak dilakukan para perempuan, jadi biasanya info yang mereka ungkapkan ini valid.

"Abang udah nyerah lah, ngejodohin si Hilman, nggak ada yang cocok. Nggak enak aja sama cewek yang mau dijodohin," kata Bang Rendra.

"Emang Abang pernah jodohin Bang Hilman?" tanyaku.

Bang Rendra mengangguk. "Atma sama Nando juga pernah sama temen istri mereka, cuma gitu lah, nggak cocok katanya. Ketemu sih, terus besoknya nggak ada kabar lagi dari Hilmannya, tahu deh dia nyari yang gimana."

"Tapi kayanya sama yang ini cocok, Bang," kata Naufal, entah ini perasaanku saja atau itulah yang dilakukannya, mata Naufal melirikku dan aku tahu arti tatapannya itu, ingin sekali aku memukul belakang kepalanya sekarang juga.

"Kayaknya sih iya. Dulu waktu mau ngenalin dia sama yang ini, Hafiz nanya dulu, Hilman lagi deket sama siapa, ya kubilang nggak ada. Kan dia emang bujang buluk."

Kami bertiga tertawa. "Dia cakep tahu, Bang," pujiku. Lagi-lagi Naufal melirikku.

"Iya tapi cewek mana tahan Dil, cuek gitu orangnya. Cewek tuh suka diperhatiin, dimanja. Hilman? Behhh, mana ada begitu," ujar Bang Rendra.

"Tuh dengerin Dil, nyari cowok yang perhatian yang bisa manjain," ucap Naufal.

"Kenapa jadi ke aku sih? Kamu harusnya tuh, playboy cap kodok!" sindirku.

"Kalian ini berantem mulu, kawinin juga nih."

Aku berdecak kesal. "Udah-udah, aku mau kerja nih. Gosip aja deh."

Naufal mencibir ke arahku. "Padahal seneng tuh sama bahasannya."

Aku memelototinya. Kutarik ucapaku tadi yang mengatakan dia menjadi lebih ramah dan baik, dia tetap Naufal yang menyebalkan. Tidak lama kemudian, Bang Hilman datang dia tersenyum pada kami semua, tangannya membawa bungkusan. "Apaan Bang?" tanya Naufal dengan wajah penuh harap.

"Oh sarapan nih, pempek." Bang Hilman menaruh bungkusan itu di atas mejanya. "Makan yuk, banyak nih."

Kami semua menyerbu pempek itu, saat aku mengeluarkan wadah pempek itu dari plastik, ada kotak makanan lain berisi roti dan susu beruang. Tetapi bukan isinya yang menarik perhatianku, namun kertas yang ada di atasnya. Kertas itu berwarna hijau muda dengan bentuk love. Ada tulisan tangan yang rapi tertulis di atas kertas itu.

Dear H,

Happy breakfast
See you in March

-Your K-

Aku menoleh saat seseorang mengambil kotak makanan itu, ternyata Naufal. Dia ikut membaca kertas itu. "Oh... jadi ini dari Kanya ya, Bang?"

Hilman yang sedang menyalakan laptopnya memandang Naufal. "Hah?"

"Ini." Naufal meletakkan kotak makan berisi roti itu di depan Hilman. Laki-laki itu membaca pesan yang tertempel di sana lalu bibirnya tertarik membentuk senyuman. "Iya, dia yang bikinin pempek."

"Nikahlah Man, udah ada yang bawain makanan ini. Enak nih pempek buatan dia," celetuk Bang Rendra.

Hilman hanya tertawa dan melanjutkan kegiatannya menguatak-atik laptopnya. "Iya nih, enak pempeknya. Bilangin makasih sama Dedek Kanya ya, Bang," kata Naufal dan lagi-lagi dia melirik ke arahku. Sekali lagi dia melakukan itu aku benar-benar akan memukul kepalanya.

"Iya," jawab Hilman singkat.

"Jadi tadi nganterin Dek Kanya ke Bandara, kan?"

Lagi-lagi Hilman mengangguk. "Udah, mau ngadep Dir dulu minta tanda tangan," kata Hilman sambil membawa kertas yang baru saja dicetaknya.

Setelah Hilman berlalu dan Bang Rendra sibuk dengan ponselnya, Naufal mengambil satu buah pempek tahu dan memberikannya padaku. "Cobain deh, beneran enak."

Aku memandangnya dengan tatapan tidak suka. "Kamu sengaja, kan?" desisku.

"Sengaja apaan?"

"Sengaja nyindir-nyindir aku."

"Idih ngerasa dia. Makan dulu Mbak, biar nggak emosi." Naufal meyodorkan pempek itu di depan mulutku. "Aak dong Dedek Dila."

Aku memelototinya dan menyingkirkan tangannya dari depan mulutku.

"Dedek Dila nih, PMS sepanjangan, Abang atut deh jadinya."

"Kalian ini berantem terus, nanti jodoh lho," ucap Bang Rendra sambil tertawa-tawa.

******

Team mana nih?

Hilman Dila?

Dila Naufal?

Hilman Alnira eh salah Hilman Kanya. Huaahahhaa. Alnira berani-beraninya, dibunuh Kanya nanti.

Ada yang nggak tahu Kanya di sini? Wah kasian banget nggak baca I am a dreamer berarti ya. Beli bukunya aja nanti ya. oh ya, Desiran Angin Laut mau preorder, jangan lupa ya. Cek di Work DAL atau di instagram aku, Alnira_03

Happy reading....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro