3. Luar Wilayah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bantu tandai typo, ya~
Happy Reading!

***

Pagi-pagi sekali, Tiva sudah siap. Perempuan itu berpenampilan rapi memakai celana kain dan kemeja bercorak daun mungil. Hari ini, dia tidak akan mengikuti rute berangkat ke kantor seperti biasa, tetapi melalui arah sebaliknya ke tujuan yang berbeda; acara pameran buku anak. Apel Kecil Book Fair. Acara itu diadakan di bagian ujung timur kota, agak jauh dari rumahnya atau kantornya. Jadi, Tiva harus berangkat pagi-pagi kalau ingin datang tepat waktu. Dalam waktu satu setengah jam perjalanan menggunakan bus kota dua kali, Tiva akan sampai di tempat tujuan.

Perempuan itu memastikan penampilannya rapi lewat cermin yang ada di ruang tengah. Dia berjalan ke dapur untuk minum segelas air mineral. Setelah itu, Tiva siap berangkat.

Dia berjalan menuju sofa untuk meraih tasnya. Namun, belum sempat dia melangkah melewati pintu kamarnya, pintu kamar Ravi terbuka. Pria itu setengah sadar, terlihat baru bangun tidur. Rambutnya berantakan, lengan kaosnya jatuh sebelah, dan kolornya kusut. Saat pandangan mereka secara spontan beradu, kedua orang itu tiba-tiba menghentikan langkah, membeku seolah tidak tahu cara menyapa.

"Kok...berangkat pagi-pagi?" Ravi yang pertama kali melerai kecanggungan di antara mereka. Pria itu bertanya dengan nada canggung dan suara serak khas bangun tidur.

Tiva segera mengkondisikan diri lalu menjawab, "Ada pameran buku."

"Oh," jeda sejenak. "Sampai malam?"

"Hm." Tiva mengangguk. Tangan perempuan itu melambai ke arah dapur. "Aku nggak keburu bikin sarapan."

"Aku bisa bikin sendiri.  Kamu belum sarapan?"

Tiva menggeleng. 

Biasanya, kalau Tiva ada pameran, Ravi yang akan bangun paling pagi dan menyiapkan sarapan atau bekal untuknya. Tiva selalu tidak sempat mempersiapkan sarapan karena menghafal materi yang akan dipresentasikan atau malah masih membuat power point-nya. Namun sekarang, perempuan itu bahkan tidak memberitahukan tentang pameran buku yang akan dihadirinya hari ini.

"Nanti aku beli sarapan di jalan," ujar Tiva sambil berjalan menuju sofa lalu meraih tas selempang model tote bag berisi laptop dan berbagai perlengkapan yang dibutuhkan untuk kerja di luar kantor. "Aku berangkat."

"Sebentar," Ravi berjalan menuju kamarnya untuk mengambil sesuatu,  lalu cepat-cepat kembali ke ruang tengah. Namun, Tiva sudah pergi tanpa mengindahkan ucapannya.

Ravi menghela napas berat dan memandang nanar cemilan oatmeal di tangannya.

***

Bodoh, umpat Tiva pada diri sendiri. Perempuan itu secepat kilat pergi meninggalkan rumah dan menolak berinteraksi lebih jauh dengan Ravi. Sesampainya di halte bus dekat rumahnya, tangan Tiva menyentuh dada, merasakan debar jantung yang bertalu lebih cepat dari biasanya.

Ini karena Ravi.

Jantungnya masih berdebar dua kali lebih cepat saat bersama pria itu, padahal seharusnya tidak. Tidak boleh.

Sekitar satu setengah bulan lalu, Tiva sudah memutuskan kalau dia akan melepaskan Ravi. Mereka akan mengakhiri semuanya. Namun, Tiva tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Memikirkan semua hal tentang Ravi membuat dadanya ngilu. Sesuatu yang menjalar di sana masih ada, sama seperti 4 tahun yang lalu.

Setelah mampu meredakan debar di jantung, perempuan itu naik ke bus kota. Dia menempelkan kartu e-money ke mesin pembayaran lalu duduk di salah satu kursi dekat jendela. Perempuan itu menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan menatap ke lalu lalang kendaraan di jalanan kota Bandung yang padat. Lalu lintas macet merayap. Semoga dia bisa tiba tepat waktu.

Sebuah notifikasi pesan masuk membuat Tiva mengecek ponselnya di tas. Ada pesan masuk di grup divisinya.

Sinta: Mbak Tiva dan Mbak Risa udah di jalan?

Risa: Iya.

Tiva: Aku lagi di bus kota.

Sinta: Aku izin nyusul ya, Mbak. Tiba-tiba mual terus.

Risa: Oke. Sehat-sehat ya, Bumil.

Tiva: *mengirim stiker

Risa: Btw, kita sudah dapat ilustrator baru. Minggu depan dia langsung masuk.

Sinta: Wah akhirnya! Cowok, Mbak?

Risa: Cewek. Ngarep cowok, ya?

Tiva: Asik ada temen ghibah baru.

Tiva: @Sinta, inget suami!

Risa: Hus!

Sinta: hehe

Tiva: hehehe

Percakapan pun berlanjut ke hal-hal absurd mengenai pekerjaan, perjalanan, dan rekan kerja baru mereka.

Syukurlah, Tiva tidak perlu lagi menyebarkan lowongan kerja ilustrator ini ke teman-temannya. Dia sempat menawarkan posisi tersebut pada Akas, teman Ravi, tetapi ditolak. Padahal Tiva melihat gambar-gambar Akas yang dipajang di media sosialnya sangat bagus.

Tiva mengeluarkan laptop, lalu membuka halaman kerja power point yang sudah selesai dibuatnya semalam. Perempuan itu gugup harus mengisi materi di depan banyak orang. Jadi, dia harus mengecek ulang agar tidak ada kesalahan.

***

Acara pameran buku berlangsung lancar. Dari pagi sampai sore, Tiva menjaga stand penerbit bersama Risa dan Sinta. Mereka bergantian menjaga stand sambil mengisi kelas sebagai pemateri. Barulah jam 4 sore sampai jam 6 sore, Tiva mengisi kelas dengan tajuk "Menulis Novel anak yang Berkesan". Syukurlah, meski gugup, kelas tersebut berjalan lancar. Malahan, Tiva enjoy selama menjadi pemateri.

Setelah itu, acara baza masih berlangsung sampai malam, meski pengunjung sudah berkurang. Sinta pulang lebih awal karena tidak enak badan. Risa dan Tiva kebagian membereskan stand tepat jam 8 malam. Mereka memasukkan buku-buku, banner, dan marchendaise ke dalam kardus.

"Baliknya dijemput, Mbak?" tanya Tiva. Asik kalau Risa tidak dijemput. Mereka bisa pulang bareng.

"Iya. Kebetulan malam ini mau ke rumah Bibi di Sumedang. Barang-barang ini kita simpan aja di sini, besok diambil sama bagian warehouse," jelas Risa.

"Oh, oke." Meski merasa kecewa dengan jawaban itu, Tiva berusaha tidak menunjukannya.

"Kamu dijemput juga?" Risa balik bertanya.

Tiva tidak akan dijemput siapa pun, tetapi mengangguk. Bisa banyak tanya kalau dia menjawab tidak. Lagipula, transportasi online banyak. Tiva bisa pulang dengan selamat.

Namun, malam itu begitu dingin.  Dari kejauhan sudah terdengar suara guntur. Tiva dan Risa berdiri di depan gedung setelah menitipkan barang-barang penerbit di tempat penitipan.

"Suami kamu masih jauh, ya?" Risa bertanya sambil melirik ke arah Tiva. Mereka berdua sama-sama melipat tangan di dada dengan salah satu tangan memegang ponsel.

"Bentar lagi," jawab Tiva, pura-pura sibuk mengetik di ponselnya.

"Sepupu aku udah di depan, nih," kata Risa. "Tuh, dia datang." Risa menunjuk mobil berwarna putih yang masuk ke pekarangan gedung. "Aku tunggu suami kamu datang dulu baru otw, ya?"

Tiva mengibaskan tangan. "Nggak usah. Lagian dia nggak terlalu jauh kok, Mbak. Duluan aja."

Mobil sepupu Risa pun berhenti di depan mereka. "Oh, oke kalau gitu. Aku duluan, ya. Bye." Risa melambai sambil berlari kecil menuju mobil sepupunya.

Tiva balas melambai. "Hati-hati di jalan!"

Kemudian, mobil Risa menghilang di jalanan dan Tiva berdiri di tempat semula, merasakan angin malam yang menusuk badan, sendirian. Dia lupa tidak bekal jaket padahal sudah tahu akan pulang malam. Perempuan itu memeluk diri sendiri sekilas, lalu melirik sekeliling. Orang-orang sudaab mulai dijemput. Hanya menyisakan beberapa orang saja.

Tiva segera memesan kendaraan di aplikasi online. Hujan masih deras. Motor tentu tidak akan ada yang akan mengambil pesanannya. Lagipula ini sudah malam. Tiva memesan mobil. Namun, perempuan itu menghela napas. Tidak ada kendaraan yang mengambil pesanannya. Rute bus pun sudah tidak ada. Suara geluduk pun semakin terdengar mendekat dan hujan turun semakin deras.

Tiva mundur ke dalam gedung, melirik sekeliling yang kini hanya menyisakan tiga orang saja. Perempuan itu memegang ponselnya erat-erat. Dia mencari nomor yang bisa dihubungi.

Tiva membuka kolom kontak Jamal, teman sekaligus adik iparnya, berniat meminta ttolong. Namun, urung. Nanti malam bikin masalah. Namun jika minta tolong Ravi, Tiva malas harus berinteraksi dengan pria itu. Dia selalu tidak bisa mengendalikan perasaannya.

Apa dia harus minta tolong kakaknya? Namun, apa kakaknya masih lebur?

Tiba berniat membuka kontak kakak laki-lakinya, sampai...

Tit! Tit!

Tiva terperanjat. Perempuan itu spontan mengangkat kepala dari ponsel ke mobil hitam di depannya. Dia mengenali mobil itu. Tiva menyipitkan mata lalu terkejut ketika melihat seorang pria keluar dari pintu pengemudi sambil membawa payung. Pria itu berjalan mendekat ke arahnya dengan sorot mata tajam.

Ravi.

Tiva mengerjap. Kenapa pria itu ada di sini?

"Kok sendirian?" tanya Ravi sambil menyimpan payung di depan gedung. Pria itu berdiri di hadapannya dan melirik sekeliling.

"Yang lain udah pulang," jawab Tiva spontan, bingung dan gugup harus bersikap bagaimana.

Ravi diam sebentar, tampak memikirkan sesuatu, lalu menghela napas berat. "Kamu nggak minta aku jemput. Udah ada janji sama orang?"

Tiva menggeleng. "Mau naik ojek online."

"Malam-malam gini? Padahal kamu bisa telepon aku?"

Tiva terdiam, tampak berpikir keras, dan bertanya, "Ka-kamu ngapain di sini?" Perempuan itu berdeham saat suaranya berubah serak.

"Jemput kamu. Apa lagi? Dari sini ke rumah kita kan, susah banget transportasinya kalau malam."

Kedua alis Tiva bertaut. "Kok tahu aku di sini?" Seingatmya, dia tidak memberitahu Ravi di mana acara pameran dilaksanakan.

"Dari postingan di IG penerbit kamu."

"Oh. Padahal kamu harusnya nggak usah jemput," cicit Tiva dengan suara pelan, ragu dengan ucapannya sendiri.

"Dan biarin kamu sampe sendiri di sini malam-malam?"

"Kenapa nggak telepon dulu? Kalau ternyata aku udah balik, gimana?"

"Ya kalau kamu sudah pulang, bagus. Berarti kamu selamat sampai rumah. Lagipula, memangnya kamu bakal angkat telepon aku?" Ravi balik bertanya dan Tiva terdiam sambil menunduk.

Dada perempuan itu kini terasa diperas sesuatu yang aneh. Perhatian Ravi, ego dirinya sendiri, dan masalah yang menimpa hubungan mereka membuatnya merasa gundah.

Seolah menyadari perasaan Tiva, Ravi memayungi perempuan itu, melingkarkan tangan di belakang punggung Tiva, lalu membimbingnya masuk ke dalam mobil. "Ayo masuk mobil dulu."

Tiva menurut. Kini, dia sudah duduk kursi penumpang bagian depan dan Ravi masuk ke kursi pengemudi di sampingnya. Pria itu menyimpan payung ke jok belakang lalu menyeka air yang menempel di beberapa bagian bajunya.

"Aku beli roti bakar sama cokelat hangat. Kayaknya sekarang udah dingin," kata Ravi sambil menunjuk dua makanan yang diletakkan di dashboard.

"Oh, makasih," kata Tiva pelan.

"Aku bawa jaket kamu juga." Ravi meraih jaket dari jok belakang dan berniat menyampirkannya di tubuh Tiva tetapi perempuan itu memundurkan tubuh dengan cepat sehingga gerakan Ravi berhenti di udara.

"Biar aku pakai sendiri aja." Tiva meraih jaket itu lalu memakainya. "Makasih."

Lalu, mereka berdua hening.

"Kamu masih mau terus bersikap kayak gini?" tanya Ravi lalu menghela napas berat.

Suasana makin hening.

Lama Tiva merespons, sampai akhirnya dia menjawab, "Kamu sendiri masih nggak bisa lupain dia?"

Kali ini, Ravi yang diam.

Keheningan makin kuat diantara mereka.

"Aku mau tidur, jangan ganggu." Tiva menyandarkan kepala menghadap keluar jendela lalu memejamkan mata. Dia sedang tidak ingin menangis malam ini setelah berbicara dengan Ravi, jadi lebih baik dia menghindar.

Mobil itu pun melaju tanpa suara, dingin seperti udara malam dan air hujan yang jatuh ke tanah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro