Pinggala

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo, selamat membaca. afdolnya sambil baca ini sambil dengerin Rewrite The Star versi covernya Lee Suhyun Akmu ft DO.

***

"Tuan Nisala ...." Panggilan dari seorang pemimpin upacara siddha at adin membuyarkan lamunan laki-laki bertubuh gempal. Sang pemimpin upacara menyodorkan kepingan uang kepeng dan sebuah wadah yang berisi air serta sebuah kampil yang diisi dengan beras. "Kedua keluarga akan menjadi saksi dalam serangkaian proses upacara. Silakan Tuan Nisala berdiri berhadapan dengan Nyi Ratri. Uang kepeng ini dipecahkan terlebih dulu, lalu Tuan Nisala dan Nyi Ratri dipersilakan untuk membasuh muka dengan air ini, kemudian diakhiri dengan Tuan Nisala memberikan segenggam beras kepada Nyi Ratri," jelas sang pemimpin upacara.

Pinggala masih berusia 15 tahun menjadi satu-satunya saksi yang mewakili pihak perempuan. Nyonya muda yang dipanggil Nyi Ratri adalah kakaknya. Pinggala menatap heran sekaligus pilu atas keputusan yang diambil sang kakak dan suami, sebab Pinggala yakin sekali keduanya menikah penuh cinta selama beberapa tahun.

Tidak pernah sekalipun Pinggala melihat kakak iparnya yang bernama Nisala itu bersikap kasar atau bahkan menggoda perempuan lain. Binar penuh cinta seakan berpendar kala menatap pasangan itu.

Lantas cinta yang begitu kuat, mengapa bisa dipisahkan? Pinggala tak mengerti.

Kakaknya terlihat begitu tegar meski hanya terus tertunduk. Sedang kakak iparnya, berkali-kali Pinggala melihat mengembuskan napas panjang dan menatap nanar pada kakaknya. Kedua pasangan itu terlihat berat, akan tetapi tidak dengan mertua kakaknya. Orang tua Nisala justru tampak tak sabar menantikan upacara selesai. Bersemangat dan tersenyum cerah.

Yunda menemukan pekerjaan yang layak di kotaraja Wengker. Ada sebuah pusat tenun yang katanya dimiliki oleh selir Bhre Wengker. Nanti setelah semuanya selesai, kita pindah dari sini dan mencoba melamar pekerjaan di sana. Yunda akan mengajarkan menenun, agar nanti kamu bisa mandiri dan tidak bergantung pada siapa pun.

Pinggala ingat betul ucapan kakaknya kemarin malam, dan kini dia mengerti, bahwa sang kakak telah mengambil keputusan besar dengan bercerai dari sang suami dan mengajaknya untuk pindah.

Namun, menurut pikiran sederhana Pinggala, kenapa harus bercerai jika masih tampak saling cinta?

Pinggala di tempatnya hanya diam mengamati. Dia ingin mengacaukan upacara bodoh ini. Namun, begitu bunyi uang kepeng yang telah dibelah hingga terlihat keropak di tengah, pertanda perceraian kakaknya sah. Dan saat kakak iparnya—mantan kakak iparnya itu memberikan segenggam beras, pernikahan mereka berakhir sudah. Sebab pemberian beras maka pertanda bahwa pihak laki-laki tidak lagi bertanggung jawab untuk memberi nafkah.

"Nisala! Ayo, pulang! Putri Tuan Wadhana sudah menanti. Setelah ini kamu akan punya kedudukan dan lebih dipandang!" ucap Ibu Nisala pongah.

Pinggala membeliak. Kini dia mengerti siapa yang mengakibatkan perceraian kakaknya. Dia maju dan berkacak pinggang di depan mantan mertua kakaknya. Tubuh kecilnya tak takut berhadapan dengan tubuh gemuk dan menjulang sang nyonya besar.

"Kakang Nisala baru bercerai dengan yundaku, bagaimana bisa dia melamar perempuan lain setelah membuang yundaku tidak terhormat seperti ini. Jangan-jangan Kakang Nisala bermain perempuan!" tuduh Pinggala.

"Heh! Gadis cilik. Kalian ini meski dari kasta yang sama dengan kami, tapi kalian miskin, kedua orang tuapun sudah tidak ada. Jadi untuk apa meneruskan pernikahan yang merugikan anak kami. Lagi pula yundamu itu susah punya anak. Setiap hamil anaknya mati! Perempuan kalau tidak bisa punya banyak anak, ya harus dibuang. Toh laki-laki wajar punya selir," balas Ibu Nisala.

"Kalian kira yundaku ini kucing yang beranak pinak segampang itu! Kalian tidak takut dengan murka Hyang Agung yang akan mengutuk keluarga—"

"Ping ...." Sela Ratri yang memegang lengan adiknya. Ratri menggeleng dan bergumam lirih, "sudah, Ping."

Ping menoleh ke belakang. Menatap Ratri dengan tatapan nyalang. Seolah enggan dibantah. "Yunda, mereka ini kurang ajar!"

"Ratri! Kamu punya adik tidak tahu diri. Masih bocah tapi berani melawan orang tua. Pantas saja kalian sekarang hidup mengenaskan. Adikmu ini akan bawa sial," sahut Ibu Nisala.

"Biyung ... mari kita pulang. Saya sudah bercerai. Mereka sudah bukan bagian dari kita," kata Nisala sambil melirik pada Ratri.

Ibu Nisala yang masih terbawa amarah pada Pinggala hanya mengeluarkan decih kasar. Merapikan selendangnya lalu berbalik sembari memalingkan muka angkuh. Perempuan paruh baya berbada besar itu berjalan berlenggak-lenggok penuh kemenangan. Sedang Nisala seperti tak punya kuasa atas dirinya sendiri dan hanya mengikuti ibunya. Kepalanya tertunduk, bahunya tampak terkulai dan berjalan gontai meninggalkan tempat upacara siddha at adin.

"Yunda! Mengapa Yunda diam saja ditindas oleh mereka?!" ucap Ping tak terima.

Ratri tidak menjawab. Dia diam mengamati punggung mantan suami yang sudah menjauh. Ratri tersenyum pilu ketika tak lagi menemukan sosok laki-laki yang selama ini selalu memenuhi hati dan dilayaninya. Lalu Ratri memandang adiknya penuh sayang. Memeluk lengan Pinggala dan menatap lembut sang adik.

"Ping, saat kelak kamu dewasa, jangan menjadi pungguk yang merindukan bulan. Jangan pernah berani memimpikan sesuatu yang tak bisa dimiliki. Sakitnya bukan sekarang, tapi nanti."

***

Ucapan kakaknya selalu terngiang dalam benak dan Pinggala tidak ingin menerobos apa pun yang akan membuatnya terluka. Karena itu dia bertekad mengabdikan hidupnya pada Nyi Tarsih dan menjadi penenun yang diandalkan.

Pinggala bagai anak kedua Nyi Tarsih setelah putrinya bernama Sudewi menjadi permaisuri Rajasanagara, Hayam Wuruk. Seperti saat ini ketika Pinggala mengikuti Nyi Tarsih mengantarkan barang kepada salah satu pedagang besar Wengker.

"Ping, saya akan menemui Nyai Sugandha, tolong kamu periksa kain-kain yang kita bawa dan arahkan untuk diantarkan ke putra Nyai Sugandha, mengerti Ping?" perintah Nyi Tarsih.

"Baik, Nyi," jawab Ping bersemangat.

Nyi Tarsih sudah masuk ke dalam sedangkan Pinggala dan beberapa pegawai lainnya, fokus memindahkan kain-kain ke tempat gudang penyimpanan yang seperti biasa. Pinggala berjalan terlebih dulu sebagai penunjuk jalan. Ketika dia bertemu dengan pelayan rumah keluarga besar Nyai Sugandha, Pinggala dipersilakan untuk membuka gudang.

Begitu mendapat izin dan pelayan tersebut membukakan pintu gudang, Pinggala masuk terlebih dulu untuk menata dan menghitung kain-kain, tetapi Pinggala tiba-tiba memekik kaget saat merasakan ada yang menarik pakaiannya.

Pinggala setengah mati terlonjak dengan jantung yang berdegup kencang, sebab menemukan sepasang bola mata yang bulat dan berbinar cerah dalam cahaya remang. Seorang gadis cilik muncul di balik rak-rak kayu yang disusun rapi. Gadis cilik itu terkikik lucu sambil menempatkan telunjuk di depan bibir mungil.

"Jangan bilang-bilang, nanti rama menemukanku," ucap gadis itu.

Pinggala hanya mengangguk bingung. "Ping, ini ditaruh di mana kainnya?" tanya salah seorang pegawai Nyi Tarsih.

Pinggala baru akan membuka bibirnya, tiba-tiba dari belakang datang seorang laki-laki dengan bahu yang lebar dan tegap. Tingginya melebihi para pegawai pria Nyi Tarsih, bahkan pegawai yang bertanya tadi, hanya setinggi dagu laki-laki itu.

Pinggala sampai melotot memerhatikan fisik laki-laki itu yang sangat tak biasa. Dia bahkan berpikir keras apa yang dimakan laki-laki jangkung itu.

"Kain-kain dari Nyi Tarsih, ya? Boleh kisanak taruh saja di rak ketiga yang berada di kiri," ucap laki-laki itu dengan suara yang lembut dan syahdu.

Pinggala mengerjap seolah tersihir. Pasalnya suara laki-laki itu tak cocok dengan tubuh tegap dan jangkung. Alih-alih menggelegar, suaranya begitu merdu dan lembut. Pandangan matanya saat berbicara begitu meneduhkan. Pinggala sempat bertemu pandang dengan laki-laki ramah itu, sebelum akhirnya wajah ramah itu teralih di belakangnya.

Pinggala nyaris menahan napas saat laki-laki itu mengeluarkan segaris senyuman.

"Wuri ...?"

Pinggala menoleh kaku pada gadis cilik yang sekarang keluar dari persembunyian di belakangnya. Wajah mungil itu ditekuk gemas sambil mengerucutkan bibir.

"Ah, rama kok bisa menemukan Wuri, sih? Harusnya rama pura-pura saja, biar nanti Wuri yang menang dan dapat golek kain lagi," keluh gadis itu.

Sekali lagi Pinggala hanya mampu mengerjap-kerjapkan mata. Rama?

Pinggala sontak mengerucutkan bibir. Namun, sedikit sesalnya hilang ketika melihat laki-laki itu memeluk dan menggendong putrinya. Dengan sopan, laki-laki itu sekali lagi menunjukkan tempat untuk menyimpan kain lalu pergi meninggalkan gudang.

Pemandangan yang begitu menghangatkan hati bagi Pinggala yang sebatang kara. Sebab dia jadi bermimpi, apakah bisa suatu saat mendapatkan kehangatan yang sama?

***

Bandung, 20 September 2024

Aku upload ini pas tahu kalau lagu Rewrite The Star versi Lee Suhyun ft DO tayang. Karena lagu ini tuh pas aku bayangin Pinggala dan Manggali. Cinta terlarang semacam kehalang kasta gini tuh aku demen banget, wkwkwk. Makanya pas dulu nonton The Greatest Show Man suka banget tiap Zac Effron dan Zendaya muncul. Curi-curi pandangnya ituloh bikin gemes, wkwkwk.

Jadi ya beginilah kurang lebih cerita Pinggala dan Manggali Si Duda beranak satu yang ceriwis.

Cerita ini dibuka dengan upacara perceraian zaman klasik Majapahit. Jdi aturan perceraian adalah, harus ada saksi, lalu pihak laki-laki memecah uang, suami istri saling membasuh muka lalu pihak laki-laki memberikan butiran beras. Sah, cerai. Nama upacaranya adalah Siddha at adin.

Dan perceraian kakaknya inilah yang kayak jadi trigger Pinggala.

Gimana, gimana, lanjut nggak cerbung ini. Kalau mau lanjut boleh komen apa aja atau kasih emoticon.

Terima kasih sudah membaca. Semoga kalian sehat, rezekinya lancar dan semangat.

Sayanghae. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro