Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Kami berhasil menangkap empat bandar narkoba yang sedang bertransaksi, walaupun sempat terjadi kejar-kejaran yang mengakibatkan Bang Rendra dan juga Naufal harus menembakkan peluru panas ke kaki bandar itu. "Mission completed." Aku mengirimkan pesan itu di grup lalu tersenyum lebar karena setelah kembali ke penginapan untuk memberishkan diri kami bisa kembali ke rumah. Aku segera mengirimkan pesan pada Mama, mengabarkan kalau aku bisa ikut dalam acara keluarga besok sore. Salah satu sepupuku bertunangan, Mama berharap aku bisa menemani beliau ke sana, karena kakakku tidak bisa hadir karena anaknya sedang demam. Pesanku itu tentu saja belum mendapat balasan karena ini masih jam satu malam.

Kami semua mendengarkan arahan dari komandan sebelum diperbolehkan untuk kembali ke penginapan. Aku melirik kaos Naufal yang terdapat bercak darah, tadi dia membantu menaikkan bandar narkoba ke tandu sehingga darah itu menempel di kaosnya. "Nggak ganti baju?" tanyaku padanya. Aku bukan mau sok perhatian padanya, hanya saja aku malas mencium bau anyir di dalam mobil.

"Iya ini mau ganti. Naufal langsung membuka kaosnya begitu saja di depanku. Aku memang sudah terbiasa melihat mereka bertelanjang dada, tapi tetap saja aku merasa risih. Harus kuakui Naufal berhasil menjaga badannya, perut dan dadanya masih berbentuk, belum ada lemak yang menumpuk di perutnya itu. Kulihat dia mengenakan kaos barunya yang berwarna hitam. Kami semua memang lebih sering menggunakan warna-warna gelap.

"Masih bau nggak, Dil?" Naufal mendekatkkan dadanya ke wajahku, memintaku mengendusnya. "Apaan sih?!" protesku.

"Ye nanya ini. Bau nggak?"

Aku berdecak. "Nggak bau."

Aku segera masuk ke dalam mobil, begitu juga Naufal yang duduk di sebelahku. Aku melihat ada darah mengering di tangannya. Aku ingin memberikan tisu basah padanya, tapi biarkan sajalah. Aku tidak ingin dia besar kepala karena perhatianku.

****

Pertemuan keluarga, kalau boleh jujur tidak selamanya menyenangkan. Apalagi harus mendengarkan ocehan para tetua. Umurku masih 24 tahun, namun pertanyaan kapan menikah pasti juga terdengar dari keluargaku. Untungnya aku tidak terlalu mempedulikan ucapan itu. Kumpul keluarga juga ajang untuk saling pamer, lihat saja sekarang bibi jauhku sedang adu bicara tentang sehebat apa pacar dari anak mereka.

"Oh kalau anakku si Mayang pacarnya Perwira. Dilara kenal nggak sama Afriadi Arianto, dia tugas di Polda lho, Dil?" tanya tanteku itu.

"Nggak kenal Tante, polda kan luas," jawabku jujur. Walaupun sama-sama bertugas di tempat yang sama, aku tidak akan hafal satu persatu orangnya, apalagi dengan orang yang tidak berhubungan dengan unit kerjaku.

"Oh, iya sih Afri kan perwira jadi pasti beda pergaulannya."

Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata mendengar celotehan tanteku. Pangkat, jabatan dan kesombongan terkadang memang ada dalam satu paket pada manusia-manusia tertentu.

"Kalau anakku, pacarnya dokter. Bentar lagi mau nikah," ucap tanteku yang lain yang juga tidak mau kalah.

Aku melirik mamaku yang hanya tersenyum, mama menarik tanganku dan menepuk-nepuknya lembut. Aku tersenyum ini gestur kami untuk menenangkan satu sama lain.

Aku bersyukur bisa lepas dari obrolan para tante-tante itu. Aku berjalan untuk mengambil minum dan beberapa kue. Hari ini pertunangan Tio salah satu sepupuku, ibunya adalah kakak mama. Dia bekerja sebagai seorang dosen di salah satu universitas swasta, calon istrinya adalah mahasiswanya sendiri. Ya, kata orang jodoh memang berada tidak jauh dari kita.

Setelah selesai mengambil minum dan beberapa kue, aku mencari tempat duduk di bawah tenda berwarna biru muda ini, aku malas masuk ke dalam rumah dan kembali mendengar ocehan para tanteku itu. Untungnya mamaku bukan tipe ibu-ibu yang sering membanggakkan dengan cara yang berlebihan seperti itu, dan kadang juga menganggap rendah orang lain. Aku memasukkan pai buah ke dalam mulutku lalu mengecek ponsel, tidak ada pesan apapun di sana. Bahkan grup pun sepi hari ini.

Aku membuka ruang obrolan dengan Bang Hilman. Chat terakhirku dengannya seminggu lalu, saat aku menanyakan berkas yang harus ditanda tangani oleh Wadir. Aku membuka foto profilnya. Fotonya tidak pernah berganti sejak dulu, sejak saat aku menyimpan nomor ponselnya. Fotonya sedang merangkul sang ibu. Sudah menjadi rahasia umum kalau Hilman sangat menyayangi ibunya. Dia juga hanya tinggal berdua saja dengan ibunya itu.

Bang Hilman tidak pernah mengunggah status di WA-nya. Aku menutup aplikasi WhatsApp dan membuka Instagram. Aku jadi membuat akun lain untuk memata-matai akun penulis yang diduga adalah pacar Hilman ini. Permintaan pertemananku di akun pribadinya belum juga digubris, sebenarnya mudah saja bagiku untuk membajak Instagramnya, tetapi tentu saja aku tidak segila itu, aku tahu itu adalah pelanggaran.

"Dia nulis novel cinta-cintaan semua deh," gumamku.

"Baca apaan sih?"

Aku kaget saat mendengar suara yang cukup familer di sebelahku. "Naufal?" Aku benar-benar kaget melihatnya tersenyum padaku. Dia mengenakan batik berwarna cokelat lengan pendek.

"Kenapa sih? Kayak ngelihat hantu aja."

"Kok..."

"Aku kondangan, nemenin adikku, ini pertunangan temen kuliahnya," jawabnya.

Aku segera menguasai diri. Kenapa dunia begitu sempit sekali. "Bagi minum ya." Naufal mengambil gelasku dan menghabiskan setegah isi jus jeruk yang aku ambil tadi.

"Abis ngepoin Kanya?" tebaknya.

"Heh? Kamu kenal?"

"Nggak sih. Sering lihat hape Bang Hilman aja, ada panggilan masuk dari Kanya."

"Oh."

"Kenapa? Patah hati karena pujaan hati rupanya udah punya pacar?"

Aku langsung memandangnya tak percaya. Bagaimana bisa dia...

"Nggak usah kaget gitu, Dil. Aku tahu kok, kamu suka Bang Hilman, kan?"

"Nggak."

"Nggak salah lagi."

Aku mengembuskan napas kesal.

"Aku kenal Bang Hilman sejak dia belum di Narkoba. Waktu masih di polsek. Dari dulu dia jarang jalan sama cewek," cerita Naufal. Mau tidak mau aku tertarik dengan pembahasannya ini.

"Dia orangnya lurus-lurus aja sih. Ada yang bilang dulu pernah deket sama cewek tapi dikhianati, makanya dia jadi lebih hati-hati. Nggak tahu deh yang mana yang bener," ucapnya lagi.

"Aku cuma tertarik karena dia beda. Pendiam. Udah."

Naufal memandangku dengan tatapan menyebalkan. "Jadi dapet info apa tentang si Kanya ini?" tanyanya.

"Nggak ada."

"Bohong banget. Jangan-jangan udah dibajak aja akunnya."

Aku melotot ke arahnya. "Aku nggak serendah itu."

Dia tertawa. "Tahu kok nggak kayak gitu. Minggu lalu aku sama Bang Hilman piket bareng. Aku jadi kambing congek karena dia sibuk video call sama si Kanya ini."

Hatiku seperti tertusuk pisau mendengarnya. Benarkah hubungan mereka sudah sejauh itu?

"Kayaknya Bang Hilman buka hati ke cewek ini. Cara Bang Hilman ngomong ke dia juga beda, baru itu bisa lihat dia ngomong berjam-jam dengan banyak bahasan. Dia juga kayaknya nggak mau nyari yang dari militer." Aku masih diam tidak menanggapi ucapan Naufal sedikitpun.

"Bang Hilman tipe yang kalau udah serius sama satu orang dia bakal jalani sama orang itu," lanjutnya.

"Maksud pembahasan ini apa sih?" tanyaku.

"Aku ngasih tahu ini biar kamu udah nyiapin hati aja Dil." Naufal menatapku lalu menepuk bahuku. "Kamu cantik pake dress gini. Aku lihat adikku dulu ya," ucapnya lalu meninggalkanku begitu saja.

Aku membuka ponselku, mataku memandang postingan terakhir yang dikirimkan oleh si penulis bernama Kanya itu.

❤️ Likes 5.342
Kanya_Maisa : Ain't that the truth. I feel hard!
View all 233 comments

*****

Nunggu cerita Alnira kudu sabar ya. Udah tahu pasti.

Hilman bujangan cuy. Di dreamer aku udah ganti lama. Karena udah banyak kisah para duda kece cem Barra dan Willy. Jadi dia bujang. Okeee gak usah didebatkan. Dinikmati aja.

Happy reading

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro