11. Satu Tim

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Viona Karunasakara dikenal sebagai gadis ceria yang punya banyak teman. Saking banyaknya teman, Viona kadang kesulitan mendapatkan waktu untuk dirinya sendiri. Ia tidak pernah duduk sendirian di kantin dan ia selalu mendapat kelompok saat mereka ditugaskan untuk membentuk kelompok sendiri. Salah satu contohnya adalah kelas matematika pagi ini.

"Tugas kalian minggu ini adalah menyelesaikan soal yang saya berikan. Setiap kelompok akan mendapatkan soal yang berbeda. Silahkan bentuk kelompok dengan lima orang anggota." Dosen berkumis tebal itu memberikan perintah setelah jam pelajarannya habis. Pria bertubuh tambun itu langsung meninggalkan kelas setelah merapikan mejanya.

"Viona, aku gabung kelompok kamu ya?" Seorang gadis menghampiri Viona.

"Gabung sini aja, yuk!" Kelompok gadis yang ada di tengah ruangan memanggil Viona diiringi lambaian tangan.

"Aku juga gabung sama kamu ya?" Gadis lainnya mendekati meja Viona.

"Lo mau gabung sama kita nggak? Kurang satu orang nih?" Seseorang yang juga duduk di deretan terdepan menawari dengan suara lantang. 

Bukannya menjawab ajakan teman-temannya, Viona malah menoleh ke belakang. Mencari Adrian dengan mata yang menyipit. Gadis itu akhirnya menemukan Adrian yang duduk di ujung ruangan. Laki-laki itu kelihatan sama sekali tidak tertarik untuk membentuk kelompok. Yessa yang duduk tidak jauh dari Adrian terlihat tengah sibuk berbicara dengan gadis-gadis yang ada di sekitarnya.

"Maaf ya, aku mau gabung kelompok yang di ujung aja." Viona membawa buku catatannya dan bangkit dari kursi deretan terdepan untuk berjalan menuju kursi paling belakang yang ada di sudut ruangan. 

Hampir semua mata memandang perpindahan gerak Viona. Meski bukan rahasia lagi kalau Viona adalah fans garis kerasnya Adrian, tetapi gadis itu tidak pernah menggabungkan urusan belajar dan upaya pendekatannya. Beberapa orang menatap tidak percaya karena seorang Viona rela melangkah meninggalkan orang-orang yang ada di jajaran terdepan hanya untuk menggapai laki-laki yang duduk di sudut ruangan itu.

"Hai, Kak." Gadis berambut gelombang itu menyapa Adrian setelah ia duduk di sampingnya.

"Gue bukan Kakak lo." Adrian menjawab dingin.

"Ish, itu kan panggilan sayang. Jangan lupa kalau kita couple." Viona tersenyum. Senyum yang sangat lebar hingga mata bulatnya jadi menyipit. 

Laki-laki berambut ekor kuda itu menghela napas lelah. "Partner bukan couple. Perlu gue tunjukin surat perjanjiannya?

Gadis berambut bergelombang itu cemberut. "Jutek banget."

"Kenapa pindah ke sini?" Adrian bertanya masih dengan nada datar yang sama.

"Aku mau buat kelompok sama kamu. Itung-itung latihan, siapa tahu nanti bisa membangun rumah tangga sama kamu." Viona mengatakan hal itu dengan santai. Bahkan ia masih sempat memutar pulpennya di tangan. 

Mendengar kata-kata Viona membuat Yessa mendekati mereka. Yessa sengaja memberikan mereka ruang. Sebagai tim sukses nomor satunya pasangan itu, Yessa selalu siap siaga melemparkan lebih banyak kayu bakar agar api mereka tetap menyala.

"Eit, ditinggal bentar udah mau bangun rumah tangga aja." 

"Rakiyessa." Laki-laki bermata sipit itu menyipitkan matanya hingga membentuk satu garis.

"Horor lo, udah kayak emak gue. Jangan panggil gue pake nama lengkap." Yessa berdecak kesal.

"Aku mau buat kelompok sama Adrian. Kamu mau gabung?" Viona mengabaikan Adrian yang kelihatan kesal.

"Berhubung gue sudah direkrut di kelompok Rizka, sorry, gue nggak bisa gabung." Laki-laki berkulit cokelat itu melambai dengan gaya khas putri keraton. "Oh iya, gue lupa bilang. Berhubung jumlah mahasiswa kelas kita 52 orang, jadi kayaknya sih bakal pas kalau kalian sekelompok berdua." 

Viona tersenyum setelah mendengar kata-kata Yessa. Adrian memutar bola matanya dan menghela napas.

"Nggak ada protes. Ingat, nih rambut bergantung sama nilai lo. Nggak usah menyia-nyiakan kesempatan. Nih ya, Viona dah turun dari singgasananya di depan sana cuma buat menghampiri rakyat jelata macem lo. Nggak usah jual mahal. Lagian kalian kan memang punya waktu belajar bareng. Jadi, pas." Yessa melancarkan kalimatnya dengan mulus. Kata-katanya berhasil membuat Adrian terdiam.

Akhirnya kelompok beranggotakan Adrian dan Viona terbentuk dengan bantuan Yessa.

Viona memang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang ia kenal. Hal ini berbanding terbalik dengan Adrian. Laki-laki yang selalu mengikat rambut itu lebih leluasa untuk punya waktu sendirian. Beberapa minggu lalu, Viona pernah melihat Adrian duduk di bawah pohon besar yang dikenal angker. 

Kali ini ia benar-benar butuh waktu untuk sendirian. Pulang ke rumah dan mengunci diri kamar tidak pernah menjadi pilihannya karena hal itu pasti membuat Mami sedih. Akhirnya Viona memilih untuk duduk di bawah pohon tempat ia melihat Adrian dulu. Viona duduk, kemudian ia mulai membuka tasnya untuk mengambil makanan ringan dari sana.

Viona membuka sebungkus Choki-choki dan memakannya sambil memandang langit. Rasa cokelat yang meleleh di mulutnya membawa kenangan lama kembali.

"Papi." Gadis kecil berambut gelombang itu berlari setelah mendengar pintu terbuka. 

"Selamat malam, anak gadis Papi."

"Mana oleh-olehnya?" Gadis itu bertanya setelah tiba di depan ayahnya.

Laki-laki paruh baya itu merentangkan tangan dan tersenyum, "Ini hadiahnya."

Gadis kecil itu melompat ke pelukan ayahnya dan mengecup pipi laki-laki itu.

Setelah mereka makan malam bersama, Papi mengantar Viona tidur dan membacakan sebuah dongeng untuknya. Hal ini adalah bagian favorit gadis itu. Papi selalu bisa menceritakan dongeng dengan versi lebih baik dari yang dilakukan Mami. 

"Gimana ceritanya?" Papi bertanya setelah mengubah suaranya kembali menjadi normal.

"Seru banget. Pangerannya mirip Papi, tapi matanya nggak sipit." Gadis itu menyentuh mata Papi dengan tangan mungilnya.

"Kamu tahu apa makna dari cerita ini?" Papi bertanya setelah memindahkan Viona dari pangkuannya ke ranjang.

Viona menggeleng.

"Rasa sayang paling besar adalah saat kita membuat orang yang kita sayang bahagia. Viona nggak perlu jadi putri salju, Papi maunya Viona punya hati sebesar kurcaci. Mereka mau merawat putri salju dan turut bahagia ketika putri bertemu pangeran." 

"Kurcaci pasti sedih. Temannya dibawa pangeran." Viona menarik selimutnya protes.

"Mereka bahagia karena temannya bahagia. Kalau nanti orang yang Viona sayang pergi jauh untuk kebahagiaannya, Viona bakal kasih izin?"

Gadis itu mengangguk penuh semangat.

Viona ingat betul, hari itu adalah hari terakhirnya bertemu Papi. Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang ia ingat. Kalau nanti orang yang Viona sayang pergi jauh untuk kebahagiaannya, Viona bakal kasih izin?

Papi benar-benar pergi jauh untuk kebahagiaannya. Semua orang yang sudah meninggal pasti bahagia, 'kan? Pertanyaan itu masih terus terngiang setiap Viona ingat Papi. Kenangan lama satu per satu muncul kembali bak film lama yang berputar di kepalanya. 

Kenangan ketika pertama kali Viona diizinkan untuk memelihara kucing. Kenangan ketika Viona diantar ke sekolah setiap hari. Kenangan ketika Papi datang ke festival sekolah dengan masih mengenakan pakaian kerja. Ketika Papi menggendongnya untuk memanen mangga di halaman belakang dan ketika pria itu pulang terbungkus peti.

Air mata Viona menetes. Tangannya gemetar. Ia meletakkan Choki-choki ke rumput, kemudian ia memeluk kakinya. Ia menenggelamkan wajah di antara tangannya. Viona mulai terisak.

Setelah cukup lama menangis, Viona mengangkat kepalanya. Ia mendapati seorang laki-laki berambut gondrong duduk di sampingnya. Gadis bermata bulat itu segera menghapus air matanya dan berusaha terlihat baik-baik saja.

"Ngapain di sini?" Viona bertanya dengan suara serak.

"Kayaknya lo butuh teman." Adrian berbicara tanpa melihat Viona. Matanya menatap lurus ke depan.

"Aku nggak apa-apa." Viona mengeluarkan kaca dari tasnya dan ia hampir saja mengumpat setelah melihat wajahnya yang sangat kacau.

"Gue nggak nanya." Adrian berbicara dengan nada datar seperti biasa.

"Sebenarnya, hari ini peringatan meninggalnya Papi aku." Viona akhirnya menceritakan alasannya menangis setelah beberapa menit terjebak dalam diam. "Aku dekat banget sama Papi. Jadi, yah kamu tahu kenapa aku nangis."

"Nggak ada yang melarang lo buat nangis. Gue di sini cuma numpang duduk."

Viona batal terharu. Kalau saja yang mengatakan hal itu bukan Adrian, Viona pasti sudah memukul kepala laki-laki itu. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro