≧ Childhood Blues - LastNote ft. Gumi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Judul: Rhythm of the Setting Sun

Song: Childhood Blues – LastNote ft. Gumi
Story by: Kazaremegamine_
Fandom: Takehaya Seiya x OC
(Tsurune) [Tsurune c Kotoko Ayano]

 

“Because it’s you, I fell in love.”

~

            “Kenapa buru-buru sekali?”

            “Nanti mataharinya benar-benar tenggelam!”

            Dua pasang  kaki berlari. Menciptakan sebuah bunyi berirama. Setapak demi setapak, jalan demi jalan, mereka tempuh berirama. Rambut berkibar, melambai-lambai berlawanan arah dengan yang tengah mereka tuju. Helai-helainya yang berwarna hijau kecokelatan tampak sangat menawan kala cahaya sang mentari menimpa di balik pangkal horizon.

            Kedua insan itu meraup napas banyak-banyak ketika kaki berhenti bergerak. Menetralkan kembali aliran darah yang sebelumnya terpacu dengan keras. Sang perempuan mengangkat kepala, melihat ke depan. Meskipun tangannya masih tertumpu di kedua lututnya. Sementara sang laki-laki tetap berdiri tegak, dengan bahunya yang naik-turun.

            Pandangan mereka sama-sama tertuju ke depan. Menghadapi langsung semburat jingga di depan mata. Setelahnya, sang laki-laki lah yang pertama kali angkat suara. “Sudah hampir terbenam.”

            Sang gadis di sebelahnya menyahut, dengan napas yang masih tersengal. “Hah … untung saja masih sempat,” gadis itu mengelap peluh yang menuruni pelipis, “hari ini pun matahari berwarna merah.”

            Kendati bukan warna kegemarannya, ia tetap menyukai warna matahari yang tengah terbenam. Warna ketika ia akan pergi dan kembali dengan warna yang baru. Menurut gadis itu, matahari terlihat lebih indah ketika ia terbenam. Banyak warna yang dipancarkan. Membuat gadis itu mendapat banyak inspirasi.

            “Mirei, ayo pulang.”

            “Kak Shuu, tunggu!”

~

            “Oh, aku baru dengar hal seperti itu.”

            “Iya, kalau melihat matahari yang terbenam selama 51 hari berturut-turut, keinginanmu akan terkabul,” ujar Mirei semangat sembari menengok ke arah Minato yang berjalan di belakangnya.

            “Bukankah kamu bilang jika cinta yang akan berbalas?” tanya Shuu yang berjalan di sebelah Mirei.

            Pertanyaan dari kakaknya tersebut membuatnya sedikit panik, sontak saja ia menjawab, “Itu sama saja.” Entah mengapa rasanya ia panik. Untung saja ia berjalan di depan.

            “Haha, aku juga baru dengar tentang hal seperti itu.” Mirei sedikit menoleh ke belakang ketika seseorang itu bicara. “Apa hal yang diinginkan Mirei adalah hal yang berhubungan dengan menggambar?”

            Sebuah pertanyaan terlontar. Gadis dengan manik ungu gelap itu terdiam sebentar. Ia tengah mengeratkan cengkeraman pada rok yang ia kenakan. Rasanya ia ingin berteriak kala suara yang lembut itu menyapu indera pendengarannya. Menarik napas sebentar, kemudian ia hanya sanggup terkekeh mengiyakan.

            Dalam hati, Mirei sedikit meringis. Ia terus berpikir, apakah permintaan untuk menemaninya melihat matahari terbenam terdengar kekanakan? Terlebih hal itu dilakukan untuk mengabulkan permintaannya̶walaupun benar yang dikatakan Shuu, jika sebenarnya hal itu dilakukan agar cintanya terbalas. Ia semakin meringis kala mengingat alasan sebenarnya ia terus menyaksikan matahari terbenam. Akankah hal tersebut sampai padanya?

            “Oh, di sini.” Ucapan Minato menarik Mirei kembali pada kenyataan. “Aku sering lewat jalan ini di siang hari, tapi tidak tahu jika ini tempat yang bagus untuk melihat matahari terbenam.”

            Yang dikatakan Minato membuatnya sadar jika mereka sudah tiba di tempat Mirei biasa menyaksikan matahari terbenam. Kali ini langit memancarkan ronanya yang berwarna merah jambu berpadu jingga, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang berwarna merah terang. Tidak hanya langit yang merona, pipi gadis satu-satunya di antara empat orang itu juga turut merona. Perasaan hangat juga mengalir lembut di kedua pipinya.

            Ia terus berandai, akankah perasannya tersampaikan? Mungkin saja dengan melihat matahari yang terbenam selama 51 hari, ia dapat mengumpulkan keberaniannya.

~

            Sebuah sunyi merayap. Mengantarkan keheningan pada sepasang pundak yang berjalan beriringan. Menit-menit berlalu hanya seperti itu, diiringi oleh tetesan sisa air hujan. Langit sudah menggelap, sang dewi malam sudah kembali bertugas walau terhalang gumpalan-gumpalan awan kelabu. Lelah karena hanya ada sepi, sang gadis pun memulai percakapan.

            “Kak Seiya, maaf, ya, sudah merepotkan kakak.” Kepalanya tertunduk, ekspresinya sedikit muram.

            “Tidak apa-apa, itu bukan hal besar. Lagipula akan berbahaya jika Mirei pulang sendirian,” balas Seiya dari sampingnya.

            Ucapan Seiya semakin membuat Mirei tertunduk. Tadinya ia ingin menyaksikan matahari terbenam di hari ke-51 ini bersama kakaknya, Shuu. Tetapi, ternyata Shuu tidak bisa karena perihal urusan klub memanahnya. Shuu meminta tolong pada Minato untuk menemani Mirei dan laki-laki itu juga mengajak Seiya. Namun, di pertengahan, Minato harus pergi lebih dulu untuk berbelanja bahan makanan. Jadilah hanya Seiya dan Mirei berdua.

            Kala mereka pergi ke bukit yang biasa dikunjungi, tiba-tiba hujan turun. Tidak aneh, karena memang langit sudah mendung sejak beberapa saat sebelum mereka berangkat. Mereka menepi yang menyebabkan batalnya acara melihat matahari terbenam. Pada hari ke-51 ini, Mirei gagal. Keberanian yang sudah ia kumpulkan pun lenyap begitu saja. Rasanya ia ingin segera pulang dan bergelung di dalam selimut. Namun, hujan masih menahan mereka. Pada akhirnya mereka baru bisa pulang kala mentari sudah tenggelam sepenuhnya.

            “Hari ini harusnya jadi hari terakhir, ya,” ujar Seiya sembari mendongak ke atas, tempat langit kelabu berada. “Jika ada yang Mirei inginkan, katakan saja. Mungkin aku bisa membantu. Karena itu ‘kan selama ini Mirei terus melihat matahari tenggelam?”

            “Bukankah itu kekanakkan?”

            “Tidak. Semua orang pasti memiliki keinginan, kok. Jadi, itu hal yang wajar.”

            Senyum yang lembut, ucapan yang menenangkan hati. Apakah karena di sampingnya adalah Seiya, sehingga ia dapat terus merasa tenang? Rasa tenang yang berbeda ketika ia sedang bersama kakaknya. Mirei sadar, jika ia sudah semakin jatuh. Jatuh pada pesona seseorang sepertinya. Mungkin karena ia yang seperti itu, ia jatuh hati.

            “Baiklah, nanti bantu aku, ya!”

            Mungkin bukan saat ini. Mungkin akan tiba saatnya nanti.

~

"I've always wanted to have this kind of love, but it's just a pipe dream. For my brother's friend, a tall guy with blueberry eyes."

𝗙   ɪ   ɴ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro