Bab 23 Ide

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kursi rotan di beranda berderit. Rena dengan perut besarnya berusah payah mencari posisi yang nyaman untuk duduk.

"Mama, Mama! Lihat gambar Kevin! Bagus, 'kan?" Seorang bocah laki-laki berumur delapan tahun berlarian dari dalam rumah dengan secarik kertas di tangannya. Dia memamerkan permukaan kertas yang penuh coretan dan warna pada Rena.

"Iya, Sayang. Bagus banget." Rena mencubit ringan pipi Kevin sambil memberi sanjungan.

"Nanti kalau Dede sudah lahir, Kevin mau ajarin menggabar yang bagus!"

Rena tertawa melihat putra sulungnya begitu antusias menantikan adiknya. Kebahagiaan segera menyebar ke seluruh tubuhnya. Dengan tangsn tangan, Rena mengelus puncak kepala Kevin penuh kasih.

Sementara adegan ibu dan anak itu berlangsung, Aurora keluar dari dalam rumah menyusul Kevin. Melihat Rena beberapa kali bergerak tidak nyaman, Aurora segera mengambilkan bantal sofa dari dalam.

"Terima kasih."

"Apa tidak sebaiknya pindahksn sofa ke beranda? Kamu kelihatan tidak nyaman," usul Aurora.

"Tidak perlu. Aku hanya ingin melihat matahari terbenam lalu masuk lagi. Tidak akan lama."

"Mitos Jawa bilang bukan hal baik orang hamil besar di luar rumah saat senja. Jendelamu punya kaca yang besar. Kita bisa menonton dari dalam."

Kevin selesai memamerkan gambarnya, segera masuk kembali. Dia tidak tertarik untuk menguping pembicaraan di antara dua orang dewasa.

Rena tersenyum dan mengalihkan pandangannya pada matahari yang memerah. "Rasanya berbeda. Di dalam kamu tidak bisa merasakan angin yang berembus, atau mendengarkan suara desirannya, suara jangkrik yang kedinginan, rasa panas dan berdebar-debar dari sinar merah menyalan matahari. Sangat berbeda."

"Baiklah. Kalau begitu aku akan menemanimu sampai langit lembayung."

Rena tersenyum ringan pada sahabatnya. Hari ini suami Rena lembur sampai pagi. Sebagai anak rantau, suami Rena dan tinggal jauh dari keluarga besar. Keluarga Rena yang menetap sebagai warga lokal hanya Rena seorang. Dia tidak punya siapa-siapa yang mau menghabiskan waktu untuk menemaninya selama semalam kecuali Aurora, sahabatnya sejak kecil.

Sinar matahari semakin merah. Wujud tak bersudutnya semakin jelas sementara langit mulai gelap. Perlahan namun pasti matahari mulai kehilangan semua cahayanya. Saat langit benar-benar redup, Rena mengatakan apa yang selama ini mengganggu pikirannya.

"Aku dengar kalau kamu membantu kepolisian akhir-akhir ini."

"Mn."

"Kenapa beritanya tidak keluar?"

Mendengar pertanyaan Rena, Aurora tertawa geli. Bagi Rena yang tak pernah mengistirahatkan radar berita tentang Aurora, sangat lucu untuk mengajukan pertanyaan seolah-olah Rena ada anak polos yang tidak tahu apa-apa. Perkara hati saja, Rena bisa tahu dengan pasti. Apa lagi hal kasar semacam ini.

"Anggap saja kasus ini adalah sebuah misi rahasia. Seperti yang ada di film-film."

Aurora tertawa tapi hal itu malah membuat perasaan Rena semakin tidak enak. Alis tebal Rena terajut.

"Ini tidak benar. Kamu tidak harus melakukannya--"

"Aku harus."

Lampu beranda menyala secara otomatis. Cahayanya berbaur dengan angin dingin yang berkeliaran satu arah. Aurora menatap Rena dengan senyuman penuh arti. Dia mengulanginya.

"Aku harus."

Menjadi sahabat Aurora selama bertahun-tahun, Rena sangat mengerti dia tidak bisa melakukan apapun di situasi apapun. Keteguhan Aurora tak terbantahkan.

PLAK

Rena menampar pegangan pada kursi rotan. Dia bangun dengan bantuan Aurora.

"Ah, perutku lebih besar dari saat aku hamil Kevin. Sangat berat dan mengganggu aktivitas. Ayo, masuk."

Pintu beranda ditutup dan dikunci. Kevin masih menggambar di ruang keluarga, ditonton televisi yang menampilkan film kartun. Rena melewati ruang keluarga dan masuk ke ruang studinya. Beberapa saat kemudian Rena keluar dengan setumpuk kertas dan pena merah.

Rena mengambil tempat duduk di samping Aurora di sofa.

"Masih bekerja? Kenapa tidak ambil cuti saja?" tanya Aurora melihat setumpuk naskah yang perlu dikoreksi. Rena, selain seorang dosen sastra juga seorang editor di sebuah perusahaan penerbitan besar di Indonesia.

"Naskah ini sebenarnya adalah pekerjaan yang seharusnya selesai sebelum cuti. Awal-awal kehamilan aku terlalu banyak mengeluh dan tidak bisa fokus mengedit naskah. Ya, dan inilah hasil kemalasan. Tumpukan pekerjaan di waktu yang seharusnya dipakai untuk bersantai."

"Apa aku bisa membantu sesuatu?"

Rena mengetuk dagunya pelan beberapa kali. "Hmm... kamu bisa ambilkan aku camilan di kulkas."

Dua sahabat itu tertawa bersama. Aurora berjalan ke dapur, mengambil beberapa jenis buah yang sudah dipotong dadu kecil di atas piring besar. Saat hendak mengambil garpu, Aurora melihat sebuah majalah sastra di meja.

Majalah itu sangat tebal. Berbeda dengan majalah pada umumnya. Penasaran, Aurora membuka majalah itu. Isinya sangat klasik dan minim sekali gambar. Kebanyakan gambar hanyalah ilustrasi dan foto tokoh. Pada sudut-sudut halaman berisi funfact seputar sastra dan tokoh sastra yang menggelitik sekaligus menambah ilmu pengetahuan.

Tangan Aurora terus membalik majalah, dan sampai pada halaman terakhir. Majalah sastra ini diprakarsai oleh sebuah komunitas yang membangun perusahaan penerbitan kecil. Jadi nama semua anggota tim redaksi masuk ke dalam daftar, bersama nama-nama para penulis pengumbang karya. Di sana Aurora dapat mengenali beberapa nama yang bukan termasuk anggota tim redaksi dan bukan sastrawan, melainkan orang biasa. Karena masih kecil, perusahaan majalah pasti menerima siapapun yang ingin menyumbangkan karya.

Siapapun.

Aurora mengulangi kata itu beberapa kali dalam hati. Lalu tiba-tiba Aurora merasa seolah telah menemukan barang paling berharga di sudut kepalanya. Dia punya ide untuk keadaan yang dihadapinya saat ini.

Menutup majalah, Aurora kembali ke ruang keluarga. Rena memanggil Kevin untuk makan buah dan kembali melanjutkan gambarnya. Aurora tenang sebentar, lalu mulai bertanyan.

"Apa menulis di majalah sulit?" Rena kaget mendengar pertanyaan Aurora. Entah kenapa tubuhnya seketika merinding.

"Kamu mau menulis? Tidak, tidak. Ini kabar buruk. Kalau orang jenius sepertimu menulis, lalu bagaimana dengan nasib orang-orang sepertiku? Kamu tidak boleh menulis. Sama sekali tidak boleh!"

Sungguh, kenapa harus ada orang jenius dalam segala hal yang ingin menulis? Kenapa mereka tidak menjadi ilmuwan atau apapun itu? Jika orang-orang dengan berkah kepintaran luar biasa itu menulis, lalu bagaiamana dengan nasib para pujangga yang makan saja hanya mengandalkan tulisannya?

Dunia memang tidak adil.

Aurora segara menyangkal pemikiran Rena. "Bukan itu maksudku." Butuh waktu beberapa detik bagi Aurora untuk mengambil keputusan apakah dia akan membuat Rena khawatir dengan idenya atau tetap menyembunyikannya. "Sudahlah, lupakan saja. Aku bukan tipe orang yang suka mengambil pekerjaan orang lain."

"Haha... bagus, bagus. Kamu anak baik."

Kerika matahari kembali muncul di pagi berikutnya, Aurora pamit pada Rena dan suaminya yang sudah pulang. Semalam penuh Aurora habiskan untuk menemani Rena menonton drama kesukaannya. Aurora tidak terlalu suka menonton film jadi dia benar-benar hanya menemani.

Beberapa kesempatan ia ambil untuk menelusuri rekam jejak seorang kenalan lamanya. Data terbaru tidak menunjukkan perubahan dari yang sebelumnya. Dia sedikit merasa lega. Saat waktunya tiba untuk mencari orang itu, dia tidak akan menemui banyak kesulitan. Mungkin.

Semangatnya tidak terlalu bagus pagi ini. Dia bahkan menguap sepanjang jalan menuju kantor polres. Sesampainya di ruang kerja, suasana hatinya dibuat makin kacau. Koran Harian Rakyat Tegal terbit pagi ini dengan iklan mencolok lainnya dari Andi.

Dibutuhkan Orang yang Bisa Menegakkan Keadilan.

Sebagai masyarakat modern, kita seharusnya sangat peka terhadap lingkungan. Siapapun harus dapat menekan ego dan mengulurkan tangan untuk membantu sesama. Kalimat ini sangat tidak asing di telinga kita tentunya. Apa lagi yang sering mengatakannya adalah pihak pemerintah dan segala aksesorinya.

Tetapi kelalaian terus saja terjadi tanpa henti. Motor keponakan saya dibawa kabur oleh teman kelasnya. Hari itu dia sangat takut masalah ini akan diketahui oleh orang tua dan sekolahnya. Jadi keponakan saya ini datang ke kantor polisi untuk meminta bantuan. Siapa sangka laporan keponakan saya ditolak mentah-mentah. Setelah saya tanya, polisi yang dia mintai tolong sebelumnya adalah IPTU Bintang Utara.

Apa dunia begitu banyak kehilangan orang-orang yang mau menegakkan keadilan? Keponakan saya masih anak di bawah umur dan seorang polisi menolak untuk membantunya. Sangat ironis. Tertanda Kirman, Andi Rudi.

***

Begitu bunyi iklan itu. Bintang, Yogi, dan Aurora memandang potongan koran itu dengan tatapan yang sama. Andi, orang ini sangat tidak beradab.

"Apa kau melakukan sesuatu pada keponakannya?" tanya Aurora memastikan.

"Keponakan siapa? Aku tidak mengenal satu pun anggota keluarganya." Bintang mengelak.

"Kasus motor ini. Barangkali kau bertemu keponakannya tanpa sengaja."

"Sebenarnya beberapa hari lalu memang ada seorang siswa SMA yang mengadu motornya dicuri oleh teman sekelasnya. Aku memang menjaga meja hari itu tapi hanya sebentar. Aku mengatakan kalau kasus pencurian motor akan ditangani oleh divisi curanmor. Lalu dia kesal karena bukan aku yang akan turun tangan mengatasi masalah ini. Kemudian anak itu pergi begitu saja."

Setelah mendengarkan baik-baik, Aurora merasa ada sesuatu yang janggal.

"Seperti apa penampilan siswa itu?"

"Dia memiliki wajah bulat dan kulitnya putih. Rahang bawahnya tegas dan matanya besar. Rambutnya agak panjang, tingginya sekitar 175 cm, beratnya sekitar 55 kg, postur jalannya tegak dan percaya diri."

Polisi senior memang hebat. Bisa mendeskripsikan seseorang hanya dengan sekilas pandang, orang biasa tidak mungkin bisa melakukannya.

"Apa kau sudah memeriksa identitasnya?"

"Ya. Dia tidak memiliki relasi apapun dengan Andi. Anak itu berbohong tentang identitasnya. Siswa bernama Tara Adi Saputra adalah orang yang berbeda dengan anak pembohong itu. Teman sekelasnya, Rifan bahkan tidak bisa mengendarai motor. Apa-apaan itu. Tidak ada kasus pencurian motor apapun yang terjadi pada siswa SMA. Semuanya hanyalah kebohongan!"

"Kau punya ilustrasi wajah anak itu. Kenapa tidak dicari?"

"Aku sudah mencoba mencarinya tapi tidak ketemu." Desahan panjang Bintang keluarkan. Dia sangat lelah dan merasa dipermainkan sampai mati. Aurora merendahkan pandangannya, berpikir.

"Bagaimana cara Andi mengirim iklannya? Bukankah alamat emailnya kedaluwarsa?"

Bukannya menjawab, Bintang mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan layar yang menyala pada Aurora. Pada layar itu ditampilkan percakapan melalui email. Alamat email yang pihak lain memiliki nama kebarat-baratan.

Awalnya, email dikirim oleh pihak lain bertuliskan "Matilah". Dua jam kemudian email baru masuk dengan permintaan maaf beruntun. Pemilik email mengaku alamat emailnya telah diretas selama beberapa saat dan baru saja kembali ke tangannya. Saat membuka-buka pesan, pemilik menemukan sebuah email yang dikirim ke luar negeri dalam bahasa asing. Setelah diterjemahkan, pemilik sah email tersebut segera menghubungi Bintang balik. Lalau beberapa percakapan canggung terjadi. Di akhir percakapan, pemilik email sangat menyesal dan meminta naaf terus menerus.

"Aku menanyakan hal ini pada Gun dan dia bilang alamat emailnya sama." Bintang mengantungi ponselnya setelah Aurora selesai membaca.

"Gun?"

"Gunawan. Kepala bagian iklan di koran Harian Rakyat Tegal."

Aurora menginganya. Gun adalah salah satu tersangka terlibat yang Bintang daftar.

"Pemilik email yang asli juga meminta maaf dan mengaku tidak tahu apa maksud email yang dikirimkan oleh peretas." Bintang merasakan amarah di sekujur tubuhnya. Cepat-cepat dia kumpulkan semua di telapak tangannya dan menampar udara dengan keras. "Seorang akuntan tidak memiliki kemampuan meretas!"

Teriakan Bintang menggema. Mata Aurora sayu mendengarnya. Yogi di sisi lain gemetar ketakutan. Ada sesuatu yang ingin Aurora katakan. Tapi dia menahan diri, menunggu emosi Bintang yang memunggunginya mereda. Setelah beberapa menit, saat-saat yang Aurora tunggu tiba.

"Aku punya ide untuk memancingnya keluar."

Udara yang begitu kosong dan tenang seketika kembali merasakan kehidupan. Yogi sangat bersemangat mendengar ini. Bintang berhenti menghadap dinding untuk meluapkan amarahnya.

"Apa itu?" Orang yang pertama bertanya adalah Bintang. Dia hampir kalap dan bersedia melakukan apapun untuk mencabik-cabik orang bernama Andi itu. Namun kemudian Aurora mengatakan kalau dia punya sebuah cara yang pastinya lebih halus untuk dilakukan. Ini seperti seember es disiramkan langsung ke kepala Bintang, membuatnya membeku selama sedetik tanpa sebab.

"Andi sangat masih mengirimkan iklan dengan email. Seharusnya akan lebih mudah untuk bertukar pesan lewat email untuk menekannya. Tapi sayangnya Andi terus mengutak-atik email sehingga akan sangat sulit bagi kita untuk mengikuti perkembangannya. Semenyara itu, perusahaan koran tetap sama, tidak berubah sama sekali."

Samar-samar, Bintang bisa menangkap apa maksud Aurora tentang ide ini.

"Kita juga tahu kalau menghentikan iklan berarti memutus satu-satunya sumber informasi. Oleh karena itu, untuk membuat si ahli petak umpet ini keluar, adalah dengan mengirim tulisan serupa." Insting Bintang tepat. Itulah yang Aurora maksud.

"Kita akan membuat iklan juga."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro