2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengan langkah yang sengaja dihentak-hentakan, Ika sampai di kamarnya dan bertemu dengan Aura yang terganggu akan apa yang dia lakukan. "Kamu kenapa, Dek?" tanyanya dengan mata setengah terbuka.

Ika naik ke atas kasur dan memeluk tubuh sang kakak yang terbangun karenanya. "Maaf ya, Kak. Aku bangunin kakak," cicitnya menyesal.

Aura tersenyum kecil dan menggeleng pelan. "Nggak kok, kakak kebangun gara-gara mau pipis. Kamu kenapa sih?" tanya Aura lagi karena Ika tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Wajah Ika kembali cemberut saat mengingat kejadian sebelumnya. "Tadi kan, aku disuruh ayah antar nasi goreng ke rumah yang di ujung jalan. Pas sampe sana, orangnya nggak mau bayar," jelas Ika sembari menenggelamkan kepalanya ke leher sang kakak.

Karena masih dalam keadaan mengantuk, otak Aura tidak bekerja dengan baik. Dia terdiam sembari berpikir apa maksud ucapan adiknya.

Setelah lama menunggu, akhirnya perempuan itu paham dengan maksud ucapan Ika. "Oh, maksud kamu Mas Kavin. Kamu abis anter nasi goreng buat dia?" tanya Aura sembari menatap Ika yang ternyata sudah tertidur pulas.

Melihat hal itu, Aura menjadi tidak tega untuk membangunkan adiknya. Perempuan itu langsung menyelimuti penuh tubuh Ika sembari perlahan mengusap punggungnya.

"Selamat malam, Dek. Semoga mimpi indah ya," bisik Aura sebelum ikut terlelap bersama sang adik.

Pagi harinya, Ika dimarahi habis-habisan oleh sang ayah. Wajahnya menunduk tanpa berani menatap sang ayah yang tengah menampilkan wajah kesalnya.

"Ayah cuman nyuruh kamu buat antar nasi goreng! Bukannya malah berantem sama Mas Kavin! Dia itu pelanggan setia di sini. Pokoknya nanti malam kamu harus minta maaf sama dia."

Ucapan Dani mutlak adanya, pria paruh baya itu jelas tidak ingin dibantah dan Ika mengetahui hal itu. Dia yang tidak berani mengeluarkan sepatah katapun lalu hanya bisa menganggukkan kepalanya.

"Ya udah, sekarang kamu bantuin ibu kamu di dapur."

"Iya, Yah."

Sembari menangis pelan, Ika berjalan menuju dapur. Setelah bertemu dengan ibu dan kakaknya, perempuan itu menaikkan volume tangisnya sehingga membuat kedua perempuan di sisinya merasa iba.

Aura yang tengah duduk langsung bangun dan memeluk sang adik. Perlahan tangannya mengusap punggung Ika agar adiknya itu merasa tenang. "Udah ya, Dek. Omongan ayah nggak usah didengerin."

"Tapi, Kak ... ."

"Yang penting, Adek jangan ngelakuin lagi. Ayah pasti nggak bakal marah kok."

Dengan mata sembabnya, Ika menatap sang kakak setelah pelukan keduanya merenggang. "Tapi Ayah suruh aku buat minta maaf sama Mas Kavin."

Tangan Aura beralih mengusap kepala Ika sembari berkata, "tenang aja, Mas Kavin baik kok. Kamu pasti dimaafin."

Seperti hari sebelumnya, Ika menunggu Kavin di depan rumah pria itu dengan sebuah kresek di tangannya berisi nasi goreng.

Karena lama menunggu, Ika sampai mendudukkan dirinya di jalan. Namun, Kavin belum juga menunjukkan keberadaannya.

Berulang kali Ika memikirkan untuk pulang ke rumah, tetapi ucapan sang ayah terus menghantuinya. "Pokoknya, kalau Mas Kavin belum maafin kamu. Kamu nggak boleh pulang!"

Tidak ingin menambah masalah, Ika terus menunggu Kavin di depan gerbang rumah pria itu sampai tanpa sadar dia tertidur karena kelelahan.

Cahaya terang menyoroti tubuh Ika yang tengah tertidur dan membuatnya terbangun. Mata lelahnya sedikit dibuat kesusahan untuk melihat apa yang ada di hadapan perempuan itu karena cahaya yang begitu terang.

Setelah cahaya tersebut mati, mata Ika masih membayang sehingga tidak jelas melihat sosok yang perlahan berjalan ke arahnya.

Dengan ketakutan, Ika memeluk dirinya sendiri. "Jangan! Jangan deket-deket!"

Di tengah situasi yang mencekam itu tiba-tiba terdengar suara yang samar Ika kenal. Mas Kavin.

Ika kembali membuka matanya langsung mendongakkan kepalanya sehingga dapat melihat sosok yang dia cari sejak beberapa jam yang lalu.

Perlahan Kavin berjongkok dan telunjuknya mengangkat dagu Ika. "Ngapain kamu di sini?"

Sebelum sempat Ika menjawab, mata Kavin menangkap kresek yang perempuan itu bawa dan mengambilnya. "Makasih nasi gorengnya."

Hanya itu dan Kavin berjalan kembali menuju mobilnya untuk memasukkan kendaraan tersebut ke dalam garasi.

Cukup lama Kavin mengatur posisi mobilnya sampai sempurna dan saat itu Ika terus memperhatikannya.

"Loh, kamu masih di sini?" tanya pria itu setelah melihat Ika masih berdiri di dekat gerbang rumahnya dengan wajah tertunduk.

Ika mengulum bibirnya yang terasa kering, sungguh dia bingung ingin mengungkapkan keinginannya seperti apa.

Sikap aneh yang Ika buat terus diperhatikan oleh Kavin. Pria itu bahkan sampai memperhatikan Ika dari bawah hingga atas seakan orang di hadapannya ini adalah sesuatu yang menarik. Kenapa dia terlihat berbeda dari kakaknya?

Lamunan Kavin menghilang setelah Ika bergumam pelan guna membuka pembicaraan dan anehnya lagi Kavin terus menunggu perempuan itu kembali berbicara padahal sebelumnya Kavin tidak akan melakukan hal itu.

"Begini Om, tentang masalah kemarin. Aku mau minta maaf sama Om. Aku nggak tau kalau Om sudah bayar nasi gorengnya ayah per-bulan."

Kavin tersenyum kecil mendengar penjelasan dari Ika yang masih enggan menatapnya, suara perempuan itu jauh lebih lembut hari ini dan membuatnya sedikit keheranan. "Oh, masalah kemarin ... ."

"Iya, Om. Maaf ya," potong Ika tiba-tiba dan Kavin langsung mengangkat salah satu alisnya.

"Kalau saya nggak mau maafin gimana?" pancing Kavin dengan sengaja karena ingin melihat reaksi perempuan di hadapannya.

Benar saja, Ika terjebak. Perempuan itu langsung mengangkat wajahnya dengan mata membulat sempurna. "Om nggak mau maafin aku?"

"Iya, nggak mau."

"Ih, jangan gitu dong, Om," rengek Ika sembari menarik tangan kanan Kavin dengan kedua tangannya. "Please, maafin aku. Aku mau kok disuruh ngapain aja, asal Om maafin aku."

Kavin menyatukan alisnya setelah mendengar ucapan Ika. Kenapa ni anak pengen banget dimaafin?

Jelas Kavin penasaran dengan alasan dari tindakan Ika, sebelumnya perempuan itu terlihat begitu mengerikan tanpa ada rasa takut, tetapi hari ini kebalikannya.

"Beneran kamu mau lakuin apa aja?" tanya Kavin dan Ika langsung menganggukkan kepalanya dengan cepat.

"Iya, Om. Aku bakal ngelakuin apa aja!"

Mendapat tawaran yang tiba-tiba membuat Kavin sedikit kebingungan untuk mengambil keputusan. Pria itu kemudian terdiam sembari memikirkan apa yang perlu Ika lakukan untuknya.

"Hmm, gimana kalau makan siang? Kamu harus bikinin saya makan siang selama seminggu dan kamu sendiri yang harus antar ke kantor saya."

"Apa? Makan siang?" tanya Ika memastikan dan Kavin memasang wajah menantangnya.

"Kenapa? Kamu nggak mau? Ya udah, nggak bakal saya maafin."

Setelah berucap, Kavin langsung bersiap pergi meninggalkan Ika. Namun, perempuan itu menarik tangan Kavin dengan cukup kuat. "Eh, jangan pergi dulu Om."

Ika berhasil menahan Kavin sehingga pria itu tidak meninggalkannya. Sebelum kembali berucap untuk melakukan negosiasi, Ika berpikir sejenak.

"Gimana? Setuju nggak?" tanya Kavin yang membuat Ika mengangkat wajahnya. Keduanya saling bertatapan cukup lama dan Kavin melihat jelas ada keraguan di mata Ika. "Masalah biayanya kamu tenang aja, saya bayar kok."

Ika terkejut karena Kavin mengetahui apa yang dia pikirkan.

Berbeda dengan Ika, Kavin terlihat merogoh dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang Rp.100.000 dari dalam sana. "Cukup kan?" tanyanya dengan alis terangkat.

Tidak paham dengan hitung-hitungan membuat makan siang, Ika terdiam dengan mata yang masih menatap uang di tangan Kavin.

Karena lelah menunggu jawaban Ika, Kavin memindahkan uang ditangannya ke tangan perempuan itu dengan sedikit paksaan. "Udah, ambil aja. Kalau kurang bilang ke saya."

"Iya, Om."

"Sekarang saya minta nomor telepon kamu. Biar saya kirim alamat kantor saya. Jadi mulai senin nanti kamu anterin saya makan siang selama satu minggu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro