Act 6. I Hate Pink

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Semakin aku mencari kelemahanmu untuk melupakanmu, semakin banyak pula kutemukan alasanku untuk mencintaimu."

"Mama gak percaya cowok lain selain Sian! Memangnya kamu punya pacar yang baik? Kamu terus disakitin mereka! Jawab Mama, mantan kamu yang mana yang bener? Kamu hampir dicecokin obat terlarang sama mantan kamu, kamu hampir trauma karena nyaris diperkosa, kamu dimanfaatin karena uang, bahkan kamu sempat pacaran sama lelaki yang udah punya istri. Dari mereka, mana yang bener? Kamu mau nyembunyiin serapat apa pun dari Mama, Mama tetap tahu kelakuan mantan-mantan kamu. Lelaki mana yang bisa Mama percaya selain Sian? Gak ada orang tua yang mau anaknya terluka. Dengan Sian, Mama yakin kamu bakal dijaga dengan baik."

Semua yang disebutkan Mama memang ada benarnya. Namun, yang benar-benar mantan hanya satu orang, sisanya masih di proses pendekatan. Beruntungnya ia tidak sempat berpacaran dengan orang-orang aneh seperti mereka. Ia beruntung memiliki sahabat-sahabat yang mengingatkannya untuk tidak jatuh dalam lubang kebodohan yang mengatasnamakan cinta. Namun, Sian juga termasuk dalam lelaki brengsek itu. Hanya saja, Mama tidak tahu.

"Tapi ... apa Mama tau perasaan Mauve?"

Mauve sudah lelah dengan omongan manis Mama yang terus memuji Sian. Namun, ia juga tidak mungkin menghancurkan ekspektasi mamanya jika ia memberitahu apa yang telah dilakukan lelaki itu sebelumnya.

"Mauve, Mama gak bodoh. Mama tahu, kamu juga punya perasaan sama Sian."

Kami juga pernah pacaran, Ma. Perasaan cinta itu pun bahkan menjadi perasaan benci.

"Mama ...."

"Sian juga bersedia nikahin kamu. Dia sendiri yang ngelamar kamu."

Itu karena dia ditolak Maroona, Ma! Kisah percintaannya telah gagal! Dan itu gara-gara aku!

"Mama enggak pernah ngerti! Ini bukan hanya soal cinta atau bukan. Tapi harga diri! Mama kira aku mau jadi perebut calon suami orang?"

Mama terdiam. Kali ini ia kalah dengan anak perempuannya. Sejak awal ia memang tidak harus memaksakan kehendaknya dan merasa menyesal melihat bagaimana putrinya menahan air mata. Namun, ia selalu bertanya-tanya, mengapa putrinya terus menerus mendorong Sian agar menjauh?

Menghela napas, Mama lalu mencari posisi duduk yang nyaman. Ia memeluk putrinya dan memberinya ketenangan lewat pelukan. Berharap Mauve mau terbuka tentang masalahnya. Putrinya ini selalu menyimpan semuanya sendirian. Ia terlihat lemah dan rapuh, tetapi sebenarnya Mauve lebih kuat dari perkiraannya.

"Mauve cuma minta Mama berhenti jodohin Mauve dan Sian." 

Mauve menolak pelukan ibunya dengan ekspresi wajah dingin. Terkadang Mama takut dengan putrinya yang sulit ditebak. Melihat punggung putrinya yang perlahan menjauh, Mama merasakan sakit di dadanya. Percayalah, Mauve juga tidak mau menyakiti mamanya, tetapi jika tidak begini, Mama akan terus mendesaknya. 

Kisah percintaan yang melibatkan orang lain itu, sungguh mengesalkan.

*** 

Jadi manusia adalah hal yang terpusing menurut Mauve. Dulu, saat ia menjadi bidadari, ia tidak perlu insecure karena dirinya terlahir cantik. Saat menjadi iblis, ia selalu punya daya tarik untuk menggoda siapa pun. Saat menjadi kucing cantik ras ragdoll,  ia hanya perlu duduk cantik dan setiap orang akan memujinya. Saat menjadi kucing oren, ia begitu aktif mengekor siapapun sehingga diadopsi. Saat menjadi kucing jalanan biasa pun, ia hanya perlu meow meow. Saat menjadi ikan, cuma perlu blub, blub, blub. Terakhir kali, ia jadi mermaid yang tragisnya berakhir mati karena diracun pangeran.

"Udah, Mo, ngayalnya?" tanya Irish sudah muak. Harusnya ia mengikuti jejak Neiva yang pura-pura membaca. Memang ia merasa bersalah karena meladeni makhluk seperti Mauve.

"Dulu gue salah apa, ya, sampe punya kisah cinta setragis ini?" 

Lagi-lagi ia memasang wajah dramatis yang membuat Irish ingin membawa Sian ke hadapannya agar ia menjadi waras. Akan tetapi, bukankah Sian adalah penyebab kegilaan Mauve saat ini?

"Tragis, tragis. Sok tragis lu. Itu kan crush lu dari jaman baheula. Giliran diajak nikah, menggalau. Aneh. Manusia yang gatau rasanya bersyukur adalah Mauve."

Mauve menghela napas panjang, merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memandang langit-langit kamar yang pernah menjadi sasaran empuk untuk melempar bekas permen karet. Tenang saja, sekarang sudah bersih karena ketika Kanjeng Ratu datang dan herannya bisa menemukan hal itu, ia langsung dimarahi habis-habisan dan disuruh untuk membersihkannya. 

"Kenapa ya, kita harus selalu berurusan dengan yang namanya masa lalu? Capek banget."

Neiva dan Irish saling berpandangan. Memang Mauve mode gila itu melelahkan, tetapi Mauve mode galau lebih meresahkan. Dengan cepat Neiva menyambar handuk Mauve dan melemparkannya ka atas wajah Mauve. Sementara, Irsh segera membuka lemari baju Mauve.

"Bangun! Mandi sana! Kita jalan-jalan," ujar Neiva saat Mauve berteriak kaget.

"Irish yang cakep yang akan pilihin outfit. Bangun sana!" sahut Irish ikutan.

Mauve dengan agak malas beranjak dari kasur. Berjalan lunglai menuju kamar mandi. 

"Jangan ada rencana minum cairan pembersih lantai, ye!" teriak Irish saat Mauve sudah masuk ke dalam kamar mandi.

"Iya!"

Padahal Mauve rencananya ingin berendam lama di bath up sampai busa mengisap oksigennya. Rasanya stres banget. Namun, bukankah hidupnya terlalu murahan hanya untuk mengkhawatirkan Sian?

Ogah banget!

Oke. Kali ini ia akan berdandan cantik. Ia pastikan akan mendapat pria yang akan dijadikan pacar, sehingga ia tidak akan menikah dengan lelaki gatal itu.

"Tapi lo bucin banget sama Sian!"

Dih! Itu dulu! Dulu! Pokoknya mulai detik ini, Mauve akan bertekad move on dan membenci Sian. Titik. Enggak pake koma.

***

"Yang bener aja? Bwahahaha ...."

Irish tertawa membuat Mauve sebal ingin merobek mulutnya yang indah itu. Namun, melihat Neiva ikut tertawa membuatnya mengurungkan niat. Tak mungkin ia merobek mulut Neiva, yang ada ia duluan yang koid. Seorang Neiva tertawa itu berarti sudah di tahap sangat lucu.

Emang apa yang lucu? Move on itu lucukah? Mereka berdua bisa move on. Kenapa Mauve tidak bisa? Ia kan manusia juga.

Dengan dada kempas-kempis, Mauve beranjak dari kursi dan memasang wajah cemberut. Ia akan menunjukkan kemarahannya. Bisa-bisanya teman dekatnya tidak mempercayainya dan malah mengejeknya.

"Kalian jahat!"

"Eh, Sian tuh!"

Refleks Mauve mengarahkan pandangannya ke arah ujung telunjuk Neiva berakhir. Dan ia akhirnya tahu bahwa dirinya telah ditipu ketika tawa yang kedua kalinya terdengar dari mereka berdua.

"Liat nih, orang yang katanya mau move on."  Irish meledek membuat Mauve semakin gedek.

"Gue bakal nangis lagi nih, ya? Di sini! Di resto ini. Gue bakal nangis lagi. Lebih kenceng dari yang tadi," ancam Mauve membuat kedua temannya akhirnya tobat dari tawa. Mending mereka mengubah tawa mereka menjadi ketikan daripada membiarkan Mauve menangis di tempat keramaian seperti ini. Bisa-bisa mereka dituduh yang bukan-bukan.

Mereka sengaja mengajak Mauve jalan-jalan agar tidak mendengar tangisan lengking yang sangat menganggu itu. Jadi, akan lebih baik tidak menganggu wanita itu.

"Ancaman lo nggak banget, ih!"

"Ya makanya. Daripada ngeledek gue, mendingan kalian bantuin gue beneran buat move on. Gue akui emang berat sih. Dari Sian pake kolor ijo sampe kolor Calvin Klein, gue udah bareng dia. Setengah kehidupan gue udah sama dia. Setengah jiwa gue ud—"

"Udah, Mo. Kalau lo lanjut, gue jamin gagal move on nanti," cegah Irish cepat sebelum Mauve membuat rangkaian kalimat puitis menjadi sebuah karya seni yang memuakkan. Kebucinannya memang diakui tiada tara. Untungnya hanya mereka yang tahu kelemahan wanita itu.

"Jadi, lo mau apa?" tanya Neiva sembari menyeruput minumannya.

"Cariin gue cowok!"

Brustt!!

Sumpah! Neiva tidak sengaja! Lagipula salah Mauve sendiri yang berbicara sangat tidak masuk akal. Dengan cepat, ia menyodorkan tisu pada Mauve, yang untungnya diterima dengan besar hati.

"Gue salah ngomong lagi, ya?" tanya Mauve  mulai cemberut sembari mengelap wajahnya yang terkena semburan Neiva.

"Eng-enggak, kok. Gue cuma kaget aja. Maaf," ucap Neiva menyengir.

Mauve tetap cemberut. "Apa salahnya, sih? Kasih sepupu kalian, kek? Atau si—Sian?"

Mata Mauve membelalak tatkala tanpa sengaja ia melihat seseorang yang dikenalnya lewat.

"Sian? Maksudnya lu mau orang kek Sian?" tanya Irish tidak paham.

"Eh? Enggak, enggak. Bukan Sian. Maksud gue ... argh! Kita lanjut ngobrol nanti. Gue mendadak ada keperluan." Mauve segera beranjak dari kursinya, memasukkan ponsel ke dalam tas dan segera melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah, ia kembali untuk menuntaskan jus semangkanya hingga tandas. Ia tahu kedua temannya bingung, tetapi tidak sempat menjelaskan.

"Nanti gue jelasin. Dan, kalian lanjut seneng-seneng berdua dulu, ya. Gue mungkin gak akan balik bareng. Gue duluan. Bye!"

Mauve berlari kecil meninggalkan kedua temannya dan ....

"Serius dia ninggalin kita? Kita udah mesen banyak, loh? Katanya dia yang bayarin. Tapi ini malah ditinggal," keluh Irish beberapa saat menyadari apa yang aneh setelah ditinggal Mauve. Neiva meringis dan melihat piring-piring yang telah kosong di depannya. Sepertinya kali ini, ia yang akan membayar itu semua.

Sementara itu, Mauve segera mencari orang yang tak sengaja ia lihat tadi. Tidak salah lagi. Itu Sian. Namun, anehnya Sian tidak sendiri, melainkan bersama seorang wanita. Tidak mungkin Maroona, kan? Wanita itu tidak mungkin berpakaian ala-ala chibi seperti itu. Sexy and badass sudah sangat melekat pada Maroona.

Merasa bahwa itu adalah wanita lain, membuat Mauve terbakar. Apa mungkin dirinya hanya alibi atas putusnya Maroona dan Sian? Karena pada dasarnya Sian sendiri yang playboy, kan?

Dengan perasaan kesal dan marah, Mauve menguntit Sian diam-diam. Namun, tiba-tiba seseorang memegang bahunya.

"Mauve?"

Ia kaget. Dari semua orang, kenapa Mauve harus bertemu orang ini? Di situasi genting seperti ini?

"Oh, hai?"

***
Tbc

Note:
Beberapa hari lalu ada yang minta aku update novel ini. Maaf ya, lama. Soalnya aku masih membangun mood 😭 susah banget sekarang kalau mau lanjut. Tapi aku usahakan tetap lanjut.
Komentar dari kalian sangat membantu 🥺 terima kasih, ya, sudah mau menunggu aku update.

Abis ini, kalian mau aku update apa lagi, nih?











Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro