Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku menahan napas untuk mengontrol diri dari kecanggungan ini, kalau tahu akan bertemu dengan perempuan ini, lebih baik aku tidak ikut pulang dengan Hilman. Bukan, bukan karena perempuan ini menyebalkan, atau sok seperti yang ada di sinetron yang sering ditonton Yuk Dina. Tetapi karena dia terlihat baik, ceria dan cantik. Aku jadi merasa benar-benar tidak ada harapan.

Memangnya apa yang aku harapkan?

"Ngapain aja tadi, Dek?" Aku mendengar Hilman bertanya pada Kanya. Ingin rasanya aku menyumpal telingaku dengan earphone saja, namun tentu saja itu tidak sopan.

"Ketemu narasumber, terus nulis. Udah gitu aja," jawab Kanya.

Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum. "Mbak Dila mau nggak jadi narasumber Kanya?" tanyanya.

"Hah?" Aku langsung melongo ditanya seperti itu.

Aku melihat dari kaca spion saat Bang Hilman menyunggingkan senyumnya. "Mau bikin cerita apa, Dek? Minta Dila jadi narasumber, katanya mau bikin cerita remaja. Si Dila udah tua."

Baru kali ini Hilman bisa bercanda seperti itu. Apa benar kata Naufal, dia bisa menjadi dirinya sendiri di depan perempuan ini?

"Kan mau tahu kehidupan polwan itu gimana, apalagi Mbak Dila kan kerjanya sama cowok semua Kanya jadi penasaran. Boleh nggak, Mbak?"

Aku tertegun karena dia tahu kalau aku adalah satu-satunya perempuan di dalam tim kami. Darimana dia tahu? Apa Hilman yang cerita?

"Kok tahu?" Aku menyuarakan kebingunganku.

"Kanya suka lihat foto di hape Abang, dan lihat Mbak Dila sendiri yang cewek. Nanya-nanya Abang cuma jawabannya singkat-singkat aja. Makanya kebetulan banget bisa ketemu Mbak Dila. Mau ya jadi narasumber Kanya?"

Aku mengamati perempuan ini dan teringat ucapan Hilman kalau usinya sudah 26 tahun, tetapi kenapa aku masih tidak percaya. Aku bisa menebak karakternya, dia perempuan yang tidak bisa diam, ramah ya, ceria dan polos, kurasa kalau dia bertemu laki-laki selain Hilman di luar sana, dia pasti akan terjebak dengan kepolosannya itu.

"Memangnya Mbak Kanya mau nanya apa?" tanyaku.

"Banyak sih. Nanti dibuat dulu daftar pertanyaannya," jawabnya.

Akhirnya aku mengangguk dan membagi nomor ponselku padanya. Aku menyimpan nomor ponselnya dan melihat foto profilnya, sendirian bukan bersama Hilman. Aku lebih banyak berbincang dengan Kanya, sementara Hilman sibuk menyetir, tebakan awalku benar, dia memang ramah, cenderung tidak bisa berhenti bercerita malah. Aku kira penulis itu kebanyakan pendiam dan ternyata aku salah.

Saat sedang asik bercerita, Kanya mengambil botol minum di pintu samping. Aku melihat dia terlihat kesulitan membuka tutup botol itu. Hilman yang memang tidak bisa menjalankan mobil karena macet, langsung mengambil botol itu dan membukakannya untuk Kanya. "Makasih," ucap Kanya. Aku diam melihat interaksi mereka. Tidak bisa membuka tutup botol air mineral? Really?

Aku rasa dia belum tahu bagaimana rasanya mengangkat galon seorang diri. Atau membetulkan plafon dapur yang bocor karena hujan.

"Mbak Dila mau minum? Ini ada yang masih baru," katanya padaku.

"Nggak kok, aku bawa." Aku menunjukkan tumblr milikku.

"Ngoceh terus sih, haus kan jadinya," sahut Hilman.

"Ya mumpung dapet narasumber baru, Abang."

"Buku Mbak Kanya udah berapa yang terbit?" tanyaku.

"Sebelas."

"Wow, banyak juga ya. Dalam waktu dekat mau nulis apa lagi?" tanyaku lagi.

"Maunya nulis kisah anak remaja, tapi bukan tentang cinta lawan jenis gitu. Makanya tadi ketemu salah satu pembaca, dia aktif di organisasi gitu. Karena dulu Kanya kuliahnya sambil kerja, jadi Kanya nggak tahu kegiatan di BEM itu gimana. Makanya tadi nanya-nanya," jelasnya panjang lebar.

"Wah ide bagus tuh, nanti boleh deh aku baca bukunya Mbak Kanya."

"Boleh banget, nanti Kanya kasih ya," katanya antusias.

"Eh... giliran Dila dikasih, Abang pinjem nggak boleh. Beli sendiri pun nggak boleh," protes Hilman.

"Abisnya Abang nyebelin komentarnya."

"Lho bukannya waktu itu Bang Hilman bawa buku Mbak Kanya ke kantor ya?" sahutku.

"Eh?" Kanya terlihat kaget dengan ucapanku itu. "Dibawa ke kantor?" tanyanya sambil memandangku.

Aku mengangguk dan Hilman terlihat salah tingkah tetapi berusaha tetap tenang.

"Ehm... iya waktu itu kan Kanya pinjemin, terus Abangnya ngejekin novel Kanya, jadi males minjemin Abang lagi."

"Lah kan orang beda-beda, Dek. Lagian nggak bagus kalau dipuji-puji terus, itukan kritik dari Abang."

"Ya tapi Abang menyoroti bagian yang beda."

Hilman menoleh pada Kanya. "Kenapa? Yang ada adegan kissing-nya?"

Aku melihat wajah Kanya memerah, pipinya mengembung kesal. "Itu kan cuma bumbu cerita Abang, lagian kan dicerita mereka udah nikah. Abang ih, kan udah janji nggak bahas ini."

Hilman tertawa-tawa melihat rengekan pacarnya itu, di luar kemauanku aku juga ikut tertawa, lucu saja mendengar perdebatan mereka. Biasanya aku jijik mendengar perempuan yang sering merengek, tetapi melihat bagaimana Hilman merespons semua sikap pacarnya ini, membuat aku tahu kalau laki-laki ini telah menemukan kebahagiannya, aku jarang sekali melihat dia bisa tertawa lepas seperti ini, aku lihat sifatnya juga melembut, bukan berarti saat bersama kami dia bersikap kasar. Tetapi didikan militer membuat kami lebih tegas dalam berbicara, namun cara dia berbicara pada Kanya, begitu berbeda, kadang malah terdengar seperti sedang bicara pada anak kecil, tapi entahlah aku bisa melihat bagaimana Hilman menyayangi perempuan ini.

Hilman bukan pria yang suka tebar pesona, sosoknya misterius dan begitu cuek. Lihat saja akun Instagramnya, dia memang menerimaku di Instagram, tetapi tidak mengikutiku balik. Hal itu membuatku penasaran dan akhirnya mengecek following-nya. Hanya tiga puluhan orang, isinya sebagian besar akun musik dan film, sisanya akun teman-teman satu letingnya, dan akun Kanya ini. Aku jadi mengerti, dia hanya mengikuti orang-orang yang ingin dilihatnya, terkesan sombong bagi orang yang tidak cukup mengenalnya.

Tetapi bagiku, inilah dia. Karakter yang langka di zaman sekarang, aku bisa menebak prinsipnya, ketika dia menyukai satu orang, dia hanya akan fokus ke orang tersebut, mungkin bukan membuat orang itu menjadi pusat dunianya, tetapi memastikan orang itu selalu berada dalam radarnya. Aku kasihan sekaligus merasa Kanya begitu beruntung.

"You're lucky person, Mbak," ucapku pada Kanya.

"Apa?" tanyanya bingung.

Aku menggeleng sambil tersenyum. "Nanti kontak aja kalau mau tanya-tanya ya," ucapku. "Bang makasih udah nganterin. Duluan ya Mbak Kanya," ucapku sambil turun dari mobil Hilman.

Mungkin aku harus mengikuti kata-kata Naufal, aku harus berhenti memikirkan Hilman. Dia sudah punya kebahagiannya sendiri.

*****

"Dil, dipanggil Dir ke ruangannya," ucap Yudi saat aku baru sampai di kantor.

"Eh? Kenapa aku?"

Yudi mengangkat bahu. Aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Dir (singkatan dari Direktur, red) jarang memanggilku, aku langsung berpikir apa ada pekerjaanku yang salah sehingga harus menghadap beliau ke ruangannya, tetapi sepertinya kinerjaku baik-baik saja. Setelah meletakkan tas ranselku aku segera berjalan ke ruangan beliau. Sebelum membuka pintu ruangan itu, aku menarik napas beberapa kali. Setelah masuk, aku kaget saat melihat Naufal juga berada di sana, namun berusaha mengabaikannya dan memberi hormat pada Pak Harmanto.

"Dila kamu ada rekaman percakapan dari orang yang lagi kita incar, saya sudah tanya ke Naufal dan yang lain, dan memang nggak bisa baca rekaman itu karena alat kita terbatas. Jadi saya minta malam ini kamu ke Mabes untuk membuka rekaman suara ini, sekaligus training alat baru di sana." jelas Pak Harmanto.

"Siap Ndan."

"Kalian akan jadi penanggung jawab untuk alat baru ini nantinya."

Mendengar ucapan Pak Hermanto membuatku langsung menoleh pada Naufal. "Izin Ndan, saya pergi dengan Briptu Naufal?"

Pak Hermanto langsung mengangguk. "Iya kalian berdua."

Kalau saja aku bukan pekerja militer aku pasti akan menolak perintah ini. Tetapi kami bekerja sesuai perintah dan tidak bisa membantah.

"Ada pertanyaan lagi?" tanya Pak Hermanto.

"Siap! Tidak ada, Ndan," jawab kami berdua bersamaan.

"Bagus. Saya harap kalian bisa cepat belajar menggunakan alat baru ini. Kalian boleh pulang untuk bersiap, tiket kalian sudah disiapkan."

Setelah mendengar perintah dari bapak direktur narkoba kami itu, aku dan Naufal keluar dari ruangan beliau. "Mau dianter pulang nggak? Apa mau dianter Bang Hilman aja?"

Aku meliriknya sebal. "Nggak perlu!" ucapku dan langsung meninggalkannya begitu saja.

*****

Happy reading...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro