19. Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Viona berniat menghampiri Adrian setelah kelas berakhir. Gadis itu beberapa kali menoleh ke belakang untuk memastikan kalau Adrian masih ada di bangkunya. Begitu selesai merapikan mejanya, gadis itu langsung berbalik dan tersenyum pada Adrian yang tertangkap basah tengah memperhatikannya.

Gadis berambut gelombang itu berdiri di depan meja Adrian dengan senyuman di wajahnya.

"Hai, Kak." Senyuman jail muncul di wajah gadis itu.

Adrian menghela napas lelah. Ia mulai memasukkan buku dan penanya ke tas.

"Cie yang kepergok lagi lihatin aku." Viona menyipitkan mata dan mulai menggoda Adrian.

"Gue lagi nggak mood, Viona." Adrian berbicara dengan suara pelan.

Viona menutup mulutnya dengan tangan. Matanya membelalak dan mengerjap berkali-kali. Adrian dibuat bingung oleh tingkah gadis di hadapannya ini.

"Bilang apa tadi?" Viona bertanya dengan senyum merekah di wajahnya.

"Apa?" Adrian memasang wajah tidak mengerti.

"Kamu panggil nama aku. Ini pertama kalinya."

"Apa yang pertama?" Yessa datang dengan pertanyaan heboh.

Viona menghela napas malas dan membuang muka.

"Apaan, Yan?" Yessa kembali bertanya.

"Tanya Viona." Laki-laki berikat rambut itu tersenyum tipis dan melirik Viona.

Senyum di wajah gadis itu kembali merekah.

"Kamu ganggu tahu nggak?" Viona melotot pada Yessa. Ia cemberut.

Yessa dibuat kesal. Laki-laki berkulit cokelat itu malah duduk tepat di samping Adrian.

"Yan." Yessa mengalihkan perhatian Adrian.

"Udah deh. Aku balik aja." Viona cemberut dan meninggalkan Adrian yang sudah teralihkan perhatiannya.

Adrian tertawa kecil. Tawanya membuat Yessa heran. Laki-laki yang beberapa menit lalu kelihatan sangat murung, bisa tersenyum hanya karena seorang Viona Karunasakara.

"Yan." Yessa memanggil laki-laki bermata sipit itu dengan suara berwibawa khas ketua angkatan.

"Kenapa? Horor banget." Adrian menyipitkan mata.

"Lo hampir aja berdiri tadi pas dipanggil Bu Indah. Sekarang lo sudah bisa ketawa sebahagia ini karena Viona." Yessa berbicara masih dengan nada serius.

Wajah Adrian tiba-tiba berubah murung.

"Lo ada masalah apa sih sama Bu Indah?"

"Gue nggak punya masalah apa pun sama Bu Indah. Gue nggak mengerti kenapa Bu Indah benci banget sama gue." Adrian melepaskan ikat rambutnya dan memasang kembali ikat rambutnya.

"Berarti lo memang harus membuktikan, supaya semua orang percaya." Yessa menepuk pundak Adrian dan mengangguk untuk menguatkan.

Tidak lama setelah itu, kelas kembali berlangsung ke mata kuliah berikutnya. Adrian memasang kacamatanya dan mengeluarkan pulpen serta bukunya.

Laki-laki berikat rambut itu menyimak pelajaran dengan seksama. Kelas berlangsung seperti biasa. Tidak ada sesuatu yang terjadi selama mata kuliah tersebut.

Setelah kuliah tersebut selesai, Adrian langsung bangkit dari duduknya dan bergerak ke barisan terdepan.

"Hari ini jadwal belajar, 'kan? Di Coffee Prince aja ya. Aku ada janji sama anak kafe." Adrian berbicara tanpa senyum, tetapi suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.

Gadis berambut gelombang itu terdiam di tempatnya. Gerak tangannya yang tengah memasukkan buku ke dalam tas terhenti seketika.

"Ayok." Adrian mengangguk sebagai tanda.

Viona mengerjap tidak percaya. Ini adalah kali pertama Adrian menghampirinya lebiih dulu.

"Viona." Adrian melambaikan tangannya tepat di depan wajah gadis itu.

Gadis berambut gelombang itu menelan ludah dan segera bangkit dari duduknya. Saking groginya, Viona sampai menjatuhkan salah satu penanya.

Adrian tertawa kecil. Ia membantu Viona mengambil pena tersebut. Gadis itu membeku di tempatnya. Laki-laki berkulit pucat itu menyelipkan pena Viona ke samping tas gadis itu.

Setelah itu, Viona mengikuti Adrian dengan langkah kaku.

***

Seorang laki-laki berkulitt pucat berdiri dan menatap sekeliling. Ia hanya mendapati warna hijau dan biru yang ada di hadapannya. Laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam itu berdiri di hamparan rumput yang luas. Langit berwarna biru seluruhnya. Ia seperti berada di dunia lain. Ia tidak mendapati satu pun pohon atau bangunan. Yang ada hanya lahan hijau dan langit biru.

Kemudian ia menemukan seseorang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mematung, matanya menatap lurus pada wanita paruh baya yang berdiri menghadap arah berbeda. Rambut wanita itu bergelombang dan terus bergerak karena tertiup angin.

Adrian berusaha melihat wajah wanita itu. Entah mengapa, ia yakin kalau wanita itu adalah seseorang yang selalu ia rindukan. Seseorang yang sudah lama ia rindukan meskipun ia tidak tahu bagaimana rupanya.

Adrian hanya mampu melihat sisi samping wajah wanita itu, tetapi wajahnya tidak terlihat jelas. Wajah wanita itu mengabur layaknya foto dengan kualitas rendah. Ia mencoba memanggil dengan satu kata yang selalu ingin ia ucapkan, tetapi suaranya enggan keluar.

Wanita itu bergerak menjauh. Langkahnya terkesan lambat dan anggun. Adrian kembali mencoba memanggil wanita itu, tetapi suaranya tetap enggan keluar. Perlahan, punggung wanita itu semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya. Tanpa satu pun kata, wanita itu lenyap dari pandangannya.

Adrian terbangun karena suara yang muncul dari dapur. Ada sesak yang memenuhi dadanya. Ia menarik napas panjang, berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Namun, usahanya sia-sia karena ia tidak berhasil menenangkan dirinya.

Jari-jarinya menyusup ke helai rambut yang jatuh di kening dan sekitar pipinya. Laki-laki dengan rambut lebih panjang dari kebanyakan kaumnya itu mengikat rambutnya hingga membentuk kucir ekor kuda. Perasaannya menjadi lebih baik setelah melakukan hal itu.

Ia meregangkan tubuhnya sebentar sebelum turun dari ranjangnya. Ia menatap cermin yang menggantung di samping lemari pakaian miliknya. Ia mengamati pantulan wajahnya dengan seksama, tetapi ia tidak menemukan hal yang dicari.

Ia terlalu mirip dengan ayahnya. Bahkan tahi lalat yang ada di dekat sudut mata mereka pun sama. Sekeras apapun usaha Adrian mencari jejak-jejak genetik yang ditinggalkan wanita yang sangat ia rindukan itu, ia tetap tidak bisa menemukannya.

Adrian memilih menghentikan kegiatannya sebelum ia mulai menyalahkan diri sendiri. Ia sangat kesal saat ia tidak dapat mengira-ngira bagaimana wajah wanita itu. Namun, ia tetap bersyukur dilahirkan dengan wajah yang menyerupai ayahnya.

Hari ini, Adrian mengingat kembali hari itu. Hari dimana ia sangat merindukan wanita yang seharusnya ia panggil ibu.

Melihat Viona membuatnya membayangkan, mungkin saja ibunya mirip dengan gadis itu. Rambut hitam panjang bergelombang, kulit pucat dan mata bulat seperti manik boneka.

Gadis itu menjadi satu-satunya orang yang bisa ia bayangkan sebagai ibunya pada versi muda.

Setelah berpikir seperti itu, Adrian menatap kaca yang menggantung di kamarnya. Ia tertawa. Bagaimana bisa ia membayangkan Viona sebagai seseorang yang mirip dengan ibunya? Gadis itu hanya seseorang yang hadir di hidupnya sebagai teman.

Saat ini fokusnya hanya untuk mempertahankan rambut gondrongnya. Ia harus berusaha untuk menaikkan nilainya dan bisa membuktikan dirinya pada orang-orang yang meragukannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro